32.4 C
Jakarta
Wednesday, April 9, 2025

Dara Ruai, Cerita Asal Muasal Perempuan Dayak yang Memiliki Paras Cantik dan Menawan

NANGA BULIK, PROKALTENG.CO – Kita perlu mengetahui dan mengingat kembali. Bahwa kekayaan dan keanekaragaman seni budaya Nusantara yang merupakan warisan dari nenek moyang bangsa Indonesia sudah diakui oleh dunia.

Setiap daerah memiliki kekayaan adat dan budaya masing-masing, termasuk di pedalaman pulau Kalimantan, tepatnya di Desa Lubuk Hiju, Kecamatan Menthobi Raya, Kabupaten Lamandau tepatnya di Provinsi Kalimantan Tengah.

Selain seni budaya seperti tarian, pantun, balalayah dan lain sebagainya, ada sejumlah legenda atau cerita rakyat yang secara turun-temurun masih dijaga kelestariannya hingga kini.

Cerita rakyat “dara ruai” adalah salah satu legenda yang bagi sebagian masyarakat menilai sebagai asal muasal perempuan dayak memiliki paras yang cantik dan menawan. Cerita ini juga sebagai lambang kehidupan masyarakat suku Dayak yang hidup bersama alam serta menjaga keutuhannya.

Ebi Sugia. Salah seorang warga Desa Lubuk Hiju yang hingga kini tetap menjaga kelestarian berbagai seni budaya yang ada di tempat lahirnya.  Pria suku Dayak Tomun yang kini berusia 44 tahun ini mempunyai darah seni yang cukup tinggi, dan tetap berusaha menjaga kelestariannya di tengah era modernisasi.

“Sebagai putra asli Desa Lubuk Hiju, saya mempunyai tanggungjawab besar menjaga dan melestarikan seni budaya Dayak Tomun, dengan kemampuan dan tenaga yang saya miliki, seni budaya peninggalan leluhur kita ini tidak boleh tertelan oleh zaman,” ungkapnya saat dibincangi di sanggar Dara Ruai mililknya tidak lama ini, Sabtu (11/5/2024)

Pria yang juga memiliki hobi koleksi barang-barang antik khas Dayak ini, mengaku tidak mudah mempertahankan kelestarian seni budaya di zaman modern saat ini.

“Tidak mudah memang, di era digitalisasi saat ini, dampak positif bagi perkembangan bidang informatika sangat pesat, namun seharusnya kita tidak boleh lupa dan meninggalkan budaya-budaya peninggalan nenek moyang,” tuturnya.

Sebagai pelaku seni yang tetap mempertahankan adat budaya leluhurnya, ia terus berkarya dengan kemampuan seni yang dia punya untuk mempertahankan kearifan lokal sebagai kekayaan budaya tak benda yang dimiliki daearahnya, seperti mencipta dan menyanyi lagu daerah, melatih taritarian, serta melestarikan cerita-cerita rakyat dan legenda khas suku Dayak Tomun.

Baca Juga :  SEMARAK! Ribuan Peserta Antusias Ikuti Karnaval Budaya

“Semampu dan sebisa saya, seni budaya tidak boleh dilupakan, terutama para generasi muda sebagai penerus kita nanti,” ucapnya.

Sambil duduk didekat tempayan (guci khas dayak), Ebi menceritakan satu buah cerita rakyat yang telah ia tuangkan dalam sebuah tari, lagu dan musik.  Dara Ruai merupakan salah satu dari sekian banyak cerita rakyat yang paling ia suka, hingga cerita itu ia tuangkan dalam sebuah nyanyian dan film yang ia perankan.

“Kurang lebih 11 tahun, saya menciptakan lagu dara ruai, dan puji syukur video klip sudah ada, juga filmnya, cerita ini sangat saya dalami hingga memberi ide-ide dalam karya-karya saya,” bebernya.

Lebih lanjut diceritakannya, kisah dara ruai secara singkat menggambarkan perjalanan seorang pemuda Dayak bernama Koling yang hidup didalam hutan dan menemukan seorang wanita cantik jelmaan burung Ruai.

“Kisah ini menjadi simbol kenapa wanita Dayak itu mempunyai paras yang cantik, lembut dan menarik, karena dalam cerita dara ruai digambarkan burung Ruai atau merak khas Kalimantan yang indah, bulunya yang unik serta tingkah laku yang berbeda dengan burung lainnya,” kata Ebi.

Menurutnya, cerita dara ruai juga menggambarkan leluhur suku Dayak yang sangat mencintai alam sebagai penopang kehidupannya sehari-hari serta menjaga hubungan dengan Penciptanya sesuai keyakinan pada kala itu, seperti menggelar ritual-ritual setiap kali melakukan aktifitas di hutan.

“Singkat cerita. Pemuda bernama Koling ini mengalami kejadian aneh didalam hutan. Ketika ia membuat perahu dari pohon besar, ia diganggu oleh sekelompok burung ruai yang menjelma menjadi bidadari. Kisahnya, ada 7 bidadari jelmaan burung ruai yang mengganggu nya,” tuturnya.

Ia menceritakan. Pada awalnya, Koling tidak mengetahui makhluk apa yang mengganggunya, setelah diselidiki dalam sekian hari, akhirnya Koling melihat 7 orang bidadari sedang bermain di sungai dan meyakini itulah makhluk yang selama ini mengganggunya.

“Karena merasa jengkel perahu yang ia buat selalu hilang dan meyakini 7 bidadari itu yang melakukannya, maka Koling mengambil selendang milik salah satu bidadari yang sedang bermain di sungai. Kebetulan, bidadari-bidadari itu meletakkan selendangnya diatas batu saat bermain disungai,” ceritanya.

Baca Juga :  Jaga Kualitas Suara, Marion Jola Konsumsi Ramuan Ini

Karena diambil selendangnya, kata dia lagi, salah satu bidadari itu tidak bisa kembali ke alamnya dan ditinggalkan oleh saudara-saudaranya, dan kemudian ditemuilah oleh Koling dan dijadikan pasangannya hingga bertahun-tahun dan memiliki satu anak bernama Kalui.

Dalam perjalanan rumah tangga yang menimpanya, koling dan dara ruai mendapatkan cobaan yang begitu berat. Karena melanggar perjanjian yang diucapkannya, Dara Ruai harus meninggalkan suami dan anaknya untuk kembali menjelma menjadi seekor burung dan hidup di hutan.

Di sinilah, kata Ebi, gambaran perjuangan orang dayak dalam menjaga keutuhan keluarganya. Koling dan anaknya menempuh perjalanan masuk keluar hutan untuk mencari Dara Ruai. Dengan menggendong anak laki-lakinya, Koling berkelana sepanjang tahun hingga melakukan pertapaan untuk meminta petunjuk kepada Yang Kuasa dimana keberadaan Dara Ruai.

“Perjuangan Koling dan anaknya ini yang epik menurut saya, karena hidup didalam hutan belantara itu tidak mudah, maka digambarkan dalam cerita ini suku Dayak memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dalam hutan karena kekuatan jiwa dan cintanya terhadap alam semesta,” sebutnya.

Ebi yang juga bekerja di Dinas Pariwisata Kabupaten Lamandau itu mengatakan bahwa cerita itu secara lengkap sudah divisualkan dalam sebuah film berjudul Dara Ruai.

“Ceritanya panjang, dan secara lengkap sudah kami gambarkan dalam film, tahun lalu kami melakukan pembuatan film di YouTube Dara ruai, semoga saja masyarakat bisa menginspirasi dan mengambil contoh yang fositif, ya minimal sebagai peninggalan buat anak cucu nanti,” tegasnya.

Melalui karya-karyanya, Ebi berharap masyarakat Lamandau dan Indonesia pada umumnya bisa mengingat kembali dan semakin mencintai seni budaya di daerahnya masing-masing.

“Harapan saya tulus, tidak untuk menyombongkan diri atau apa, saya hanya ingin kita semua menjaga kelestarian seni budaya dan jangan biarkan hilang ditelan jaman, salam budaya,” pungkasnya. (Bib)

NANGA BULIK, PROKALTENG.CO – Kita perlu mengetahui dan mengingat kembali. Bahwa kekayaan dan keanekaragaman seni budaya Nusantara yang merupakan warisan dari nenek moyang bangsa Indonesia sudah diakui oleh dunia.

Setiap daerah memiliki kekayaan adat dan budaya masing-masing, termasuk di pedalaman pulau Kalimantan, tepatnya di Desa Lubuk Hiju, Kecamatan Menthobi Raya, Kabupaten Lamandau tepatnya di Provinsi Kalimantan Tengah.

Selain seni budaya seperti tarian, pantun, balalayah dan lain sebagainya, ada sejumlah legenda atau cerita rakyat yang secara turun-temurun masih dijaga kelestariannya hingga kini.

Cerita rakyat “dara ruai” adalah salah satu legenda yang bagi sebagian masyarakat menilai sebagai asal muasal perempuan dayak memiliki paras yang cantik dan menawan. Cerita ini juga sebagai lambang kehidupan masyarakat suku Dayak yang hidup bersama alam serta menjaga keutuhannya.

Ebi Sugia. Salah seorang warga Desa Lubuk Hiju yang hingga kini tetap menjaga kelestarian berbagai seni budaya yang ada di tempat lahirnya.  Pria suku Dayak Tomun yang kini berusia 44 tahun ini mempunyai darah seni yang cukup tinggi, dan tetap berusaha menjaga kelestariannya di tengah era modernisasi.

“Sebagai putra asli Desa Lubuk Hiju, saya mempunyai tanggungjawab besar menjaga dan melestarikan seni budaya Dayak Tomun, dengan kemampuan dan tenaga yang saya miliki, seni budaya peninggalan leluhur kita ini tidak boleh tertelan oleh zaman,” ungkapnya saat dibincangi di sanggar Dara Ruai mililknya tidak lama ini, Sabtu (11/5/2024)

Pria yang juga memiliki hobi koleksi barang-barang antik khas Dayak ini, mengaku tidak mudah mempertahankan kelestarian seni budaya di zaman modern saat ini.

“Tidak mudah memang, di era digitalisasi saat ini, dampak positif bagi perkembangan bidang informatika sangat pesat, namun seharusnya kita tidak boleh lupa dan meninggalkan budaya-budaya peninggalan nenek moyang,” tuturnya.

Sebagai pelaku seni yang tetap mempertahankan adat budaya leluhurnya, ia terus berkarya dengan kemampuan seni yang dia punya untuk mempertahankan kearifan lokal sebagai kekayaan budaya tak benda yang dimiliki daearahnya, seperti mencipta dan menyanyi lagu daerah, melatih taritarian, serta melestarikan cerita-cerita rakyat dan legenda khas suku Dayak Tomun.

Baca Juga :  SEMARAK! Ribuan Peserta Antusias Ikuti Karnaval Budaya

“Semampu dan sebisa saya, seni budaya tidak boleh dilupakan, terutama para generasi muda sebagai penerus kita nanti,” ucapnya.

Sambil duduk didekat tempayan (guci khas dayak), Ebi menceritakan satu buah cerita rakyat yang telah ia tuangkan dalam sebuah tari, lagu dan musik.  Dara Ruai merupakan salah satu dari sekian banyak cerita rakyat yang paling ia suka, hingga cerita itu ia tuangkan dalam sebuah nyanyian dan film yang ia perankan.

“Kurang lebih 11 tahun, saya menciptakan lagu dara ruai, dan puji syukur video klip sudah ada, juga filmnya, cerita ini sangat saya dalami hingga memberi ide-ide dalam karya-karya saya,” bebernya.

Lebih lanjut diceritakannya, kisah dara ruai secara singkat menggambarkan perjalanan seorang pemuda Dayak bernama Koling yang hidup didalam hutan dan menemukan seorang wanita cantik jelmaan burung Ruai.

“Kisah ini menjadi simbol kenapa wanita Dayak itu mempunyai paras yang cantik, lembut dan menarik, karena dalam cerita dara ruai digambarkan burung Ruai atau merak khas Kalimantan yang indah, bulunya yang unik serta tingkah laku yang berbeda dengan burung lainnya,” kata Ebi.

Menurutnya, cerita dara ruai juga menggambarkan leluhur suku Dayak yang sangat mencintai alam sebagai penopang kehidupannya sehari-hari serta menjaga hubungan dengan Penciptanya sesuai keyakinan pada kala itu, seperti menggelar ritual-ritual setiap kali melakukan aktifitas di hutan.

“Singkat cerita. Pemuda bernama Koling ini mengalami kejadian aneh didalam hutan. Ketika ia membuat perahu dari pohon besar, ia diganggu oleh sekelompok burung ruai yang menjelma menjadi bidadari. Kisahnya, ada 7 bidadari jelmaan burung ruai yang mengganggu nya,” tuturnya.

Ia menceritakan. Pada awalnya, Koling tidak mengetahui makhluk apa yang mengganggunya, setelah diselidiki dalam sekian hari, akhirnya Koling melihat 7 orang bidadari sedang bermain di sungai dan meyakini itulah makhluk yang selama ini mengganggunya.

“Karena merasa jengkel perahu yang ia buat selalu hilang dan meyakini 7 bidadari itu yang melakukannya, maka Koling mengambil selendang milik salah satu bidadari yang sedang bermain di sungai. Kebetulan, bidadari-bidadari itu meletakkan selendangnya diatas batu saat bermain disungai,” ceritanya.

Baca Juga :  Jaga Kualitas Suara, Marion Jola Konsumsi Ramuan Ini

Karena diambil selendangnya, kata dia lagi, salah satu bidadari itu tidak bisa kembali ke alamnya dan ditinggalkan oleh saudara-saudaranya, dan kemudian ditemuilah oleh Koling dan dijadikan pasangannya hingga bertahun-tahun dan memiliki satu anak bernama Kalui.

Dalam perjalanan rumah tangga yang menimpanya, koling dan dara ruai mendapatkan cobaan yang begitu berat. Karena melanggar perjanjian yang diucapkannya, Dara Ruai harus meninggalkan suami dan anaknya untuk kembali menjelma menjadi seekor burung dan hidup di hutan.

Di sinilah, kata Ebi, gambaran perjuangan orang dayak dalam menjaga keutuhan keluarganya. Koling dan anaknya menempuh perjalanan masuk keluar hutan untuk mencari Dara Ruai. Dengan menggendong anak laki-lakinya, Koling berkelana sepanjang tahun hingga melakukan pertapaan untuk meminta petunjuk kepada Yang Kuasa dimana keberadaan Dara Ruai.

“Perjuangan Koling dan anaknya ini yang epik menurut saya, karena hidup didalam hutan belantara itu tidak mudah, maka digambarkan dalam cerita ini suku Dayak memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dalam hutan karena kekuatan jiwa dan cintanya terhadap alam semesta,” sebutnya.

Ebi yang juga bekerja di Dinas Pariwisata Kabupaten Lamandau itu mengatakan bahwa cerita itu secara lengkap sudah divisualkan dalam sebuah film berjudul Dara Ruai.

“Ceritanya panjang, dan secara lengkap sudah kami gambarkan dalam film, tahun lalu kami melakukan pembuatan film di YouTube Dara ruai, semoga saja masyarakat bisa menginspirasi dan mengambil contoh yang fositif, ya minimal sebagai peninggalan buat anak cucu nanti,” tegasnya.

Melalui karya-karyanya, Ebi berharap masyarakat Lamandau dan Indonesia pada umumnya bisa mengingat kembali dan semakin mencintai seni budaya di daerahnya masing-masing.

“Harapan saya tulus, tidak untuk menyombongkan diri atau apa, saya hanya ingin kita semua menjaga kelestarian seni budaya dan jangan biarkan hilang ditelan jaman, salam budaya,” pungkasnya. (Bib)

Terpopuler

Artikel Terbaru