Sebagian
perempuan memilih pasangannya dengan perbedaan usia terpaut jauh. Ada yang 5
tahun, 10 tahun, atau bahkan puluhan tahun. Perempuan mungkin menilai pria usia
lebih tua merupakan sosok matang dan dewasa.
Mitos
pria yang lebih tua dianggap menarik ternyata ada kaitannya dengan alasan
ilmiah. Profesor Madeleine Fugere yang juga penulis The Social Psychology of
Attraction and Romantic Relationships memberikan bukti ilmiahnya. Dia
menyatakan, bahwa ada bukti ilmiah yang menunjukkan pria lebih tua dianggap
menarik. Ini menunjukkan fenomena psikologis dan evolusioner dan bukan hanya
klise budaya.
’’Penelitian
di bidang ini menunjukkan bahwa tidak hanya perempuan yang lebih muda tertarik
pada pria yang lebih tua, tetapi pria yang lebih tua tertarik pada perempuan
yang lebih muda,’’ katanya seperti dilansir dari Grazia Daily, Kamis (5/11).
’’Perbedaan usia menjadi situasi yang nyaman untuk pasangan heteroseksual,’’
lanjutnya.
Dalam
penelitian itu, tim peneliti bertanya kepada laki-laki dan perempuan tentang
usia saat memilih pasangan. Pria cenderung mengatakan bahwa mereka menginginkan
pasangan perempuan yang beberapa tahun lebih muda dan perempuan cenderung
mengatakan bahwa mereka menyukai pasangan pria yang beberapa tahun lebih tua.
’’Preferensi ini ada secara lintas budaya yang menunjukkan bahwa itu hampir
universal,’’ ujarnya.
Profesor
Fugere menunjukkan bahwa fenomena ini terus berlanjut sepanjang hidup. Seiring
bertambahnya usia pria mereka lebih memilih pasangan yang lebih muda sementara
seiring bertambahnya usia, perempuan terus memilih pasangan yang lebih tua
sampai sekitar usia 70 tahun.
Dalam
istilah evolusioner, Profesor Fugere mengatakan bahwa bagi pria alasannya
sederhana. Pria ingin memastikan bahwa calon pasangannya subur. Sementara
perempuabm mempertimbangkan sumber daya dan kemapanan atau kekayaan yang
mungkin dimiliki pria yang lebih tua.
’’Pasangan
yang lebih tua mungkin berada dalam posisi yang lebih baik untuk memberikan
stabilitas, dia mungkin juga lebih dewasa yang mungkin disukai perempuan,’’
jelas pengajar psikologi di Eastern Connecticut State University, Amerika
Serikat itu. (*)