26.2 C
Jakarta
Friday, December 27, 2024

Mutasi Sel Terorisme

AFGHANISTAN bukanlah Indonesia. Tapi, jangan pernah lupa, dalam konteks ekstremisme kekerasan dalam bentuk terorisme, Indonesia pernah menjadi saksi bahwa terorisme yang pernah terjadi di Indonesia memiliki kaitan cukup pelik dengan Afghanistan. Para penggerak Jamaah Islamiyah (JI) sebagai kelompok yang pernah menjadi pelaku langsung bom Bali I tahun 2002 silam, sebagai contoh, sebelumnya memiliki eksposur yang kuat terhadap pendadaran ekstremisme kekerasan di negeri Afghanistan.

Hengkangnya Amerika Serikat (AS) pada 31 Agustus 2021 dari Afghanistan memiliki dampak politik ganda, internal dan eksternal Afghanistan. Pertama, hengkangnya AS memberikan ruang yang lebar bagi kelompok Taliban untuk makin leluasa mendominasi panggung kuasa pemerintahan di Afghanistan, lalu mengubah lanskap politik kekuasaan di internal negeri itu. Kedua, hengkangnya AS memberikan kepercayaan diri yang tinggi kepada kelompok-kelompok ekstremis di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, untuk makin menunjukkan eksistensinya.

Dampak yang disebut pertama memang tidak berjalan mulus. Tidak seperti main sulap yang membuat banyak pihak tercengang. Taliban dihadapkan pada pertempuran di internal faksi-faksi politik di Afghanistan. Para fighter dari kelompok yang beragam yang selama ini tertekan secara politik kini muncul “bermain panggung” pula. Munculnya National Resistance Front (NRF) pimpinan Ahmad Shah Massoud di Lembah Panjshir menjadi bukti pembenarnya.

Terlepas dari faksionalisme di internal Afghanistan, dampak yang disebut kedua dari pengaruh peristiwa di Afghanistan kepada wilayah di luar Afghanistan penting untuk dicermati bersama. Pasalnya, peristiwa itu membuat banyak pemerintahan di dunia harus menaruh kewaspadaan tinggi. Indonesia tak terkecuali.

Mengapa kewaspadaan ini meningkat? Tentu, naiknya Taliban ke kekuasaan di Afghanistan membuat kepercayaan diri yang tinggi di internal para pelaku ekstremisme kekerasan dan atau terorisme di Indonesia. Dan kepercayaan diri yang kuat itu lalu membuat sistem sleeper cells (sel tidur) sebagai model dan mekanisme perekrutan serta pengembangan diri terorisme menemukan momentumnya untuk tumbuh. Baik dalam konteks pembesaran sel maupun pembiakan.

Sistem sel tidur kini menjadi isu paling sentral dalam kaitan pewaspadan ini. Kata “sel” sendiri di sini mengirim pesan bahwa mereka yang terlibat dalam tindak ekstremisme berasal dari sejumlah faksi. Tentu awalnya bisa saja “kecil”, lalu membesar dan membiak menyusul terjadinya mutasi yang sukses.

Baca Juga :  Pinjol dan Teror Ruang Pribadi

Meskipun diikat oleh ideologi yang sama, mereka faktanya tidak tunggal. Munculnya beragam kelompok, mulai JI hingga Mujahidin Indonesia Timur (MIT), menandai fragmentasi itu. Dan semua ini menjelaskan bahwa faksionalisme menjadi bagian dari pergerakan pelaku tindak pidana ekstremisme kekerasan dan atau terorisme. Diibaratkan layaknya sel, mikroorganisme: dari terorisme itu berkembang dalam banyak variannya.

Selain itu, kata “tidur” dalam frasa “sel tidur” menandakan bahwa sel-sel terorisme tersebut tinggal menunggu momentum untuk bangkit dan bergerak. Saat momentum itu belum ada atau belum tercipta, mereka mengambil posisi tiarap. Saat semua serba memungkinkan, sel-sel terorisme itu siap muncul dengan aktivitasnya.

Momentum-momentum tersebut di antaranya terbentuk oleh buruknya tata kelola dan kinerja pemerintahan setempat serta gejolak sosial politik keagamaan di kawasan lain seperti Timur Tengah dan Asia Selatan. Jika momentum-momentum tersebut tercipta, sel-sel ekstremisme kekerasan di internal negeri itu akan segera bangkit dan bergerak.

Pada titik inilah, sangat dimungkinkan timbulnya mutasi sel pada terorisme. Ada dua model mutasi sel terorisme ini, terorganisasi dan sporadis. Yang pertama membuat lahirnya banyak kelompok baru. Yang kedua melahirkan fenomena lone wolf (singa penyendiri).

Memang, George Michael (2012:166) telah mengingatkan bahwa fenomena “singa penyendiri” lebih menimbulkan gangguan sosial (social nuisance) daripada badai politik (political storm). Tapi, penting dicatat, mutasi sel dalam bentuk sporadis melalui fenomena “singa penyendiri” tersebut tetap akan mengganggu sebuah negara. Pasalnya, munculnya terorisme, bahkan dalam bentuk “singa penyendiri” sekalipun, akan mengganggu sebuah negara. Minimal karena kepercayaan dunia internasional akan turun terhadap tingkat keamanan negeri itu. Ekonomi pun akan ikut terdampak akibat menurunnya kepercayaan publik (public trust) terhadap Indonesia.

Baca Juga :  Ke(tidak)akuratan LHKPN

Pengalaman lapangan sudah mengingatkan, baik pembiakan dalam bentuk terorganisasi melalui kelompok-kelompok ekstremis kekerasan maupun sporadis dalam bentuk “singa penyendiri”, semuanya hadir di Indonesia. Dulu saat awal penanganan kasus bom Bali I dengan tertangkapnya Imam Samudera, Ali Ghufron alias Muklas, dan Amrozi, identitas JI menjadi perdebatan panjang. Apalagi, nama JI bisa menunjuk ke seluruh umat Islam lantaran nama itu memiliki padanan arti dalam bahasa Indonesia “kelompok Islam”.

Kini kelompok pelaku ekstreisme kekerasan dalam bentuk terorisme di Indonesia makin jamak. Sejumlah kelompok lahir dan masing-masing membawa identitas nomenklatural. Mulai Jamaah Ansharut Daulah (JAD) hingga MIT yang disebut sebelumnya. Ini semua menandakan bahwa ada proses mutasi dalam bentuk pembiakan sel secara terorganisasi dalam kelompok. Masing-masing aktif dalam melakukan perekrutan anggota baru hingga aksi penyerangan fisik.

 

Lebih dari itu, munculnya para pelaku penyerangan fisik ke sejumlah tempat dan aset vital publik oleh individu-individu pelaku yang bergerak menyendiri tanpa komando menjadi pengingat bahwa mutasi sel terorisme dalam bentuk yang sporadis melalui fenomena “singa penyendiri” bukan isapan jempol di negeri ini.

Mutasi sel terorisme dengan dua bentuk di atas sebelumnya terjadi di Indonesia saat para pelaku lokal ekstremisme kekerasan tidak mendapatkan momentum dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi seperti saat ini menyusul naiknya Taliban ke puncak kekuasaan politik di Afghanistan. Untuk itu, kewaspadaan sudah sepatutnya dilakukan terhadap mutasi sel terorisme, baik dalam bentuk terorganisasi kelompok maupun “singa penyendiri”.

Makin majunya teknologi informasi dalam bentuk platform digital yang makin memudahkan komunikasi dan sosialisasi membuat individu-individu makin kuat terekspos ke dalam jebakan ekstremisme kekerasan. Bertemunya kemajuan teknologi informasi dan meningginya tingkat kepercayaan diri para pelaku ekstremisme kekerasan dengan menjadikan kasus Taliban di Afghanistan sebagai referensi makin mempercepat mutasi sel terorisme dimaksud. (*)

AKH. MUZAKKI, Guru Besar dan Dekan FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya

AFGHANISTAN bukanlah Indonesia. Tapi, jangan pernah lupa, dalam konteks ekstremisme kekerasan dalam bentuk terorisme, Indonesia pernah menjadi saksi bahwa terorisme yang pernah terjadi di Indonesia memiliki kaitan cukup pelik dengan Afghanistan. Para penggerak Jamaah Islamiyah (JI) sebagai kelompok yang pernah menjadi pelaku langsung bom Bali I tahun 2002 silam, sebagai contoh, sebelumnya memiliki eksposur yang kuat terhadap pendadaran ekstremisme kekerasan di negeri Afghanistan.

Hengkangnya Amerika Serikat (AS) pada 31 Agustus 2021 dari Afghanistan memiliki dampak politik ganda, internal dan eksternal Afghanistan. Pertama, hengkangnya AS memberikan ruang yang lebar bagi kelompok Taliban untuk makin leluasa mendominasi panggung kuasa pemerintahan di Afghanistan, lalu mengubah lanskap politik kekuasaan di internal negeri itu. Kedua, hengkangnya AS memberikan kepercayaan diri yang tinggi kepada kelompok-kelompok ekstremis di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, untuk makin menunjukkan eksistensinya.

Dampak yang disebut pertama memang tidak berjalan mulus. Tidak seperti main sulap yang membuat banyak pihak tercengang. Taliban dihadapkan pada pertempuran di internal faksi-faksi politik di Afghanistan. Para fighter dari kelompok yang beragam yang selama ini tertekan secara politik kini muncul “bermain panggung” pula. Munculnya National Resistance Front (NRF) pimpinan Ahmad Shah Massoud di Lembah Panjshir menjadi bukti pembenarnya.

Terlepas dari faksionalisme di internal Afghanistan, dampak yang disebut kedua dari pengaruh peristiwa di Afghanistan kepada wilayah di luar Afghanistan penting untuk dicermati bersama. Pasalnya, peristiwa itu membuat banyak pemerintahan di dunia harus menaruh kewaspadaan tinggi. Indonesia tak terkecuali.

Mengapa kewaspadaan ini meningkat? Tentu, naiknya Taliban ke kekuasaan di Afghanistan membuat kepercayaan diri yang tinggi di internal para pelaku ekstremisme kekerasan dan atau terorisme di Indonesia. Dan kepercayaan diri yang kuat itu lalu membuat sistem sleeper cells (sel tidur) sebagai model dan mekanisme perekrutan serta pengembangan diri terorisme menemukan momentumnya untuk tumbuh. Baik dalam konteks pembesaran sel maupun pembiakan.

Sistem sel tidur kini menjadi isu paling sentral dalam kaitan pewaspadan ini. Kata “sel” sendiri di sini mengirim pesan bahwa mereka yang terlibat dalam tindak ekstremisme berasal dari sejumlah faksi. Tentu awalnya bisa saja “kecil”, lalu membesar dan membiak menyusul terjadinya mutasi yang sukses.

Baca Juga :  Pinjol dan Teror Ruang Pribadi

Meskipun diikat oleh ideologi yang sama, mereka faktanya tidak tunggal. Munculnya beragam kelompok, mulai JI hingga Mujahidin Indonesia Timur (MIT), menandai fragmentasi itu. Dan semua ini menjelaskan bahwa faksionalisme menjadi bagian dari pergerakan pelaku tindak pidana ekstremisme kekerasan dan atau terorisme. Diibaratkan layaknya sel, mikroorganisme: dari terorisme itu berkembang dalam banyak variannya.

Selain itu, kata “tidur” dalam frasa “sel tidur” menandakan bahwa sel-sel terorisme tersebut tinggal menunggu momentum untuk bangkit dan bergerak. Saat momentum itu belum ada atau belum tercipta, mereka mengambil posisi tiarap. Saat semua serba memungkinkan, sel-sel terorisme itu siap muncul dengan aktivitasnya.

Momentum-momentum tersebut di antaranya terbentuk oleh buruknya tata kelola dan kinerja pemerintahan setempat serta gejolak sosial politik keagamaan di kawasan lain seperti Timur Tengah dan Asia Selatan. Jika momentum-momentum tersebut tercipta, sel-sel ekstremisme kekerasan di internal negeri itu akan segera bangkit dan bergerak.

Pada titik inilah, sangat dimungkinkan timbulnya mutasi sel pada terorisme. Ada dua model mutasi sel terorisme ini, terorganisasi dan sporadis. Yang pertama membuat lahirnya banyak kelompok baru. Yang kedua melahirkan fenomena lone wolf (singa penyendiri).

Memang, George Michael (2012:166) telah mengingatkan bahwa fenomena “singa penyendiri” lebih menimbulkan gangguan sosial (social nuisance) daripada badai politik (political storm). Tapi, penting dicatat, mutasi sel dalam bentuk sporadis melalui fenomena “singa penyendiri” tersebut tetap akan mengganggu sebuah negara. Pasalnya, munculnya terorisme, bahkan dalam bentuk “singa penyendiri” sekalipun, akan mengganggu sebuah negara. Minimal karena kepercayaan dunia internasional akan turun terhadap tingkat keamanan negeri itu. Ekonomi pun akan ikut terdampak akibat menurunnya kepercayaan publik (public trust) terhadap Indonesia.

Baca Juga :  Ke(tidak)akuratan LHKPN

Pengalaman lapangan sudah mengingatkan, baik pembiakan dalam bentuk terorganisasi melalui kelompok-kelompok ekstremis kekerasan maupun sporadis dalam bentuk “singa penyendiri”, semuanya hadir di Indonesia. Dulu saat awal penanganan kasus bom Bali I dengan tertangkapnya Imam Samudera, Ali Ghufron alias Muklas, dan Amrozi, identitas JI menjadi perdebatan panjang. Apalagi, nama JI bisa menunjuk ke seluruh umat Islam lantaran nama itu memiliki padanan arti dalam bahasa Indonesia “kelompok Islam”.

Kini kelompok pelaku ekstreisme kekerasan dalam bentuk terorisme di Indonesia makin jamak. Sejumlah kelompok lahir dan masing-masing membawa identitas nomenklatural. Mulai Jamaah Ansharut Daulah (JAD) hingga MIT yang disebut sebelumnya. Ini semua menandakan bahwa ada proses mutasi dalam bentuk pembiakan sel secara terorganisasi dalam kelompok. Masing-masing aktif dalam melakukan perekrutan anggota baru hingga aksi penyerangan fisik.

 

Lebih dari itu, munculnya para pelaku penyerangan fisik ke sejumlah tempat dan aset vital publik oleh individu-individu pelaku yang bergerak menyendiri tanpa komando menjadi pengingat bahwa mutasi sel terorisme dalam bentuk yang sporadis melalui fenomena “singa penyendiri” bukan isapan jempol di negeri ini.

Mutasi sel terorisme dengan dua bentuk di atas sebelumnya terjadi di Indonesia saat para pelaku lokal ekstremisme kekerasan tidak mendapatkan momentum dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi seperti saat ini menyusul naiknya Taliban ke puncak kekuasaan politik di Afghanistan. Untuk itu, kewaspadaan sudah sepatutnya dilakukan terhadap mutasi sel terorisme, baik dalam bentuk terorganisasi kelompok maupun “singa penyendiri”.

Makin majunya teknologi informasi dalam bentuk platform digital yang makin memudahkan komunikasi dan sosialisasi membuat individu-individu makin kuat terekspos ke dalam jebakan ekstremisme kekerasan. Bertemunya kemajuan teknologi informasi dan meningginya tingkat kepercayaan diri para pelaku ekstremisme kekerasan dengan menjadikan kasus Taliban di Afghanistan sebagai referensi makin mempercepat mutasi sel terorisme dimaksud. (*)

AKH. MUZAKKI, Guru Besar dan Dekan FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya

Terpopuler

Artikel Terbaru