Potret tubuh manusia kerap ditampilkan melalui berbagai rupa. Berbagai eksplorasi tubuh dan bentuk manusia itulah yang ditampilkan dalam pameran bertajuk Figure A oleh Aharimu yang merupakan julukan Adine Halim.
DALAM kolaborasinya bersama RUCI Art Space, Aharimu menyebut bahwa pameran tunggal pertamanya itu menonjolkan eksplorasi unik dari bentuk manusia sebagai media tekstur, komposisi, dan warna. Melampaui dari sekadar representasi subjek.
Tubuh manusia dalam karya Aharimu adalah bentuk-bentuk yang senantiasa berubah dan beralih antara keakraban dan ambiguitas. Hal itu mengundang audiens terlibat secara mendalam melalui warna, tekstur, dan bentuk. Pameran yang berlangsung pada 8 Desember 2024 hingga 20 Januari 2025 tersebut juga menampilkan keindahan palet warna cerah yang terinspirasi dari impresionisme.
Aharimu mengeksplorasi interaksi warna untuk menciptakan sensasi visual yang dinamis dan hidup. Selain itu, karya-karyanya mencerminkan beragam inspirasi. Mulai budaya populer seperti manga, animasi kontemporer, hingga estetika sureal dan ekspresif dari seri Creature karya modernis Bali, Made Wianta.
Figure A merupakan kumpulan koleksi 25 karya yang terbagi dalam lukisan, gambar, dan patung yang memperlihatkan pendekatan ringan tapi cermat terhadap berbagai kemungkinan dalam seni lukis figur.
Zarani Risjad selaku kurator mengatakan bahwa setiap karya Aharimu dalam Figure A menggambarkan sosok-sosok anonim. Identitas mereka terlucuti dan kerap tanpa gender. Hal itu menekankan peran mereka sebagai media penyelidikan artistik. Mengacu pada praktik-praktik tradisional seperti still life dan life drawing, Aharimu menafsirkan ulang fondasi klasik itu dalam sentuhan yang khas.
”Terinspirasi oleh palet warna impresionisme yang semarak, Aharimu menekankan pelapisan dan penjajaran warna untuk menciptakan efek semarak dan bercahaya, yang membangkitkan sensasi visual yang dinamis dan hidup,” tutur Zarani.
Garis-garis cat yang pendek dan bergelombang dengan berbagai warna diaplikasikan di seluruh kanvas. Hal itu memecah ilusi permukaan yang halus dan mengilap sekaligus menekankan tindakan melukis. Berbagai pengaruh itu, menurut Zarani, mencerminkan kemampuan Aharimu menjembatani kesenjangan antara seni tinggi tradisional dan narasi kontemporer.
Zarani mencontohkan pada karya Crying Over Spilled Milk mengandung judul yang ditafsirkan secara harfiah dan visual. Yakni, sekotak susu yang mengalir ke sungai. ”Adegan-adegan fantastis ini berisi momen-momen dari kehidupan sehari-hari, yang kemudian disusun ulang dan ditata ulang untuk menghilangkan jejak logika apa pun, didramatisasi, seolah-olah dalam mimpi,” tutur Zarani.
Pada karya Sex No. 64, misalnya, dua sosok saling berpelukan, menatap satu sama lain dengan mata lebar dan bersemangat. Mereka memancarkan keintiman.
Secara umum, Zarani memandang bahwa tubuh manusia menjadi bentuk yang abstrak dan cair dalam Figure A. Bergeser antara keakraban dan ambiguitas. Hal itu menantang para penikmat karya seni untuk melihat melampaui jasmani dan terlibat dengan interaksi warna, tekstur, dan bentuk. (dee/c7/kkn/jpg)