25 C
Jakarta
Thursday, November 28, 2024

Renungan Idul Adha 1442 Hijriah: Hari Penyembelihan Ego Diri

ADALAH Ibrahim Ibn Aazar (dilahirkan di Kota Ur, Iraq, 2166 SM) dan Ismail (lahir di Kota Hebron, Palestina, 2080 SM) sebagai aktor utama peradaban penanda Idul Adha. Dwifigur yang sangat fenomenal dalam mengonstruksi perilaku publik.

Gerakan perlawanan kepada rezim sosial yang tidak mengenal tauhid dilancarkan sejak usia Ibrahim AS 14 tahun. Pada jejak waktu umur 16 tahun mengalami proses peradilan dengan vonis yang gamblang dalam sejarahnya. Beliau dibakar pada 2150 dengan selamat karena ”api itu diperintahkan oleh-Nya untuk menjaganya”. Spektakuler dan ini sangat mukjizati.

Ibrahim membawa misi monoteisme Islam dengan ritual haji dan berkurban dalam suasana Idul Adha yang didemonstrasikan secara terang di risalah kenabian Rasulullah Muhammad SAW. Praksis ”berlari kecil” seorang ibu yang bernama Siti Hajar dari Shafa ke Marwah berkelindan dengan hadirnya mukjizat sumur zamzam.

Ibadah haji –yang untuk Indonesia sedang ”dispiritualisasi” oleh pandemi Covid-19– adalah realitas keagamaan yang menakjubkan. Prosesinya sangat tertata dan ini hanya dapat dirasakan secara total oleh mereka yang ”memenuhi panggilan-Nya”. Dalam rumpun akhlak kemanusiaan dan jenjang peribadatan, apa yang dilakukan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS amat menggetarkan. Demikianlah beribu-ribu lembar kitab dapat dirujuk mengenai referensi ajaran Ilahiah yang sangat Islami, pembawa keselamatan dengan pengorbanan yang tertundukkan atas nama ketaatan.

Hal ini berarti ketaatan kepada-Nya merupakan fondasi utama pembangunan manusia agar mencapai derajat tertinggi. Taat itulah yang direfleksikan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam prosesi ”penyembelihan diri”. Ini sejatinya adalah sesi ”penyembelihan ego, penyembelihan keakuan, penyembelihan sopo siro sopo ingsun”. Pada puncaknya adalah ”peleburan eksistensi egoistis” melalui ketaatan paling suprematif kepada-Nya”. Itulah arti pengorbanan terhebat yang pernah terjadi yang hanya sanggup dipikul oleh dua sosok agung (Ibrahim-Ismail AS).

Baca Juga :  Menuju Kemenangan Sejati Melawan Pandemi Covid-19

Pengorbanan yang tidak berbatas itulah yang kemudian memendarkan karakter empati, peduli, sanggup merasakan derita siapa pun sebagai sesama manusia, sesama hamba, sesama makhluk Tuhan. Pada titik inilah kekuasaan negara harus bertanggung jawab atas derita rakyatnya (apalagi yang terkena Covid-19). Beban bencana akibat pandemi sungguh sudah sangat mengguncang esensi keberadaan negara.

Otoritas negara dengan segala perangkat kenegaraannya sedang dipertanyakan kegunaannya. Institusi negara sedang dipotret untuk menjadi ”kitab babon” esok hari bahwa kita pernah gagal atau berhasil melalui pandemi ini. Sekarang inilah saatnya negara berkurban total untuk menyelamatkan rakyat. Intervensi kebijakan dan anggaran dapat diambil untuk menjaga imunitas rakyat.

PPKM darurat yang tengah diterapkan ini sedang memekikkan pelajaran agar bulan depan (Agustus) kita benar-benar memiliki kekuasaan yang memerdekakan rakyat dari penderitaan pandemi. Pandemi yang terjadi janganlah dianggap sebagai ritual kosmologis yang konspiratif. Ini pasti ada yang salah dalam desain relasi bisnis sehingga ada ”dugaan kapitalisasi Covid-19”.

Negara bukanlah keledai yang dapat terantuk untuk kedua kalinya di lubang yang sama. Negara juga bukan tupai yang sepandai-pandainya melompat akan terjatuh jua. Negara dengan segala alat kelengkapannya memiliki energi untuk menjaga kebugaran rakyatnya. Dalam bahasa Pembukaan UUD 1945, negara diadakan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darahnya. Adalah suatu ironi apabila di sebuah wilayah ada rakyat yang mengantre oksigen maupun obat-obatan. Padahal, teritori itu memiliki pemimpin yang dipilih secara demokratis. Pada segmen ini, khalayak bertanya: apa artinya pemilu bagi umat yang terkoyak pandemi?

Pemimpin itu semestinya selalu sadar bahwa orang-orang kebanyakan akan berpaling kepadanya untuk memperoleh kekuatan dan tuntunan, seperti ditulis Ram Charan (2008). Pemimpin hadir dengan gerak lompatnya yang terekam dalam gerakan rakyat agar tidak selalu linier. Bahkan dalam bahasa Friedrich Nietzsche (1844–1900) di karyanya, Also Sprach Zarathustra, kata lompatan terbidik seitensprange –lompatan ke samping. Dengan PPKM darurat saat ini, negara harus terjaga dan siap berlari. Berlari bukan untuk menghindar, tetapi berlari guna memenuhi hak rakyat agar tidak nelongso tanpa penjagaan diri. Dalam batas ini, keterjagaan negara adalah opsi tunggalnya.

Baca Juga :  Pangan Lokal, Impor Beras, dan Gizi Masyarakat

Kita semua memahami bahwa rakyat membentuk negara untuk menjadi panjer pergerakan hidupnya agar mereka tidak gagal sebagai rakyat, apalagi gagal menghadirkan pemimpin. Dari presiden sampai kepala desa yang telah dipilih rakyat diniscayakan mampu memahami amanat demokrasi dengan penuh tanggung jawab. Berbagai program pembangunan sang pemimpin harus memberikan solusi tentang kiprahnya yang memanggul daulat rakyat secara terhormat.

Siapa pun yang merasa menjadi pemimpin pastilah terpanggil dan niscaya berkomitmen untuk kreatif-inovatif, sesulit apa pun kondisinya. Hal itu mengingatkan saya pada surat yang dibuat tentara Jerman ketika menyerbu Rusia di masa Perang Dunia II, yaitu Franz Schneider dan Charles Gullans, yang dihimpun dalam buku Last Letters from Stalingrad. Dalam situasi terkepung dan terjebak perangkap yang sangat mengerikan, tentara tersebut menulis surat: ”… of course, I have tried everything to escape from this trap, but there only two ways left: to heaven or to Siberia …” Kemudian dia lanjutkan: ”Waiting is the best thing, because, as I said, the other is useless.”

Benarkah jalan terbaik bagi publik untuk mengatasi badai pandemi ini adalah menunggu? Tidak. Rakyat telah bergerak menolong sesamanya. Khalayak telah mengamalkan ajaran berkurban membagikan optimisme dengan menyembelih ego dirinya. (*)

*) SUPARTO WIJOYO, Wakil Direktur Bidang Riset, Pengmas, Digitalisasi, dan Internasionalisasi Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.

ADALAH Ibrahim Ibn Aazar (dilahirkan di Kota Ur, Iraq, 2166 SM) dan Ismail (lahir di Kota Hebron, Palestina, 2080 SM) sebagai aktor utama peradaban penanda Idul Adha. Dwifigur yang sangat fenomenal dalam mengonstruksi perilaku publik.

Gerakan perlawanan kepada rezim sosial yang tidak mengenal tauhid dilancarkan sejak usia Ibrahim AS 14 tahun. Pada jejak waktu umur 16 tahun mengalami proses peradilan dengan vonis yang gamblang dalam sejarahnya. Beliau dibakar pada 2150 dengan selamat karena ”api itu diperintahkan oleh-Nya untuk menjaganya”. Spektakuler dan ini sangat mukjizati.

Ibrahim membawa misi monoteisme Islam dengan ritual haji dan berkurban dalam suasana Idul Adha yang didemonstrasikan secara terang di risalah kenabian Rasulullah Muhammad SAW. Praksis ”berlari kecil” seorang ibu yang bernama Siti Hajar dari Shafa ke Marwah berkelindan dengan hadirnya mukjizat sumur zamzam.

Ibadah haji –yang untuk Indonesia sedang ”dispiritualisasi” oleh pandemi Covid-19– adalah realitas keagamaan yang menakjubkan. Prosesinya sangat tertata dan ini hanya dapat dirasakan secara total oleh mereka yang ”memenuhi panggilan-Nya”. Dalam rumpun akhlak kemanusiaan dan jenjang peribadatan, apa yang dilakukan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS amat menggetarkan. Demikianlah beribu-ribu lembar kitab dapat dirujuk mengenai referensi ajaran Ilahiah yang sangat Islami, pembawa keselamatan dengan pengorbanan yang tertundukkan atas nama ketaatan.

Hal ini berarti ketaatan kepada-Nya merupakan fondasi utama pembangunan manusia agar mencapai derajat tertinggi. Taat itulah yang direfleksikan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam prosesi ”penyembelihan diri”. Ini sejatinya adalah sesi ”penyembelihan ego, penyembelihan keakuan, penyembelihan sopo siro sopo ingsun”. Pada puncaknya adalah ”peleburan eksistensi egoistis” melalui ketaatan paling suprematif kepada-Nya”. Itulah arti pengorbanan terhebat yang pernah terjadi yang hanya sanggup dipikul oleh dua sosok agung (Ibrahim-Ismail AS).

Baca Juga :  Menuju Kemenangan Sejati Melawan Pandemi Covid-19

Pengorbanan yang tidak berbatas itulah yang kemudian memendarkan karakter empati, peduli, sanggup merasakan derita siapa pun sebagai sesama manusia, sesama hamba, sesama makhluk Tuhan. Pada titik inilah kekuasaan negara harus bertanggung jawab atas derita rakyatnya (apalagi yang terkena Covid-19). Beban bencana akibat pandemi sungguh sudah sangat mengguncang esensi keberadaan negara.

Otoritas negara dengan segala perangkat kenegaraannya sedang dipertanyakan kegunaannya. Institusi negara sedang dipotret untuk menjadi ”kitab babon” esok hari bahwa kita pernah gagal atau berhasil melalui pandemi ini. Sekarang inilah saatnya negara berkurban total untuk menyelamatkan rakyat. Intervensi kebijakan dan anggaran dapat diambil untuk menjaga imunitas rakyat.

PPKM darurat yang tengah diterapkan ini sedang memekikkan pelajaran agar bulan depan (Agustus) kita benar-benar memiliki kekuasaan yang memerdekakan rakyat dari penderitaan pandemi. Pandemi yang terjadi janganlah dianggap sebagai ritual kosmologis yang konspiratif. Ini pasti ada yang salah dalam desain relasi bisnis sehingga ada ”dugaan kapitalisasi Covid-19”.

Negara bukanlah keledai yang dapat terantuk untuk kedua kalinya di lubang yang sama. Negara juga bukan tupai yang sepandai-pandainya melompat akan terjatuh jua. Negara dengan segala alat kelengkapannya memiliki energi untuk menjaga kebugaran rakyatnya. Dalam bahasa Pembukaan UUD 1945, negara diadakan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darahnya. Adalah suatu ironi apabila di sebuah wilayah ada rakyat yang mengantre oksigen maupun obat-obatan. Padahal, teritori itu memiliki pemimpin yang dipilih secara demokratis. Pada segmen ini, khalayak bertanya: apa artinya pemilu bagi umat yang terkoyak pandemi?

Pemimpin itu semestinya selalu sadar bahwa orang-orang kebanyakan akan berpaling kepadanya untuk memperoleh kekuatan dan tuntunan, seperti ditulis Ram Charan (2008). Pemimpin hadir dengan gerak lompatnya yang terekam dalam gerakan rakyat agar tidak selalu linier. Bahkan dalam bahasa Friedrich Nietzsche (1844–1900) di karyanya, Also Sprach Zarathustra, kata lompatan terbidik seitensprange –lompatan ke samping. Dengan PPKM darurat saat ini, negara harus terjaga dan siap berlari. Berlari bukan untuk menghindar, tetapi berlari guna memenuhi hak rakyat agar tidak nelongso tanpa penjagaan diri. Dalam batas ini, keterjagaan negara adalah opsi tunggalnya.

Baca Juga :  Pangan Lokal, Impor Beras, dan Gizi Masyarakat

Kita semua memahami bahwa rakyat membentuk negara untuk menjadi panjer pergerakan hidupnya agar mereka tidak gagal sebagai rakyat, apalagi gagal menghadirkan pemimpin. Dari presiden sampai kepala desa yang telah dipilih rakyat diniscayakan mampu memahami amanat demokrasi dengan penuh tanggung jawab. Berbagai program pembangunan sang pemimpin harus memberikan solusi tentang kiprahnya yang memanggul daulat rakyat secara terhormat.

Siapa pun yang merasa menjadi pemimpin pastilah terpanggil dan niscaya berkomitmen untuk kreatif-inovatif, sesulit apa pun kondisinya. Hal itu mengingatkan saya pada surat yang dibuat tentara Jerman ketika menyerbu Rusia di masa Perang Dunia II, yaitu Franz Schneider dan Charles Gullans, yang dihimpun dalam buku Last Letters from Stalingrad. Dalam situasi terkepung dan terjebak perangkap yang sangat mengerikan, tentara tersebut menulis surat: ”… of course, I have tried everything to escape from this trap, but there only two ways left: to heaven or to Siberia …” Kemudian dia lanjutkan: ”Waiting is the best thing, because, as I said, the other is useless.”

Benarkah jalan terbaik bagi publik untuk mengatasi badai pandemi ini adalah menunggu? Tidak. Rakyat telah bergerak menolong sesamanya. Khalayak telah mengamalkan ajaran berkurban membagikan optimisme dengan menyembelih ego dirinya. (*)

*) SUPARTO WIJOYO, Wakil Direktur Bidang Riset, Pengmas, Digitalisasi, dan Internasionalisasi Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.

Terpopuler

Artikel Terbaru