29.2 C
Jakarta
Saturday, December 28, 2024

Pengamat Sebut Kebijakan PPN 12 Persen Akan Berdampak ke Daya Beli Masyarakat

PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO – Pemerintah pusat baru-baru ini telah mengumumkan kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Kebijakan ini akan mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2025 mendatang.

Pengamat Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Palangka Raya (UPR) Fitria Husnatarina menyebut, dampak yang akan terjadi jika PPN 12 persen yakni menggangu daya beli masyarakat.

”Kalau berkata bahwa apakah pasar merespon seperti itu saja kenaikannya dari kapasiitas ppn 12 kenaika barang ini diberlakukan atau pelaku memberikan kenaikan tidak signifikan, tentunya tidak. Mereka memandang pasar atau demand itu akan bereaksi,jadi pasar kadang-kadang bereaksi sebelum implementasi itu terjadi,” ujarnya, Sabtu (28/12).

”Barang-barang sudah naik, kemudian bagaimana juga mereka menghindari risiko dari adanya ketidak keterbelian masyarakat nanti dengan barang-barang yang sudah ready, dan ini tentunya akan cukup menggangu daya beli massyarakat   yang seharusnya bisa membeli menerima jasa atau menerima layaanan tertentu dengan kapasitas yang mereka mampuuntuk keluarkan uangnya itu mulai mikir-mikir,” sambungnya.

Baca Juga :  Jelang HUT ke-129, BRI Gandeng Kuy Media Group Sukses Selenggarakan BRI Mini Soccer Media Clash

Namun demikian. Fitria menyebut, jika berkaitan dengan kebutuhan pokok, maka akan menggerus dari kebutuhan laiinya.

”Artinya kesejahteraan pada level masyarakat dengan gaji yang standar, ini akan tentu menggangu daya beli, jumlah dari daya beli dan kualitas dari daya beli,” imbuhnya.

Dia menjelaskan, selain itu PPN 12 akan memunculkan daya beli menurun pada perusahaan manufaktur.

”Kalau daya beli menurun ,mereka tidak akan mengeluarkan barang. Dengan kuantitas jumlah yang sama lagi, atau bahkan untuk menjaga harga tetap di posisi, bisa menurunkan kualitas,” imbuhnya.

”Produksi yang berkurang akan menjadi pengurangan jumlah pekerja di perusahaan yang memproduksi masal atau manufaktur. Akan terjadi PHK, akan memunculkan jumlah dari pengangguran kapasitas yang akan mengakibatkan menurunnya daya beli masyarakat tidak support,” bebernya.

Baca Juga :  BRI CreatorFest 2024: Para Juara Kreatif Resmi Diumumkan

Di sisi lain, Fitria menyebut, PPN 12 ini akan berdampak kepada sektor primadona yakni Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)

”Mereka menjadi sektor yang cukup terdampak, jika UMKM melemah, primadona yang kita mau diunggulkan di 2045 untuk bagaimana umkm menjadi bagian penggerak ekonomi di Indonesia akan terjadi,”sebutnya.

Meskipun memiliki dampak negatif, Fitria menyebut, PPN 12 persen akan berdampak positif pada peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). ”Positifnya APBD bertambah, bagaimana pemasukan atas pajak, akan memberikan kontribusi APBN,”ungkapnya.

Oleh karena, itu lanjut Dosen di FEB UPR ini menyarankan perlunya pemerintah melakukan intervensi APBN dari pendapatan atas pajak agar tepat sasaran.

”Kedua yakni bagaimana pemerintah memberikan konpensasi lain yang nannti bisa memitigasi risiko dari ketidakmampuan mencapai kualitas tertentu taraf hidup masayarakat,” terangnya. (hfz)

PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO – Pemerintah pusat baru-baru ini telah mengumumkan kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Kebijakan ini akan mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2025 mendatang.

Pengamat Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Palangka Raya (UPR) Fitria Husnatarina menyebut, dampak yang akan terjadi jika PPN 12 persen yakni menggangu daya beli masyarakat.

”Kalau berkata bahwa apakah pasar merespon seperti itu saja kenaikannya dari kapasiitas ppn 12 kenaika barang ini diberlakukan atau pelaku memberikan kenaikan tidak signifikan, tentunya tidak. Mereka memandang pasar atau demand itu akan bereaksi,jadi pasar kadang-kadang bereaksi sebelum implementasi itu terjadi,” ujarnya, Sabtu (28/12).

”Barang-barang sudah naik, kemudian bagaimana juga mereka menghindari risiko dari adanya ketidak keterbelian masyarakat nanti dengan barang-barang yang sudah ready, dan ini tentunya akan cukup menggangu daya beli massyarakat   yang seharusnya bisa membeli menerima jasa atau menerima layaanan tertentu dengan kapasitas yang mereka mampuuntuk keluarkan uangnya itu mulai mikir-mikir,” sambungnya.

Baca Juga :  Jelang HUT ke-129, BRI Gandeng Kuy Media Group Sukses Selenggarakan BRI Mini Soccer Media Clash

Namun demikian. Fitria menyebut, jika berkaitan dengan kebutuhan pokok, maka akan menggerus dari kebutuhan laiinya.

”Artinya kesejahteraan pada level masyarakat dengan gaji yang standar, ini akan tentu menggangu daya beli, jumlah dari daya beli dan kualitas dari daya beli,” imbuhnya.

Dia menjelaskan, selain itu PPN 12 akan memunculkan daya beli menurun pada perusahaan manufaktur.

”Kalau daya beli menurun ,mereka tidak akan mengeluarkan barang. Dengan kuantitas jumlah yang sama lagi, atau bahkan untuk menjaga harga tetap di posisi, bisa menurunkan kualitas,” imbuhnya.

”Produksi yang berkurang akan menjadi pengurangan jumlah pekerja di perusahaan yang memproduksi masal atau manufaktur. Akan terjadi PHK, akan memunculkan jumlah dari pengangguran kapasitas yang akan mengakibatkan menurunnya daya beli masyarakat tidak support,” bebernya.

Baca Juga :  BRI CreatorFest 2024: Para Juara Kreatif Resmi Diumumkan

Di sisi lain, Fitria menyebut, PPN 12 ini akan berdampak kepada sektor primadona yakni Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)

”Mereka menjadi sektor yang cukup terdampak, jika UMKM melemah, primadona yang kita mau diunggulkan di 2045 untuk bagaimana umkm menjadi bagian penggerak ekonomi di Indonesia akan terjadi,”sebutnya.

Meskipun memiliki dampak negatif, Fitria menyebut, PPN 12 persen akan berdampak positif pada peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). ”Positifnya APBD bertambah, bagaimana pemasukan atas pajak, akan memberikan kontribusi APBN,”ungkapnya.

Oleh karena, itu lanjut Dosen di FEB UPR ini menyarankan perlunya pemerintah melakukan intervensi APBN dari pendapatan atas pajak agar tepat sasaran.

”Kedua yakni bagaimana pemerintah memberikan konpensasi lain yang nannti bisa memitigasi risiko dari ketidakmampuan mencapai kualitas tertentu taraf hidup masayarakat,” terangnya. (hfz)

Terpopuler

Artikel Terbaru

/