SAYA ingin sekali bisa berbuat seperti dokter Tirta. Yang bisa marah-marah sepuas-puasnya. Seperti yang di Instagram itu. Yang juga Anda ikuti itu.
Saya juga sangat jengkel kepada yang antivaksin. Sampai ubun-ubun. Baik karena mereka merasa mampu bayar denda atau yang karena meragukan keampuhannya. Apalagi yang yang karena agama.
Tapi saya bukan dokter. Juga bukan relawan Covid. Juga belum mampu berbuat banyak. Maka saya wakilkan saja kemarahan itu kepada dokter Tirta. Yang bisa marah 1 jam tanpa minum. Dengan ekspresi yang terus serius. Dan serius terus. Hanya karena ganteng maka ia tidak terlihat memuakkan. Marahnya tetap keren.
Jarang lho ada orang seberani dokter Tirta. Tidak ada beban. Dituduh cari popularitas ia bisa melawan dengan tangkas. Dituduh bisnis, apalagi. Ia bisa tolak dengan sadis. Apalagi ia pakai Instagram. Bukan YouTube. Tidak bisa dituduh mencari penghasilan dari medsos.
Saya sendiri pernah meyakinkan teman baik. Yang juga anti vaksin. Setiap sanggahannya saya jelaskan. Tapi dengan cara yang halus. Tidak dengan marah-marah seperti dokter Tirta. Nyatanya saya gagal meyakinkannya.
Memang perlu ada satu orang yang “gila” seperti dokter Tirta. Agar yang gila di sebelah sana punya lawan. Dikira mereka saja yang bisa gila. Dokter Tirta juga bisa! Toh, ini untuk kepentingan umum lintas SARA.
Pernah diancam orang?
“Sering,” katanya.
Saya memang menghubungi dr Tirta kemarin. Setelah saya puas mengikuti marahnya yang terakhir. Saat saya telepon itu ia lagi setir mobil dalam perjalanan dari Jogja ke Jakarta.
Saya juga terharu mendengar alasan kemarahannya. “Coba, kalau bukan vaksin, apa jalan keluarnya?” tanyanya.
“Saya ini satu tahun hanya bisa bertemu anak saya dua kali. Saya ingin selalu bersama mereka. Gara-gara Covid tidak bisa. Kapan Covid selesai? Terutama kalau kalian antivaksin seperti ini?” katanya.
Tirta punya dua anak: umur lima tahun dan dua tahun. Ditinggal di Jogja. Ia sibuk jadi relawan Covid. Yang punya jaringan 1.000 orang. Di 27 provinsi. Se-Indonesia.
Istrinya juga dokter. Praktik di Jogja. Kini lagi memperdalam spesialis kebidanan. Seperti bapaknyi. Yang juga dokter kandungan. Yang dinasnya di kota Ngawi.
Tirta, istri, dan mertua sama-sama lulusan Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Sang mertua seangkatan dengan dr Terawan. Tapi Tirta tidak sungkan mengkritik Terawan yang menjabat menteri kesehatan (saat itu).
“Toko saya yang di Makassar sampai dirusak,” katanya. “Yang di Solo diobrak-abrik. Tapi tidak ada barang yang hilang,” tambahnya.
Itulah toko jasa sepatu. Yakni jasa cuci sepatu. Termasuk pertama di Indonesia. Kini punya jaringan hampir 100 toko.
Tirta mulai bisnis ketika kuliah di kedokteran. Itu karena orang tuanya tinggal di Solo. Ibunya Tionghoa, ayahnya Jawa. Ayahnya bekerja di sebuah bank BPR di Solo. Di kota itu pula Tirta menyelesaikan SMA-nya: SMA Katolik Regina Pacis.
Seru sekali ketika Tirta marah-marah ke anggota DPR yang menyatakan tidak mau vaksin. Pilih bayar denda. Bersama seluruh keluarganya.
Yang membuat Tirta naik pitam penolakan vaksinasi itu diucapkan sehari sebelum program dimulai. Padahal dulunya justru mereka minta vaksinasi harus begini harus begitu.
Tirta layak marah seperti itu. Ia lulus cumlaude saat jadi dokter. Karena itu ia kelihatan cerdasnya. Misalnya ketika menjelaskan sisi baik vaksin Sinovac yang efikasinya “hanya” 65,3 persen. “Risiko Sinovac itu hanya 0,1 – 1. Bandingkan dengan Pfizer yang risikonya 1,5 persen. Dan Moderna sampai 4 persen,” katanya.
Memang begitu, katanya. Efikasi itu berbanding lurus dengan risiko. Tirta tampak jengkel dengan orang yang menolak vaksinasi tapi sebenarnya tidak tahu ilmunya.
Tirta punya daftar apa saja kegilaan yang beredar di medsos. Lalu ia marahi satu persatu.
Tirta juga masih ingin kuliah lagi. Entah kapan. Ia ingin meraih master untuk bidang kesehatan masyarakat.
“Kan bidang itu tidak bisa untuk cari uang?” tanya saya.
“Tapi kecocokan saya kelihatannya di situ,” jawabnya.
“Lho Anda kok fasih mengucapkan istilah-istilah Islam?” tanya saya lagi.
“Saya kan ngaji di masjid dekat Monjali Jogja itu,” jawabnya.
Bukan di zaman Covid ini saja Tirta jadi relawan. Mulainya saat mahasiswa. Waktu ada tanah longsor di Wates, Jogja. Lalu menjadi relawan pendidik kesehatan di sekitar Puskesmas.
Saat Covid mulai marak, ia menjadi relawan bagi makanan. Yakni di daerah-daerah merah Covid. Lalu melebar ke relawan Covid secara umum. Termasuk pernah bersama Bonek Persebaya memasyarakatkan masker di Surabaya dan sekitarnya. (Baca juga: Bonek Bagi Sejuta Masker Se-Indonesia)
Selain Tirta, ada juga orang marah dengan halus tapi telak. Cara Jogja juga. Yakni yang dilakukan Ir KPH. Bagas Pujilaksono Widyakanigara MSc LicEng PhD.
Bacalah surat terbukanya: telak banget. Beliau insinyur nuklir UGM, S-2 metalurgi ITB, dan S-3 metalurgi Swedia. Kini dosen UGM.
Dari gelar kebangsawanannya ia keturunan Prabu Brawijaya Majapahit dan Kerajaan Mataram. Tapi gaya suratnya seperti surat orang Eropa –mungkin karena lama di sana.
“Saya dari keluarga terhormat, dari garis ayah saya, adalah cucunya Brawijaya V dari Kebo Kanigara. Sedangkan raja-raja Mataram yang bertakhta saat ini, dari garis adik kandungnya Kebo Kanigara yaitu Kebo Kenongo,” tulisnya.
Ia terlihat begitu jengkel ada orang di DPR punya pikiran seperti itu. Ia seperti ingin mengingatkan begitu banyak orang yang lebih pintar –hanya nasib saja yang tidak bisa membuat yang pintar itu menjadi anggota DPR. (Tulisan lengkap Bagas Pujilaksono ada di bagian bawah artikel ini)
Tapi Tirta-lah yang kini menjadi corong paling keras untuk melawan kegilaan di sekitar vaksinasi.
Meski Tirta pakai gaya marah, tapi yang melihatnya tetap bisa terhibur. Itulah jenis marah yang berkarakter.
Saya pernah mencoba cara marah seperti Tirta itu. Sambil mencari kesibukan di kamar saya di RS ini.
Tapi gagal.
Mungkin karena Tirta ganteng. Masih 29 tahun. Kulitnya bersih.
Sedang saya sudah 70 tahun, berkulit hitam, dan terkena Covid pula. (Dahlan Iskan)