27.8 C
Jakarta
Friday, November 22, 2024

Limbah Batu Bara, Antara Berkah dan Bencana

TAKE a deep breath. To
improve and strengthen your lung health to fight Covid-19
. Tarik napas Anda
dalam-dalam karena latihan pernapasan bisa menguatkan sistem kekebalan melawan
virus korona. Tetapi, hati-hati! Jika tinggal di dekat pembangkit listrik
berbahan bakar batu bara, bisa jadi Anda akan menghirup debu-debu sisa
pembakaran batu bara yang mengandung polutan berbahaya dan beracun.

Keputusan pemerintah Indonesia
menghapus limbah batu bara dari daftar bahan berbahaya dan beracun (B3) lewat
turunan UU Ciptaker perlu dicermati dengan serius. Ada empat komponen hasil
pembakaran batu bara, yaitu fly ash,
bottom ash
, kerak boiler (boiler slag),
dan gas FGD. Limbah batu bara yang dihapus dari kategori B3 adalah fly ash dan bottom ash. Lebih lanjut, aturan ini hanya diperuntukkan pada
pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan tidak berlaku pada non-PLTU.

Fly ash merupakan jenis abu batu bara ringan yang terbang di
sekitar cerobong asap dan merupakan komponen utama abu. Sementara itu, bottom
ash adalah debu yang mempunyai massa lebih berat sehingga mengendap di tanah.

Dalam beberapa hal, limbah memang
bisa dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan bahan bangunan seperti batu bata,
semen, batako beton, dan lainnya. Selain itu,
fly ash
berfungsi sebagai amelioran yang dapat meningkatkan sifat fisik,
kimia, dan biologi tanah serta merupakan sumber makro dan mikronutrien tanaman.

Namun, pengelolaan atau
pemanfaatan limbah yang tidak tepat, dengan dibuang ke sungai dan laut, dalam
jangka waktu lama akan berdampak pada keseimbangan lingkungan. Masalah ini
tidak hanya terjadi di Indonesia. Bahkan, pada 2014 terjadi kebocoran hampir
82.000 ton limbah batu bara dari pipa pembuangan bawah di North Carolina,
Amerika Serikat.

Abu fly ash menjadi salah satu penyebab masalah kesehatan karena
kandungan logam beracun seperti arsen, aluminium silikat, merkuri, dan kromium.
Bahan-bahan ini bersifat karsinogenik (penyebab kanker) dan fibrogenik (pemicu
terjadinya proses fibrosis).

Baca Juga :  Bandara: Konektivitas Memperkuat Bangsa

Jika terhirup dalam waktu
singkat, efek yang dirasakan bisa iritasi hidung dan tenggorok, sakit kepala,
hingga mual muntah. Namun, pajanan dalam jangka lama akan meningkatkan risiko
kanker, penyakit jantung, penyakit paru, masalah reproduksi, penyakit saluran
cerna, dan cacat lahir. Penyakit paru yang disebabkan debu batu bara, antara
lain, pneumokoniosis dan kanker paru.

Pneumokoniosis (pneuma artinya
udara dan konis yang berarti debu) adalah penyakit akibat akumulasi partikel
debu anorganik. Karena itu, debu dan abu anorganik dari sisa pembakaran batu
bara akan menimbulkan coal workers pneumoconiosis (CWP). Debu batu bara pada
pasien yang mengalami CWP akan mengakibatkan reaksi keradangan di paru dan pada
akhirnya terjadi proses fibrosis/jaringan parut. Organ paru akan menjadi lebih
kaku dan rusak sehingga pernapasan terganggu.

Debu batu bara juga berpotensi
besar sebagai penyebab kanker paru. Bahan-bahan karsinogenik di dalamnya akan
terendap dalam paru dan memicu reaksi keradangan hingga perubahan/mutasi
genetik yang berujung pada munculnya kanker paru. Pneumokoniosis dan kanker
paru, jika sudah masuk tahap lanjut, akan sulit disembuhkan dan bisa berkibat
pada kematian.

Bijak Mengelola Limbah Batu Bara

Keputusan Indonesia menghapus
debu batu bara dari daftar limbah B3 mirip dengan apa yang telah dilakukan
pemerintah AS. Melalui environmental protection agency (EPA), AS mengeluarkan
aturan tentang pembuangan limbah batu bara pada Desember 2014.

Pada intinya, dokumen EPA hanya
mengklasifikasikan abu batu bara sebagai bahan non-hazardous atau tidak
berbahaya. Meski mendapatkan protes dari banyak kalangan yang menganggap limbah
ini sebagai zat yang terbukti beracun, EPA tetap menolak untuk
mengklasifikasikan abu batu bara sebagai limbah berbahaya atau B3. Sebaliknya,
badan tersebut memasukkan abu batu bara sebagai solid waste atau limbah padat,
sebutan untuk sampah rumah tangga.

Baca Juga :  Perlindungan dan Pengelolaan Data Pribadi

Aturan ini juga mengatur bahwa
pembangkit listrik berbahan bakar batu bara diharuskan menyimpan abu batu bara
hanya di tempat pembuangan dan penampungan sampah batu bara yang memenuhi
standar struktural minimum. Fasilitas penyimpanan ini harus dipastikan bebas
dari kebocoran yang bisa mengontaminasi tanah dan air di sekitarnya.

Di sisi lain, mengelompokkan
limbah ini akan menjadikan tumpukan debu batu bara semakin melimpah. Tumpukan
debu sisa pembakaran batu bara ini memang bisa dimanfaatkan lagi (reuse) untuk
berbagai keperluan. Hal ini dilakukan karena industri akan dapat mengurangi
biaya terkait dengan pembuangan limbah serta adanya peningkatan pendapatan dari
penjualan abu batu bara. Demi menjaga agar tempat penampungan debu batu bara
tidak terbang ke arah permukiman dan menghindari kebocoran kontaminan, EPA
mewajibkan kontrol harian yang cukup ketat.

Pilihan yang diambil pemerintah
Indonesia bila ditinjau secara ekonomi mungkin menguntungkan. Ini terjadi
karena limbah batu bara bisa dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan industri.
Pelaku usaha juga bisa menghemat pengeluaran karena pengelolaan limbah B3 cukup
menyita biaya yang tidak sedikit plus administrasi yang rumit.

Berkaca dari banyaknya kasus
pencemaran limbah di banyak industri, wajar dipertanyakan kemampuan PLTU atau
industri lainnya dalam mengelola limbah batu bara. Apa pun dalih yang diberikan,
abu batu bara adalah zat berbahaya. Kita tidak berharap tumpukan limbah ini
akan merembes meresap ke dalam tanah dan mengotori air yang kita minum dan
gunakan sehari-hari. Jangan pula udara kita dipenuhi abu batu bara yang bisa
merusak tubuh.

Sudah saatnya kita berinvestasi
sepenuhnya pada sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan. Mungkin juga
ini waktu yang tepat untuk ”mengembalikan” sampah bahan bakar fosil ini (batu
bara, minyak bumi) ke tempat asalnya sebagai sampah/peninggalan sejarah. (*)

(WIWIN IS EFFENDI, Staf
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK Unair)

TAKE a deep breath. To
improve and strengthen your lung health to fight Covid-19
. Tarik napas Anda
dalam-dalam karena latihan pernapasan bisa menguatkan sistem kekebalan melawan
virus korona. Tetapi, hati-hati! Jika tinggal di dekat pembangkit listrik
berbahan bakar batu bara, bisa jadi Anda akan menghirup debu-debu sisa
pembakaran batu bara yang mengandung polutan berbahaya dan beracun.

Keputusan pemerintah Indonesia
menghapus limbah batu bara dari daftar bahan berbahaya dan beracun (B3) lewat
turunan UU Ciptaker perlu dicermati dengan serius. Ada empat komponen hasil
pembakaran batu bara, yaitu fly ash,
bottom ash
, kerak boiler (boiler slag),
dan gas FGD. Limbah batu bara yang dihapus dari kategori B3 adalah fly ash dan bottom ash. Lebih lanjut, aturan ini hanya diperuntukkan pada
pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan tidak berlaku pada non-PLTU.

Fly ash merupakan jenis abu batu bara ringan yang terbang di
sekitar cerobong asap dan merupakan komponen utama abu. Sementara itu, bottom
ash adalah debu yang mempunyai massa lebih berat sehingga mengendap di tanah.

Dalam beberapa hal, limbah memang
bisa dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan bahan bangunan seperti batu bata,
semen, batako beton, dan lainnya. Selain itu,
fly ash
berfungsi sebagai amelioran yang dapat meningkatkan sifat fisik,
kimia, dan biologi tanah serta merupakan sumber makro dan mikronutrien tanaman.

Namun, pengelolaan atau
pemanfaatan limbah yang tidak tepat, dengan dibuang ke sungai dan laut, dalam
jangka waktu lama akan berdampak pada keseimbangan lingkungan. Masalah ini
tidak hanya terjadi di Indonesia. Bahkan, pada 2014 terjadi kebocoran hampir
82.000 ton limbah batu bara dari pipa pembuangan bawah di North Carolina,
Amerika Serikat.

Abu fly ash menjadi salah satu penyebab masalah kesehatan karena
kandungan logam beracun seperti arsen, aluminium silikat, merkuri, dan kromium.
Bahan-bahan ini bersifat karsinogenik (penyebab kanker) dan fibrogenik (pemicu
terjadinya proses fibrosis).

Baca Juga :  Bandara: Konektivitas Memperkuat Bangsa

Jika terhirup dalam waktu
singkat, efek yang dirasakan bisa iritasi hidung dan tenggorok, sakit kepala,
hingga mual muntah. Namun, pajanan dalam jangka lama akan meningkatkan risiko
kanker, penyakit jantung, penyakit paru, masalah reproduksi, penyakit saluran
cerna, dan cacat lahir. Penyakit paru yang disebabkan debu batu bara, antara
lain, pneumokoniosis dan kanker paru.

Pneumokoniosis (pneuma artinya
udara dan konis yang berarti debu) adalah penyakit akibat akumulasi partikel
debu anorganik. Karena itu, debu dan abu anorganik dari sisa pembakaran batu
bara akan menimbulkan coal workers pneumoconiosis (CWP). Debu batu bara pada
pasien yang mengalami CWP akan mengakibatkan reaksi keradangan di paru dan pada
akhirnya terjadi proses fibrosis/jaringan parut. Organ paru akan menjadi lebih
kaku dan rusak sehingga pernapasan terganggu.

Debu batu bara juga berpotensi
besar sebagai penyebab kanker paru. Bahan-bahan karsinogenik di dalamnya akan
terendap dalam paru dan memicu reaksi keradangan hingga perubahan/mutasi
genetik yang berujung pada munculnya kanker paru. Pneumokoniosis dan kanker
paru, jika sudah masuk tahap lanjut, akan sulit disembuhkan dan bisa berkibat
pada kematian.

Bijak Mengelola Limbah Batu Bara

Keputusan Indonesia menghapus
debu batu bara dari daftar limbah B3 mirip dengan apa yang telah dilakukan
pemerintah AS. Melalui environmental protection agency (EPA), AS mengeluarkan
aturan tentang pembuangan limbah batu bara pada Desember 2014.

Pada intinya, dokumen EPA hanya
mengklasifikasikan abu batu bara sebagai bahan non-hazardous atau tidak
berbahaya. Meski mendapatkan protes dari banyak kalangan yang menganggap limbah
ini sebagai zat yang terbukti beracun, EPA tetap menolak untuk
mengklasifikasikan abu batu bara sebagai limbah berbahaya atau B3. Sebaliknya,
badan tersebut memasukkan abu batu bara sebagai solid waste atau limbah padat,
sebutan untuk sampah rumah tangga.

Baca Juga :  Perlindungan dan Pengelolaan Data Pribadi

Aturan ini juga mengatur bahwa
pembangkit listrik berbahan bakar batu bara diharuskan menyimpan abu batu bara
hanya di tempat pembuangan dan penampungan sampah batu bara yang memenuhi
standar struktural minimum. Fasilitas penyimpanan ini harus dipastikan bebas
dari kebocoran yang bisa mengontaminasi tanah dan air di sekitarnya.

Di sisi lain, mengelompokkan
limbah ini akan menjadikan tumpukan debu batu bara semakin melimpah. Tumpukan
debu sisa pembakaran batu bara ini memang bisa dimanfaatkan lagi (reuse) untuk
berbagai keperluan. Hal ini dilakukan karena industri akan dapat mengurangi
biaya terkait dengan pembuangan limbah serta adanya peningkatan pendapatan dari
penjualan abu batu bara. Demi menjaga agar tempat penampungan debu batu bara
tidak terbang ke arah permukiman dan menghindari kebocoran kontaminan, EPA
mewajibkan kontrol harian yang cukup ketat.

Pilihan yang diambil pemerintah
Indonesia bila ditinjau secara ekonomi mungkin menguntungkan. Ini terjadi
karena limbah batu bara bisa dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan industri.
Pelaku usaha juga bisa menghemat pengeluaran karena pengelolaan limbah B3 cukup
menyita biaya yang tidak sedikit plus administrasi yang rumit.

Berkaca dari banyaknya kasus
pencemaran limbah di banyak industri, wajar dipertanyakan kemampuan PLTU atau
industri lainnya dalam mengelola limbah batu bara. Apa pun dalih yang diberikan,
abu batu bara adalah zat berbahaya. Kita tidak berharap tumpukan limbah ini
akan merembes meresap ke dalam tanah dan mengotori air yang kita minum dan
gunakan sehari-hari. Jangan pula udara kita dipenuhi abu batu bara yang bisa
merusak tubuh.

Sudah saatnya kita berinvestasi
sepenuhnya pada sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan. Mungkin juga
ini waktu yang tepat untuk ”mengembalikan” sampah bahan bakar fosil ini (batu
bara, minyak bumi) ke tempat asalnya sebagai sampah/peninggalan sejarah. (*)

(WIWIN IS EFFENDI, Staf
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK Unair)

Terpopuler

Artikel Terbaru