25.6 C
Jakarta
Sunday, November 24, 2024

Dataisme dan Tirani

REVOLUSI digital terjadi seperti ledakan yang menyebar ke seluruh
masyarakat global. Teknologi digital melalui kehadiran perangkat hingga ruang
digital menjadi fakta yang tidak terhindarkan. Semenjak akhir 1970, dunia
menyaksikan perubahan yang begitu cepat didorong oleh teknologi. Terciptanya
internet beserta segala gawai mutakhir tentu berdampak pada medium
berkomunikasi dan berinteraksi masyarakat. Digitalisasi mengubah cara kita
melakukan pekerjaan, mengelola keuangan, memahami pendidikan, membentuk
pemerintah, hingga menjalani waktu luang.

Pada 1980-an kurang dari 1 persen
data yang tersimpan dalam bentuk digital, lonjakan terjadi, dan pada 2007
tercatat 94 persen informasi tersimpan dalam format digital. Dewasa ini segala
informasi yang kita pertukarkan terjadi secara digital, bahkan sangat lazim
menyimpan seluruh data individu atau lembaga melalui cloud (komputasi awan). Pada permukaan, tampaknya tidak ada yang
berbahaya dari digitalisasi ini.

Akan tetapi, Yuval Noah Harari,
seorang sejarawan dan filsuf, mempertanyakan seberapa jauh pemahaman pengguna
terhadap platform digital yang digunakan? Kesibukan kita menggunakan gawai,
kegiatan mengunggah, mengunduh, juga tersihirnya dengan tampilan dan citra yang
muncul di layar, membuat kita luput mempertanyakan secara kritis, siapakah yang
menguasai data?

Dataisme adalah suatu pandangan
bahwa realitas ini dapat direduksi menjadi data-data yang terus mengalir. Bila
sebelumnya, ia yang mengendalikan pengetahuan maka akan berkuasa, atau ia yang
memegang kapital maka akan berkuasa. Saat ini kekuasaan terletak pada pihak
yang mengelola dan mengatur data. Dalam pengertian ini, data dipandang sebagai
pengetahuan dan juga kapital. Hal lainnya yang disorot oleh Harari adalah soal
kebebasan individu.

Baca Juga :  Hakikat Berhari Raya

Tentu sekilas terdengar mustahil
bahwa saat menggunakan gawai-gawai ini terselip krisis kebebasan bagi seseorang.
Harari mempersoalkan, apa yang terjadi bila kehidupan manusia dipandang menjadi
sebatas algoritma. Seolah-olah mesin algoritma tersebut lebih mengenal
seseorang dibandingkan dengan dirinya sendiri.

Alangkah kelam sekali digital
distopia ini? Harari juga mengkritisi perihal cara kekuasaan bekerja
mempraktikkan instrumen teknologis baru ini. Dalam sejarah pertarungan
ideologis, kemunculan fasisme maupun kekuasaan tirani dimungkinkan melalui
sokongan dua hal: mitos dan teknologi. Dalam bukunya yang berjudul The Technological State in Indonesia,
Sulfikar Amir, seorang sosiolog, menjelaskan kompleksitas mitos pembangunan
yang dipromosikan oleh rezim Order Baru. Bagaimana ilusi tentang masa depan
teknologis dengan kecemerlangan pembangunan menjadi mantra untuk menggalang
kepercayaan masyarakat.

Demikian pula dengan sejarah
menguatnya Partai Nazi di Jerman yang muncul dari puing-puing keterpurukan
depresi panjang ekonomi yang melanda Eropa. Adolf Hitler mencuat sebagai
pemimpin berhaluan nasionalis-sosialis yang karismatis di mata rakyatnya. Figur
Hitler juga ditopang oleh mitos pemurnian ras Arya sebagai ras yang superior.
Hitler mengampanyekan kebangkitan Jerman dan menjanjikan kesejahteraan melalui
mukjizat teknologi industri.

Kekejian Nazi tecermin melalui
teknologi yang mereka kembangkan. Mereka mendesain kamp konsentrasi yang
digunakan sebagai tempat pembunuhan jutaan orang Yahudi. Negara otoritarianisme
ini memanfaatkan sains dan teknologi untuk mengintai dan mengendalikan
masyarakat agar tunduk pada kekuasaan.

Kembali pada keraguan Harari
terhadap gegap gempita teknologi digital, ia mengingatkan tentang ancaman yang
terjadi jika data dikuasai secara tunggal oleh negara atau dimiliki oleh
sekelompok elite. Saat ini pengintaian atau pengawasan mutlak terhadap individu
dapat terjadi karena kecanggihan teknologi. Betapa rapuhnya privasi dan
kebebasan individual pada era digital ini. Adakah cara untuk membalikkan
keadaan sehingga digitalisasi menyasar ke arah diperluasnya ruang demokrasi?
Tentu kondisi ini dapat diupayakan jika masyarakat bertindak secara kritis
dalam mengonsumsi dan membagikan informasi, bersikap skeptis, serta memahami
ragam hak digital yang patut diperjuangkan sebagai warga negara.

Baca Juga :  Bangga Claudia

Mari menengok ke Estonia, negara
yang menggunakan teknologi digital untuk memaksimalkan demokrasi. Filsuf dan
pakar hukum Helen Eenmaa-Dimitrieva mengatakan bahwa pemerintahan yang baik
tidak saja dibentuk oleh manusia, tetapi juga oleh algoritma. Pada 2007 Estonia
menjadi negara pertama yang menyelenggarakan pemungutan suara melalui internet.
Estonia merekognisi akses internet yang merata sebagai bagian dari hak warga
negara. Mereka juga merancang sistem yang memosisikan warga negara sebagai
pemilik data yang dilindungi oleh hukum sehingga mereka dapat mengontrol data
tersebut.

Lantas, bagaimana dengan
Indonesia? Laporan tahunan 2019 lembaga SAFEnet tentang situasi hak-hak digital
di Indonesia menunjukkan urgensi pemenuhan hak warga negara untuk mengakses
internet, lalu juga hak kebebasan berekspresi dalam jejaring, dan hak individu
terhadap keamanan data-datanya. Terutama, SAFEnet mengkritisi Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengakibatkan kriminalisasi
pada warga negara. Hak-hak digital tampaknya belum dipandang secara serius,
padahal hak-hak ini merupakan bagian dari hak asasi manusia. (*)

(SARAS DEWI, adalah Dosen
Filsafat Universitas Indonesia)

REVOLUSI digital terjadi seperti ledakan yang menyebar ke seluruh
masyarakat global. Teknologi digital melalui kehadiran perangkat hingga ruang
digital menjadi fakta yang tidak terhindarkan. Semenjak akhir 1970, dunia
menyaksikan perubahan yang begitu cepat didorong oleh teknologi. Terciptanya
internet beserta segala gawai mutakhir tentu berdampak pada medium
berkomunikasi dan berinteraksi masyarakat. Digitalisasi mengubah cara kita
melakukan pekerjaan, mengelola keuangan, memahami pendidikan, membentuk
pemerintah, hingga menjalani waktu luang.

Pada 1980-an kurang dari 1 persen
data yang tersimpan dalam bentuk digital, lonjakan terjadi, dan pada 2007
tercatat 94 persen informasi tersimpan dalam format digital. Dewasa ini segala
informasi yang kita pertukarkan terjadi secara digital, bahkan sangat lazim
menyimpan seluruh data individu atau lembaga melalui cloud (komputasi awan). Pada permukaan, tampaknya tidak ada yang
berbahaya dari digitalisasi ini.

Akan tetapi, Yuval Noah Harari,
seorang sejarawan dan filsuf, mempertanyakan seberapa jauh pemahaman pengguna
terhadap platform digital yang digunakan? Kesibukan kita menggunakan gawai,
kegiatan mengunggah, mengunduh, juga tersihirnya dengan tampilan dan citra yang
muncul di layar, membuat kita luput mempertanyakan secara kritis, siapakah yang
menguasai data?

Dataisme adalah suatu pandangan
bahwa realitas ini dapat direduksi menjadi data-data yang terus mengalir. Bila
sebelumnya, ia yang mengendalikan pengetahuan maka akan berkuasa, atau ia yang
memegang kapital maka akan berkuasa. Saat ini kekuasaan terletak pada pihak
yang mengelola dan mengatur data. Dalam pengertian ini, data dipandang sebagai
pengetahuan dan juga kapital. Hal lainnya yang disorot oleh Harari adalah soal
kebebasan individu.

Baca Juga :  Hakikat Berhari Raya

Tentu sekilas terdengar mustahil
bahwa saat menggunakan gawai-gawai ini terselip krisis kebebasan bagi seseorang.
Harari mempersoalkan, apa yang terjadi bila kehidupan manusia dipandang menjadi
sebatas algoritma. Seolah-olah mesin algoritma tersebut lebih mengenal
seseorang dibandingkan dengan dirinya sendiri.

Alangkah kelam sekali digital
distopia ini? Harari juga mengkritisi perihal cara kekuasaan bekerja
mempraktikkan instrumen teknologis baru ini. Dalam sejarah pertarungan
ideologis, kemunculan fasisme maupun kekuasaan tirani dimungkinkan melalui
sokongan dua hal: mitos dan teknologi. Dalam bukunya yang berjudul The Technological State in Indonesia,
Sulfikar Amir, seorang sosiolog, menjelaskan kompleksitas mitos pembangunan
yang dipromosikan oleh rezim Order Baru. Bagaimana ilusi tentang masa depan
teknologis dengan kecemerlangan pembangunan menjadi mantra untuk menggalang
kepercayaan masyarakat.

Demikian pula dengan sejarah
menguatnya Partai Nazi di Jerman yang muncul dari puing-puing keterpurukan
depresi panjang ekonomi yang melanda Eropa. Adolf Hitler mencuat sebagai
pemimpin berhaluan nasionalis-sosialis yang karismatis di mata rakyatnya. Figur
Hitler juga ditopang oleh mitos pemurnian ras Arya sebagai ras yang superior.
Hitler mengampanyekan kebangkitan Jerman dan menjanjikan kesejahteraan melalui
mukjizat teknologi industri.

Kekejian Nazi tecermin melalui
teknologi yang mereka kembangkan. Mereka mendesain kamp konsentrasi yang
digunakan sebagai tempat pembunuhan jutaan orang Yahudi. Negara otoritarianisme
ini memanfaatkan sains dan teknologi untuk mengintai dan mengendalikan
masyarakat agar tunduk pada kekuasaan.

Kembali pada keraguan Harari
terhadap gegap gempita teknologi digital, ia mengingatkan tentang ancaman yang
terjadi jika data dikuasai secara tunggal oleh negara atau dimiliki oleh
sekelompok elite. Saat ini pengintaian atau pengawasan mutlak terhadap individu
dapat terjadi karena kecanggihan teknologi. Betapa rapuhnya privasi dan
kebebasan individual pada era digital ini. Adakah cara untuk membalikkan
keadaan sehingga digitalisasi menyasar ke arah diperluasnya ruang demokrasi?
Tentu kondisi ini dapat diupayakan jika masyarakat bertindak secara kritis
dalam mengonsumsi dan membagikan informasi, bersikap skeptis, serta memahami
ragam hak digital yang patut diperjuangkan sebagai warga negara.

Baca Juga :  Bangga Claudia

Mari menengok ke Estonia, negara
yang menggunakan teknologi digital untuk memaksimalkan demokrasi. Filsuf dan
pakar hukum Helen Eenmaa-Dimitrieva mengatakan bahwa pemerintahan yang baik
tidak saja dibentuk oleh manusia, tetapi juga oleh algoritma. Pada 2007 Estonia
menjadi negara pertama yang menyelenggarakan pemungutan suara melalui internet.
Estonia merekognisi akses internet yang merata sebagai bagian dari hak warga
negara. Mereka juga merancang sistem yang memosisikan warga negara sebagai
pemilik data yang dilindungi oleh hukum sehingga mereka dapat mengontrol data
tersebut.

Lantas, bagaimana dengan
Indonesia? Laporan tahunan 2019 lembaga SAFEnet tentang situasi hak-hak digital
di Indonesia menunjukkan urgensi pemenuhan hak warga negara untuk mengakses
internet, lalu juga hak kebebasan berekspresi dalam jejaring, dan hak individu
terhadap keamanan data-datanya. Terutama, SAFEnet mengkritisi Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengakibatkan kriminalisasi
pada warga negara. Hak-hak digital tampaknya belum dipandang secara serius,
padahal hak-hak ini merupakan bagian dari hak asasi manusia. (*)

(SARAS DEWI, adalah Dosen
Filsafat Universitas Indonesia)

Terpopuler

Artikel Terbaru