26.5 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Sudahkah Kita Belajar dari Sejarah Flu Spanyol?

Kegagapan pemerintah, buruknya
koordinasi antara pusat dan daerah, beredarnya hoaks dan takhayul. Semua itu
terjadi semasa malaise flu Spanyol dan tidakkah itu juga terjadi di pandemi
Covid-19 saat ini?

—

SELURUH dunia saat ini tengah dilanda problem yang sama: pandemi
Covid-19. Dan, hampir semua negara kewalahan menghadapinya, termasuk Indonesia.

Hingga saat ini, cara yang paling
ampuh adalah menerapkan protokol kesehatan seperti memakai masker, sering
mencuci tangan dengan sabun, menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PBHS),
serta selalu menjaga jarak dan menghindari kerumunan saat berada di luar rumah.

Apabila kita melihat perjalanan
sejarah peradaban manusia dan wabah, sebenarnya tidak sekali dua kali manusia
di seluruh dunia menghadapi berbagai wabah dan pandemi. Mulai black death
(wabah hitam) di pertengahan abad ke-14, kolera dan sampar pada 1820-an, flu
Spanyol yang menyerang dunia di awal abad ke-20, serta flu burung dan flu babi
di abad ke-21.

Indonesia termasuk yang ikut
mengalami pandemi flu Spanyol. Yang mengakibatkan angka mortalitas (sesuai
konsensus) mencapai 1,5 juta jiwa.

Sejarah seharusnya mengajari kita
semua untuk peduli dengan isu-isu kesehatan masyarakat dan kebersihan
lingkungan. Mulai tingkat paling kecil sampai tingkat negara dengan penanganan
yang tepat pula.

Itulah yang hendak diingatkan
Ravando dalam karyanya yang berjudul Perang Melawan Influenza, Pandemi Flu
Spanyol di Indonesia Masa Kolonial 1918–1919.

Berkaitan dengan kemunculan dan
ditemukannya kasus flu Spanyol di Hindia Belanda pada 1918, Dr Rivai di
Volksraad secara keras mendorong pemerintah kolonial saat itu untuk serius
menanganinya dengan kebijakan yang tepat dan dengan semangat menyelamatkan
nyawa penduduk. Namun, pemerintah kolonial dan para anggota Volksraad lainnya
belum memiliki kesadaran tentang pentingnya isu kesehatan.

Baca Juga :  Mengentaskan Buta Aksara di Desa Terpencil

Beberapa kali pemerintah kolonial
melalui Buergerlijken Geneeskundingen Dients (Dinas Kesehatan Hindia Belanda)
juga keliru dalam menganalisis dan mengantisipasi pandemi. Flu Spanyol dianggap
tak ubahnya seperti flu biasa yang tidak lebih berbahaya sehingga semua orang
tetap santai dan tidak peduli (awareless). Bahkan, pemerintah kolonial sempat
salah memberikan penanganan, yakni menyamakan flu Spanyol dengan kolera.

Meski juga sudah diingatkan
konsul-konsulnya yang berada di Hongkong dan Singapura bahwa kapal-kapal dari
Hongkong atau daerah yang terkena pandemi flu Spanyol harus dicegah berlabuh di
Batavia, itu tidak dihiraukan. Pemerintah kolonial tidak memperketat keluar
masuk pintu pelabuhan. Kapal laut yang menjadi moda transportasi nomor satu
saat itu masih bisa bersandar dengan mudah di Batavia (halaman 137–140).

Hindia Belanda pun akhirnya
diterjang pandemi flu Spanyol dalam dua gelombang. Gelombang pertama terjadi
antara Juli hingga awal September 1918 yang mayoritas melanda Indonesia bagian
barat (Sumatera, Jawa, Madura, dan Kalimantan). Sedangkan gelombang kedua
terjadi November sampai Desember 1918 yang melanda Indonesia bagian timur
(Sulawesi, Maluku, dan Kepulauan Sunda Kecil).

Dari segi dampak akibat
persebarannya, gelombang pertama tidak terlalu berbahaya sehingga angka
morbiditas dan mortalitasnya lebih kecil dibandingkan gelombang kedua. Hal itu
berbeda dengan gelombang kedua. Terdapat peningkatan berlipat dalam hal
morbiditas dan mortalitas.

Baca Juga :  Quo Vadis Vaksin Nusantara

Bahkan, menurut penelitian Prof
Siddart Chandra, angka mortalitas bisa mencapai 4,26 juta jiwa, bukan 1,5 juta
seperti hasil konsensus umum rujukan tentang pandemi flu Spanyol di Hindia
Belanda.

Selain memaparkan proses secara
kronologis mulai masuknya flu Spanyol, bagaimana proses berlangsungnya pandemi,
upaya penanggulangan pemerintah kolonial yang seakan terlambat, hoaks tentang
flu Spanyol, kriminalitas dan gerakan filantropi sampai berakhirnya pandemi
ini, Ravando mengajak kita semua merefleksikan secara historis antara flu
Spanyol dan Covid-19 yang terjadi saat ini.

Dari refleksi tersebut, terlihat
ada beberapa kesamaan fenomena dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan flu
Spanyol. Pertama, kegagapan pemerintah dalam menyusun langkah mitigasi dan
pencegahan sejak awal sehingga mengakibatkan tingginya angka morbiditas dan
mortalitas.

Contohnya adalah menganggap
enteng ancaman pandemi dan itu direproduksi terus-menerus sejak awal (halaman
413–415). Kalau dulu melalui media massa, saat ini melalui media massa ditambah
influencer.

Kedua, buruknya koordinasi antara
pemerintah pusat dan dearah atau antardaerah dalam menanggulangi pandemi
sehingga menimbulkan kebingunan masyarakat. (*)

—————–

R.N. BAYU AJI, Dosen
Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya

Judul buku: Perang Melawan Influenza, Pandemi Flu Spanyol di Indonesia
Masa Kolonial 1918–1919

Penulis: Ravando

Penerbit: Kompas

Cetakan: Pertama, 2020

Tebal: xxxvi + 468 halaman, 14 x
21 cm

Kegagapan pemerintah, buruknya
koordinasi antara pusat dan daerah, beredarnya hoaks dan takhayul. Semua itu
terjadi semasa malaise flu Spanyol dan tidakkah itu juga terjadi di pandemi
Covid-19 saat ini?

—

SELURUH dunia saat ini tengah dilanda problem yang sama: pandemi
Covid-19. Dan, hampir semua negara kewalahan menghadapinya, termasuk Indonesia.

Hingga saat ini, cara yang paling
ampuh adalah menerapkan protokol kesehatan seperti memakai masker, sering
mencuci tangan dengan sabun, menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PBHS),
serta selalu menjaga jarak dan menghindari kerumunan saat berada di luar rumah.

Apabila kita melihat perjalanan
sejarah peradaban manusia dan wabah, sebenarnya tidak sekali dua kali manusia
di seluruh dunia menghadapi berbagai wabah dan pandemi. Mulai black death
(wabah hitam) di pertengahan abad ke-14, kolera dan sampar pada 1820-an, flu
Spanyol yang menyerang dunia di awal abad ke-20, serta flu burung dan flu babi
di abad ke-21.

Indonesia termasuk yang ikut
mengalami pandemi flu Spanyol. Yang mengakibatkan angka mortalitas (sesuai
konsensus) mencapai 1,5 juta jiwa.

Sejarah seharusnya mengajari kita
semua untuk peduli dengan isu-isu kesehatan masyarakat dan kebersihan
lingkungan. Mulai tingkat paling kecil sampai tingkat negara dengan penanganan
yang tepat pula.

Itulah yang hendak diingatkan
Ravando dalam karyanya yang berjudul Perang Melawan Influenza, Pandemi Flu
Spanyol di Indonesia Masa Kolonial 1918–1919.

Berkaitan dengan kemunculan dan
ditemukannya kasus flu Spanyol di Hindia Belanda pada 1918, Dr Rivai di
Volksraad secara keras mendorong pemerintah kolonial saat itu untuk serius
menanganinya dengan kebijakan yang tepat dan dengan semangat menyelamatkan
nyawa penduduk. Namun, pemerintah kolonial dan para anggota Volksraad lainnya
belum memiliki kesadaran tentang pentingnya isu kesehatan.

Baca Juga :  Mengentaskan Buta Aksara di Desa Terpencil

Beberapa kali pemerintah kolonial
melalui Buergerlijken Geneeskundingen Dients (Dinas Kesehatan Hindia Belanda)
juga keliru dalam menganalisis dan mengantisipasi pandemi. Flu Spanyol dianggap
tak ubahnya seperti flu biasa yang tidak lebih berbahaya sehingga semua orang
tetap santai dan tidak peduli (awareless). Bahkan, pemerintah kolonial sempat
salah memberikan penanganan, yakni menyamakan flu Spanyol dengan kolera.

Meski juga sudah diingatkan
konsul-konsulnya yang berada di Hongkong dan Singapura bahwa kapal-kapal dari
Hongkong atau daerah yang terkena pandemi flu Spanyol harus dicegah berlabuh di
Batavia, itu tidak dihiraukan. Pemerintah kolonial tidak memperketat keluar
masuk pintu pelabuhan. Kapal laut yang menjadi moda transportasi nomor satu
saat itu masih bisa bersandar dengan mudah di Batavia (halaman 137–140).

Hindia Belanda pun akhirnya
diterjang pandemi flu Spanyol dalam dua gelombang. Gelombang pertama terjadi
antara Juli hingga awal September 1918 yang mayoritas melanda Indonesia bagian
barat (Sumatera, Jawa, Madura, dan Kalimantan). Sedangkan gelombang kedua
terjadi November sampai Desember 1918 yang melanda Indonesia bagian timur
(Sulawesi, Maluku, dan Kepulauan Sunda Kecil).

Dari segi dampak akibat
persebarannya, gelombang pertama tidak terlalu berbahaya sehingga angka
morbiditas dan mortalitasnya lebih kecil dibandingkan gelombang kedua. Hal itu
berbeda dengan gelombang kedua. Terdapat peningkatan berlipat dalam hal
morbiditas dan mortalitas.

Baca Juga :  Quo Vadis Vaksin Nusantara

Bahkan, menurut penelitian Prof
Siddart Chandra, angka mortalitas bisa mencapai 4,26 juta jiwa, bukan 1,5 juta
seperti hasil konsensus umum rujukan tentang pandemi flu Spanyol di Hindia
Belanda.

Selain memaparkan proses secara
kronologis mulai masuknya flu Spanyol, bagaimana proses berlangsungnya pandemi,
upaya penanggulangan pemerintah kolonial yang seakan terlambat, hoaks tentang
flu Spanyol, kriminalitas dan gerakan filantropi sampai berakhirnya pandemi
ini, Ravando mengajak kita semua merefleksikan secara historis antara flu
Spanyol dan Covid-19 yang terjadi saat ini.

Dari refleksi tersebut, terlihat
ada beberapa kesamaan fenomena dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan flu
Spanyol. Pertama, kegagapan pemerintah dalam menyusun langkah mitigasi dan
pencegahan sejak awal sehingga mengakibatkan tingginya angka morbiditas dan
mortalitas.

Contohnya adalah menganggap
enteng ancaman pandemi dan itu direproduksi terus-menerus sejak awal (halaman
413–415). Kalau dulu melalui media massa, saat ini melalui media massa ditambah
influencer.

Kedua, buruknya koordinasi antara
pemerintah pusat dan dearah atau antardaerah dalam menanggulangi pandemi
sehingga menimbulkan kebingunan masyarakat. (*)

—————–

R.N. BAYU AJI, Dosen
Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya

Judul buku: Perang Melawan Influenza, Pandemi Flu Spanyol di Indonesia
Masa Kolonial 1918–1919

Penulis: Ravando

Penerbit: Kompas

Cetakan: Pertama, 2020

Tebal: xxxvi + 468 halaman, 14 x
21 cm

Terpopuler

Artikel Terbaru