PROKALTENG.CO – Pemerintah berusaha menggenjot pertumbuhan industri
otomotif. Salah satunya, merelaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM)
pembelian mobil baru.
Menteri Perekonomian Airlangga
Hartarto menuturkan, langkah itu merupakan dukungan atas usulan Kementerian
Perindustrian yang menginginkan adanya relaksasi.
Pemerintah menyiapkan insentif
penurunan PPnBM untuk kendaraan bermotor pada segmen kendaraan dengan kapasitas
mesin kurang dari 1.500 cc, yaitu untuk kategori sedan dan 4 x 2. Pemerintah
ingin meningkatkan pertumbuhan industri otomotif dengan local purchase
kendaraan bermotor di atas 70 persen.
’’Harapannya, dengan insentif
yang diberikan bagi kendaraan bermotor ini, konsumsi masyarakat berpenghasilan
menengah atas akan meningkat, meningkatkan utilisasi industri otomotif, dan
mendorong pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama tahun ini,†jelasnya kemarin
(11/2).
Pemberian insentif itu akan
dilakukan secara bertahap selama sembilan bulan. Masing-masing tahap akan
berlangsung selama tiga bulan. Insentif PPnBM 100 persen dari tarif akan
diberikan pada tahap pertama. Lalu, diikuti insentif PPnBM 50 persen dari tarif
yang akan diberikan pada tahap kedua dan insentif PPnBM 25 persen dari tarif
akan diberikan pada tahap ketiga.
Besaran insentif itu akan
dievaluasi setiap tiga bulan. Instrumen kebijakan akan menggunakan PPnBM DTP
(ditanggung pemerintah) melalui revisi peraturan menteri keuangan (PMK) yang
ditargetkan mulai diberlakukan pada 1 Maret 2021.
Selain itu, pemberian insentif
penurunan PPnBM perlu didukung dengan revisi kebijakan OJK untuk mendorong
kredit pembelian kendaraan bermotor. Yaitu, melalui pengaturan uang muka (DP) 0
persen dan penurunan ATMR (aktiva tertimbang menurut risiko) kredit untuk
kendaraan bermotor yang akan mengikuti pemberlakuan insentif penurunan PPnBM.
Berdasar aturan Otoritas Jasa
Keuangan, uang muka (down payment) pembiayaan kendaraan bermotor ditetapkan
sebesar 0 hingga 5 persen bila perusahaan pembiayaan memiliki rasio pembiayaan
bermasalah (NPF) hingga 1 persen. Bila NPF lebih dari 1 persen hingga 3 persen,
DP ditetapkan sebesar 10 persen. Sedangkan DP untuk finance dengan NPF 3–5
persen sebesar 15 persen.
Airlangga mengatakan, relaksasi
PPnBM akan memulihkan sektor otomotif dari tekanan pandemi Covid-19 sekaligus
menarik investasi. Dengan skenario bertahap itu, diperkirakan terjadi
peningkatan produksi sektor otomotif mencapai 81.752 unit. Relaksasi juga akan
menambah pemasukan negara Rp 1,4 triliun sehingga terjadi surplus penerimaan Rp
1,62 triliun.
Tak hanya itu, pemerintah juga
akan membebaskan PPnBM untuk mobil listrik (battery electric vehicle/BEV). Itu
merupakan upaya pemerintah menurunkan emisi gas buang dari kendaraan bermotor
serta menarik lebih banyak investasi pada sektor industri tersebut.
Revisi PP No 73/2019 itu akan
mengakselerasi pengurangan emisi karbon yang diperkirakan mencapai 4,6 juta ton
CO2 pada 2035. ’’Ini akan memberikan dampak positif. Di antaranya, kendaraan
bermotor listrik berbasis baterai atau BEV menjadi satu-satunya yang
mendapatkan preferensi maksimal PPNBM 0 persen. Selain itu, usulan tarif PPnBM
untuk PHEV 5 persen sejalan dengan prinsip semakin tinggi emisi CO2, tarif
PPnBM semakin tinggi,†papar Airlangga.
Pemulihan industri otomotif akan
membawa multiplier effect bagi industri turunannya. Industri otomotif memiliki
keterkaitan dengan industri lainnya. Kontribusi industri bahan baku mencapai 59
persen dalam industri otomotif. Industri pendukung otomotif sendiri menyumbang
lebih dari 1,5 juta orang dan kontribusi PDB Rp 700 triliun.
Sementara itu, Ketua I Gabungan
Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo) Jongkie Sugiarto mengatakan, insentif
yang diberikan pemerintah tersebut, antara lain, atas permintaan pelaku usaha.
Pada pertengahan 2020, Gaikindo mengajukan usul tersebut ke Kementerian
Perindustrian. â€Bahwa mengingat daya beli masyarakat Indonesia menurun, kita
ingin mendapatkan stimulus. Bukan berupa uang, tapi kami hanya meminta
pengurangan PPnBM,†ujarnya.
Gaikindo secara spesifik juga
mengajukan bahwa PPnBM yang dikurangi adalah khusus untuk mobil tertentu.
Yakni, mobil yang diproduksi secara lokal alias completely knocked down (CKD).
â€Kenapa mobil yang diproduksi lokal? Karena salah satunya kita tidak ingin
terjadi PHK di industri otomotif maupun industri komponen yang menyerap banyak
tenaga kerja,†tambah Jongkie.
Menurut Jongkie, jumlah tenaga
kerja yang terlibat di industri komponen justru lebih banyak jika dibandingkan
dengan tenaga kerja di industri otomotif itu sendiri. â€Maka, kita mengusulkan
adanya relaksasi (untuk mobil lokal, Red). Misalnya, untuk mobil dengan range
harga di bawah Rp 300 juta. Karena itu mobil yang populer dan daya beli
masyarakat kita ada di kisaran tersebut,†terang dia.