Site icon Prokalteng

Berani Melawan Pelecehan

berani-melawan-pelecehan

AKTRIS Hannah
Al Rashid, 34, tidak menoleransi pelecehan seksual terhadap perempuan. Dia giat
mengampanyekan pendapatnya tersebut, baik dalam aksi nyata seperti Women’s
March maupun seruan di media sosial.

’’Saya ingin konsisten
mendukung isu ini dan menumbuhkan perhatian seluas mungkin,’’ tuturnya.

Hannah berharap
perempuan berani melawan dan menyuarakan ketidaknyamanan terhadap pelecehan
yang dialami. Termasuk pelecehan verbal seperti catcalling. ’’Awalnya saya cuek
dan risi. Tapi, akhirnya saya samperin dan lawan pelaku. Karena sesering itu
mengalaminya,’’ jelas Hannah.

Hannah berkali-kali
mengalami hal itu. Yang terakhir pada Selasa siang (10/3) lalu. Hannah
mengalami pelecehan verbal di Cipete ketika menuju stasiun MRT. Seorang pria
menyiuli dirinya. ’’Bapak suit-suit saya tadi? Itu adalah pelecehan verbal.
Jangan kayak gitu lagi ya. Lalu, bapaknya nunduk malu,’’ ungkap Hannah.

Jangan kaget jika saat
bertemu Hannah Al Rashid, dia akan dengan lancar menyuarakan isu-isu perempuan.

Bintang film Warkop DKI
Reborn: Jangkrik Boss Part 1 (2016) itu memang tengah bersemangat menyuarakan
kampanye stop kekerasan terhadap perempuan.

Isu kekerasan terhadap
perempuan di Indonesia masih sering dianggap tabu untuk dibahas. Berbagai
faktor yang melatarbelakangi membuat tak banyak perempuan berani bicara tentang
kekerasan yang dialami.

Padahal, angka kejadian
sejatinya sangat tinggi. Baik itu kekerasan verbal, fisik, maupun
seksual.  Sadar energinya terbatas untuk bisa menjangkau banyak orang
tentang isu itu, Hannah pun membuat 16 seri video yang diunggah di kanal
YouTube-nya.

Lewat video bertagar
#16daysofactivism2017 tersebut, Hannah ingin membuka ruang untuk berdiskusi dan
mulai berbicara tentang topik kekerasan pada perempuan. ”Jika hanya diam,
apalagi mengabaikan, masalah tidak akan pernah teratasi,” ujarnya.

Perempuan yang ditunjuk
sebagai sustainable development goals (SDG) Mover UN Indonesia untuk kesetaraan
gender tersebut melibatkan para aktivis perempuan dan public figure yang punya
kepedulian sama untuk membahas masalah itu dari berbagai perspektif.

Di antaranya, stop
pernikahan usia anak, isu menutup aurat untuk menghindari pelecehan, relasi
kuasa, dan ketergantungan ekonomi yang kerap terkait dengan kekerasan dalam
rumah tangga.

Sejumlah figur yang
ikut dalam #16daysofactivism2017 itu, antara lain, Nadine Alexandra, Reza
Rahadian, Cathy Sharon dan Julie Estelle, kolumnis Kalis Mardiasih, aktivis
Vivi Restuviani dan Sanita Rini, Dian Sastro, Joe Taslim, Mike Lewis, Arie
Kriting, serta financial trainer Ligwina Hananto.

”Contohnya tentang isu
menutup aurat untuk menghindari pelecehan. Kenyataannya, Kalis mengalami
pelecehan saat baru pulang dari pesantren. Ligwina juga bercerita mengalami
catcalling meski berhijab. Isu kekerasan seksual tidak sepenuhnya terkait
dengan cara berpakaian,” paparnya.

Hannah juga sengaja
melibatkan laki-laki untuk berpartisipasi dalam serial tersebut. ”Karena
diskusi topik ini tidak bisa hanya perempuan, harus melibatkan laki-laki,” ujar
perempuan kelahiran London, 25 Januari 1986, tersebut.

Selama ini belum banyak
perempuan yang berani bicara karena budaya masyarakat dan keluarga yang
menganggap itu merupakan aib sehingga menekan korban untuk tetap diam.
”Padahal, bukan korban yang salah, itu salah pelaku,” tegas Hannah.

Selain itu, support
system masih sangat kurang. Idealnya, ketika korban berani bicara, semestinya
ada dukungan sistem dari lingkungannya. Kenyataannya, menurut Hannah,
undang-undang di Indonesia belum berpihak pada korban.

Media juga terkadang
tidak memaparkan kasus kekerasan atau pelecehan dengan netral hingga terjadi
victim blaming, mencari penyebab dari si korban sehingga seolah-olah korban
yang mengundang terjadinya kejahatan tersebut. ”Dampaknya, 93 persen korban
kasus kekerasan seksual tidak melapor,” papar Hannah.

Untuk mendorong
perempuan berani bicara, Hannah mengawali dengan dirinya. Dia mengaku pernah
mengalami pelecehan oleh orang tak dikenal saat berada di area publik serta
kekerasan verbal dan fisik dalam pacaran. ”Setelah saya speak up, banyak yang
DM curhat ke saya,” ujar Hannah.

Respons yang didapatkan
dari series #16daysofactivism2017 itu membahagiakan Hannah. Tidak sedikit
perempuan yang jadi punya keberanian untuk berbicara setelah menonton serial
tersebut.

Beragam tanggapan
mengisi kolom komentar, termasuk laki-laki yang perspektifnya terbuka untuk
menghargai perempuan dan kesetaraan gender. ”Itu semua membuat saya jadi makin
semangat. Perjuangan ini tidak sia-sia,” ungkap Hannah.

Sebagai creative
director, Hannah dibantu mahasiswa SSR (School of Sound Recording) Jakarta
untuk pengambilan gambar sampai proses editing yang dilakukan sejak September
lalu. Hingga akhirnya, dirilis satu per satu video setiap hari selama 16 hari
dalam rentang 25 November–10 Desember.

Perjuangan untuk
kesetaraan dan stop kekerasan terhadap perempuan akan terus digaungkannya.
Harapan Hannah, perubahan bisa dicapai jika perempuan berani bicara dan berani
melawan. Perempuan tahu hak-haknya.

”Dan, laki-laki makin sadar akan isu ini serta
ikut berpartisipasi memperjuangkan kesetaraan gender dan pencegahan kekerasan
terhadap perempuan,” paparnya. 

Exit mobile version