26.5 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Pelayanan Terpadu untuk Warga Desa

Integrasi layanan praktis bagi warga desa selayaknya diemban dan dikembangkan dari pos pelayanan terpadu (posyandu) desa. Penegasan nama lembaga ini merujuk pada pelayanan-pelayanan praktis yang bersentuhan dengan kesejahteraan warga desa. Keterpaduannya mencakup aspek layanan, data dan informasi, hingga penyuluhan serta peningkatan kapasitas masyarakat.

Hingga saat ini posyandu tumbuh subur di desa. Tahun 2021, tercatat ada 660.116 posyandu atau sekitar 9 pos per desa. Sebanyak 245.718 posyandu aktif melaksanakan kegiatan bulanan, 130.107 posyandu aktif dua bulanan, sementara aktivitas 284.291 posyandu tidak terjadwal. Pada 70.086 desa atau 93 persen dari 74.961 desa seluruh Indonesia, warganya aktif datang ke posyandu.SALAH satu visi politik pengaturan desa melalui Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah politik kesejahteraan, yang salah satunya dijalankan melalui peningkatan kualitas pelayanan publik kepada warga desa. Jamak dipahami, kebutuhan kesejahteraan warga desa sangatlah beragam dan butuh segera dilayani. Karena itulah, desa harus mampu dengan baik mendayagunakan lembaga kemasyarakatan desa agar mampu memadukan dan menjawab berbagai kebutuhan layanan di desa.

Sebagaimana pemerintah kabupaten/kota, dengan kewenangan yang dimiliki melalui kebijakan otonomi. Untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat, banyak kabupaten/kota telah mengembangkan mal pelayanan publik dan terbukti teruji bermanfaat di banyak daerah lantaran mengintegrasikan sebanyak mungkin layanan administratif.

Di desa, integrasi layanan administratif sehari-hari telah dijalankan pemerintah desa di kantor desa. Namun, kebutuhan warga lebih dari itu. Warga desa perlu layanan terpadu yang praktis, bukan semata-mata administratif. Layanan praktis terpadu yang dekat, menjangkau hingga permukiman warga, di wilayah dusun, rukun warga, atau rukun tetangga.

Sebagian besar pendanaan posyandu bersumber dari APB desa. Pada 60.066 atau 80 persen desa, sumber pendanaan posyandunya sepenuhnya dari APBDes. Kemudian, di 7.411 atau 10 persen desa, pendanaan posyandu bersumber dari APBDes dan dana dari warga. Sedangkan di 1.564 desa, warga secara sukarela beriuran untuk mendukung posyandu. Sementara pada desa-desa lainnya pendanaan posyandu ditunjang oleh perusahaan, pemerintah daerah, maupun sumber lainnya.

Mulanya posyandu untuk mengintegrasikan layanan kesehatan ibu sebelum melahirkan, pasca kelahiran, hingga tumbuh kembang bayi dan anak. Dalam perkembangannya, upaya keterpaduan beragam layanan di desa menjelmakan pengembangan layanan posyandu. Kini lahan keterpaduan posyandu kian meluas. Di Desa Banjartanggul, Mojokerto, misalnya, telah dikembangkan layanan pos PAUD untuk memulai pendidikan anak sejak usia dini. Kemudian, layanan untuk remaja telah dijalankan Desa Banjarsari, Lombok Timur, berupa timbang badan dan mencukupi gizi serta konsultasi dan informasi seputar kehidupan remaja. Posyandu di Desa Pucanganak, Trenggalek, Jawa Timur, juga telah melayani warga lansia untuk mempertahankan kebugaran dan menjaga psikologisnya.

Baca Juga :  Mutasi Sel Terorisme

Penanganan stunting di Desa Akah, Klungkung, juga dijalankan posyandu. Layanan terhadap warga difabel oleh posyandu terjadi di Desa Bedali, Malang, dengan kegiatan penghilangan stigma negatif bagi warga difabel, penanganan psikologis, dan peningkatan keterampilan. Posyandu juga turut membina orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), seperti yang dilakukan di Desa Bacem, Blitar, Jawa Timur.

Selama pandemi Covid-19, kader-kader posyandu di Desa Kambian Kaja, Denpasar, mendatangi rumah warga satu per satu untuk mengecek kesehatan ibu, anak, dan warga lanjut usia. Bahkan, identifikasi warga yang terjangkit Covid-19, pengelolaan konsumsi untuk warga yang isolasi mandiri, dan pengecekan pasca kesembuhan telah dilaksanakan kader-kader posyandu di Desa Ciapus, Bogor. Ini menunjukkan bahwa kerja berkesinambungan kader posyandu tanpa kenal waktu. Hasil banyak penelitian menyebutkan bahwa militansi kader tumbuh karena menguatnya keterikatan emosional, sosial, dan ekonomi kader terhadap kerja-kerja posyandu.

Pengalaman pengembangan desa menunjukkan perkembangan layanan posyandu spesifik, sesuai wilayah dan kapasitas kader pengelolanya. Jika segenap informasi ini dibaca dan digabungkan sampai ke level nasional, terbentanglah diorama keterpaduan layanan bagi warga desa.

Oleh karena itu, posyandu harus menjelma menjadi lembaga kemasyarakatan desa yang memadukan seluruh layanan praktis bagi warga desa. Struktur posyandu bisa disusun menurut unit-unit spesifik layanan warga: kesehatan ibu dan anak, pendidikan usia dini, pendampingan remaja, pendampingan warga berusia lanjut, pendampingan penyandang disabilitas, penanganan penyakit kronis dan menahun, informasi dan pelaksanaan vaksinasi, pencegahan dan penanganan penderita Covid-19, penanganan keluarga miskin kronis, penyaluran bantuan sosial, serta berbagai layanan kepada warga desa lainnya.

Maka, untuk memudahkan desa, Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi sedang menyusun sistem informasi posyandu desa. Aplikasi yang hendak disebarkan ke seluruh desa ini terbagi menurut unit kerja posyandu. Di dalamnya juga terbaca data potensi dan masalah terbaru, yang terkumpul dari pendataan SDGs Desa, berupa nama dan alamat RT/RW keluarga miskin kronis, nama penganggur, warga dengan penyakit kronis dan menahun, anak putus sekolah, warga difabel, penerima bantuan sosial, penderita Covid-19, kebutuhan vaksinasi, dan sebagainya. Ketika dijalankan, aplikasi otomatis merekam kegiatan yang dijalankan tiap unit kerja posyandu dan rekaman riwayat tindakan kader posyandu ini akan memudahkan layanan lanjutan yang dibutuhkan masing-masing warga desa.

Baca Juga :  Moderasi Beragama untuk Milenial

Posyandu Rujukan Data

 

Sejak 2021 ini desa mulai membuktikan bahwa desa bisa berdaulat atas data desa, rukun tetangga, keluarga, dan warga desa. Dimulai Maret 2021, desa-desa di Indonesia memungkasi pemutakhiran data SDGs Desa. Sampai 11 Agustus 2021, sebanyak 1,5 juta warga berpartisipasi mengumpulkan 86 juta data warga desa (73 persen dan penduduk desa), 29 juta keluarga (94 persen dari keluarga di desa), 464 ribu data rukun tetangga, dan 43.223 data desa (58 persen desa Indonesia).

Sebagai upaya terpadu percepatan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan, SDGs Desa memiliki 18 tujuan dan 222 indikator kunci yang akan dicapai hingga 2030. Pada aspek kewargaan, SDGs Desa bertujuan mewujudkan desa tanpa kemiskinan, desa tanpa kelaparan, desa sehat dan sejahtera, pendidikan desa berkualitas, keterlibatan perempuan desa, serta desa layak air bersih dan sanitasi.

Kemudian, pada aspek kewilayahan, SDGs Desa menekankan desa berenergi bersih dan terbarukan, pertumbuhan ekonomi desa merata, infrastruktur dan inovasi desa sesuai kebutuhan, desa tanpa kesenjangan, kawasan permukiman desa aman dan nyaman, konsumsi dan produksi desa sadar lingkungan, desa tanggap perubahan iklim, desa peduli lingkungan laut, dan desa peduli lingkungan darat. Sedangkan pada aspek kelembagaan, SDGs Desa mematok terwujudnya desa damai berkeadilan, kemitraan untuk pembangunan desa, serta kelembagaan desa dinamis dan budaya desa adaptif.

Data SDGs Desa dapat menunjukkan layanan yang dibutuhkan warga desa. Di dalamnya tersaji informasi alamat tiap-tiap keluarga yang membutuhkan berbagai layanan, mulai rumah sehat, fasilitas MCK, air bersih, pemanfaatan bantuan perlindungan sosial, maupun layanan lainnya. Diketahui juga nama dan alamat warga yang berusia bayi, balita, anak, remaja, hingga lanjut usia. Diperoleh pula data warga yang membutuhkan layanan pendidikan usia dini, ibu hamil dan menyusui, warga difabel, anak tidak sekolah, miskin dan miskin kronis, serta penderita penyakit menahun seperti malaria, TB paru, jantung, diabetes, dan lainnya.

Data mikro dan detail di tiap desa ini menjelaskan kebutuhan warga. Inilah fokus kerja yang perlu dijalankan pos pelayanan terpadu. Sebab, posyandu adalah wujud kelembagaan yang mampu memberikan layanan bagi warga dengan memadukan kerja-kerja mencapai 18 tujuan SDGs Desa. Kita Percaya, Desa Bisa! (*)

 

A. HALIM ISKANDAR, Menteri Desa, PDT,dan Transmigrasi, Ketua DPWPKB Jawa Timur

Integrasi layanan praktis bagi warga desa selayaknya diemban dan dikembangkan dari pos pelayanan terpadu (posyandu) desa. Penegasan nama lembaga ini merujuk pada pelayanan-pelayanan praktis yang bersentuhan dengan kesejahteraan warga desa. Keterpaduannya mencakup aspek layanan, data dan informasi, hingga penyuluhan serta peningkatan kapasitas masyarakat.

Hingga saat ini posyandu tumbuh subur di desa. Tahun 2021, tercatat ada 660.116 posyandu atau sekitar 9 pos per desa. Sebanyak 245.718 posyandu aktif melaksanakan kegiatan bulanan, 130.107 posyandu aktif dua bulanan, sementara aktivitas 284.291 posyandu tidak terjadwal. Pada 70.086 desa atau 93 persen dari 74.961 desa seluruh Indonesia, warganya aktif datang ke posyandu.SALAH satu visi politik pengaturan desa melalui Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah politik kesejahteraan, yang salah satunya dijalankan melalui peningkatan kualitas pelayanan publik kepada warga desa. Jamak dipahami, kebutuhan kesejahteraan warga desa sangatlah beragam dan butuh segera dilayani. Karena itulah, desa harus mampu dengan baik mendayagunakan lembaga kemasyarakatan desa agar mampu memadukan dan menjawab berbagai kebutuhan layanan di desa.

Sebagaimana pemerintah kabupaten/kota, dengan kewenangan yang dimiliki melalui kebijakan otonomi. Untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat, banyak kabupaten/kota telah mengembangkan mal pelayanan publik dan terbukti teruji bermanfaat di banyak daerah lantaran mengintegrasikan sebanyak mungkin layanan administratif.

Di desa, integrasi layanan administratif sehari-hari telah dijalankan pemerintah desa di kantor desa. Namun, kebutuhan warga lebih dari itu. Warga desa perlu layanan terpadu yang praktis, bukan semata-mata administratif. Layanan praktis terpadu yang dekat, menjangkau hingga permukiman warga, di wilayah dusun, rukun warga, atau rukun tetangga.

Sebagian besar pendanaan posyandu bersumber dari APB desa. Pada 60.066 atau 80 persen desa, sumber pendanaan posyandunya sepenuhnya dari APBDes. Kemudian, di 7.411 atau 10 persen desa, pendanaan posyandu bersumber dari APBDes dan dana dari warga. Sedangkan di 1.564 desa, warga secara sukarela beriuran untuk mendukung posyandu. Sementara pada desa-desa lainnya pendanaan posyandu ditunjang oleh perusahaan, pemerintah daerah, maupun sumber lainnya.

Mulanya posyandu untuk mengintegrasikan layanan kesehatan ibu sebelum melahirkan, pasca kelahiran, hingga tumbuh kembang bayi dan anak. Dalam perkembangannya, upaya keterpaduan beragam layanan di desa menjelmakan pengembangan layanan posyandu. Kini lahan keterpaduan posyandu kian meluas. Di Desa Banjartanggul, Mojokerto, misalnya, telah dikembangkan layanan pos PAUD untuk memulai pendidikan anak sejak usia dini. Kemudian, layanan untuk remaja telah dijalankan Desa Banjarsari, Lombok Timur, berupa timbang badan dan mencukupi gizi serta konsultasi dan informasi seputar kehidupan remaja. Posyandu di Desa Pucanganak, Trenggalek, Jawa Timur, juga telah melayani warga lansia untuk mempertahankan kebugaran dan menjaga psikologisnya.

Baca Juga :  Mutasi Sel Terorisme

Penanganan stunting di Desa Akah, Klungkung, juga dijalankan posyandu. Layanan terhadap warga difabel oleh posyandu terjadi di Desa Bedali, Malang, dengan kegiatan penghilangan stigma negatif bagi warga difabel, penanganan psikologis, dan peningkatan keterampilan. Posyandu juga turut membina orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), seperti yang dilakukan di Desa Bacem, Blitar, Jawa Timur.

Selama pandemi Covid-19, kader-kader posyandu di Desa Kambian Kaja, Denpasar, mendatangi rumah warga satu per satu untuk mengecek kesehatan ibu, anak, dan warga lanjut usia. Bahkan, identifikasi warga yang terjangkit Covid-19, pengelolaan konsumsi untuk warga yang isolasi mandiri, dan pengecekan pasca kesembuhan telah dilaksanakan kader-kader posyandu di Desa Ciapus, Bogor. Ini menunjukkan bahwa kerja berkesinambungan kader posyandu tanpa kenal waktu. Hasil banyak penelitian menyebutkan bahwa militansi kader tumbuh karena menguatnya keterikatan emosional, sosial, dan ekonomi kader terhadap kerja-kerja posyandu.

Pengalaman pengembangan desa menunjukkan perkembangan layanan posyandu spesifik, sesuai wilayah dan kapasitas kader pengelolanya. Jika segenap informasi ini dibaca dan digabungkan sampai ke level nasional, terbentanglah diorama keterpaduan layanan bagi warga desa.

Oleh karena itu, posyandu harus menjelma menjadi lembaga kemasyarakatan desa yang memadukan seluruh layanan praktis bagi warga desa. Struktur posyandu bisa disusun menurut unit-unit spesifik layanan warga: kesehatan ibu dan anak, pendidikan usia dini, pendampingan remaja, pendampingan warga berusia lanjut, pendampingan penyandang disabilitas, penanganan penyakit kronis dan menahun, informasi dan pelaksanaan vaksinasi, pencegahan dan penanganan penderita Covid-19, penanganan keluarga miskin kronis, penyaluran bantuan sosial, serta berbagai layanan kepada warga desa lainnya.

Maka, untuk memudahkan desa, Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi sedang menyusun sistem informasi posyandu desa. Aplikasi yang hendak disebarkan ke seluruh desa ini terbagi menurut unit kerja posyandu. Di dalamnya juga terbaca data potensi dan masalah terbaru, yang terkumpul dari pendataan SDGs Desa, berupa nama dan alamat RT/RW keluarga miskin kronis, nama penganggur, warga dengan penyakit kronis dan menahun, anak putus sekolah, warga difabel, penerima bantuan sosial, penderita Covid-19, kebutuhan vaksinasi, dan sebagainya. Ketika dijalankan, aplikasi otomatis merekam kegiatan yang dijalankan tiap unit kerja posyandu dan rekaman riwayat tindakan kader posyandu ini akan memudahkan layanan lanjutan yang dibutuhkan masing-masing warga desa.

Baca Juga :  Moderasi Beragama untuk Milenial

Posyandu Rujukan Data

 

Sejak 2021 ini desa mulai membuktikan bahwa desa bisa berdaulat atas data desa, rukun tetangga, keluarga, dan warga desa. Dimulai Maret 2021, desa-desa di Indonesia memungkasi pemutakhiran data SDGs Desa. Sampai 11 Agustus 2021, sebanyak 1,5 juta warga berpartisipasi mengumpulkan 86 juta data warga desa (73 persen dan penduduk desa), 29 juta keluarga (94 persen dari keluarga di desa), 464 ribu data rukun tetangga, dan 43.223 data desa (58 persen desa Indonesia).

Sebagai upaya terpadu percepatan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan, SDGs Desa memiliki 18 tujuan dan 222 indikator kunci yang akan dicapai hingga 2030. Pada aspek kewargaan, SDGs Desa bertujuan mewujudkan desa tanpa kemiskinan, desa tanpa kelaparan, desa sehat dan sejahtera, pendidikan desa berkualitas, keterlibatan perempuan desa, serta desa layak air bersih dan sanitasi.

Kemudian, pada aspek kewilayahan, SDGs Desa menekankan desa berenergi bersih dan terbarukan, pertumbuhan ekonomi desa merata, infrastruktur dan inovasi desa sesuai kebutuhan, desa tanpa kesenjangan, kawasan permukiman desa aman dan nyaman, konsumsi dan produksi desa sadar lingkungan, desa tanggap perubahan iklim, desa peduli lingkungan laut, dan desa peduli lingkungan darat. Sedangkan pada aspek kelembagaan, SDGs Desa mematok terwujudnya desa damai berkeadilan, kemitraan untuk pembangunan desa, serta kelembagaan desa dinamis dan budaya desa adaptif.

Data SDGs Desa dapat menunjukkan layanan yang dibutuhkan warga desa. Di dalamnya tersaji informasi alamat tiap-tiap keluarga yang membutuhkan berbagai layanan, mulai rumah sehat, fasilitas MCK, air bersih, pemanfaatan bantuan perlindungan sosial, maupun layanan lainnya. Diketahui juga nama dan alamat warga yang berusia bayi, balita, anak, remaja, hingga lanjut usia. Diperoleh pula data warga yang membutuhkan layanan pendidikan usia dini, ibu hamil dan menyusui, warga difabel, anak tidak sekolah, miskin dan miskin kronis, serta penderita penyakit menahun seperti malaria, TB paru, jantung, diabetes, dan lainnya.

Data mikro dan detail di tiap desa ini menjelaskan kebutuhan warga. Inilah fokus kerja yang perlu dijalankan pos pelayanan terpadu. Sebab, posyandu adalah wujud kelembagaan yang mampu memberikan layanan bagi warga dengan memadukan kerja-kerja mencapai 18 tujuan SDGs Desa. Kita Percaya, Desa Bisa! (*)

 

A. HALIM ISKANDAR, Menteri Desa, PDT,dan Transmigrasi, Ketua DPWPKB Jawa Timur

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru