Tidak semua asap ada apinya. Tapi wacana
pembubaran OJK (Otoritas Jasa Keuangan) ada penyebabnya. Banyak. Misal,
lemahnya pengawasan oleh OJK itu. Sampai-sampai terjadilah mega skandal.
Seperti kasus Jiwasraya.
Secara kecil-kecilan terjadi juga apa
yang dialami wartawan Ilham Bintang. Kartu kreditnya bobol (DI’s Way: Ilham Indosat).
Tapi bukan hanya dua api itu yang membuat asap
hitam OJK membumbung tinggi. Isu pembubaran itu lebih terkait dengan program
penyelamatan ekonomi nasional. Terutama akibat Covid-19.
Presiden, lewat Perppu sudah memutuskan
perlunya stimulus ekonomi. Termasuk untuk mengusaha kecil. Yang total nilainya
di atas 100 triliun.
Sampai sekarang, dana yang sudah cair baru
sekitar 1 persen. Inilah yang melatarbelakangi ucapan presiden dalam marahnya
pekan lalu: jangan sampai pengusaha dibiarkan mati dulu baru dibantu. Akan
sia-sia.
Dalam Perppu, Presiden Jokowi memang
mempermudah prosedur pencairan stimulus. Terutama untuk pinjaman yang di bawah
Rp 10 miliar.
Salah satu kemudahan itu adalah: pengusaha yang
kreditnya bermasalah pun bisa mendapatkan stimulus itu. Tentu OJK
keberatan –meski tidak pernah diucapkan. Itu termasuk melanggar rukun iman
perbankan yang harus pruden.
Maka orang seperti Ketua Umum Kadin Indonesia,
Rosan P Roeslani, berkoar. Begitu juga banyak politisi.
Tapi bukan Ketum Kadin itu yang pertama
melontarkan isu pembubaran OJK.
“Saya tahu siapa orang pertama yang
melontarkan pernyataan itu. Tapi saya tidak mau menyebut nama. Nanti jadi
fitnah,” ujar Mohamad Misbakhun, anggota DPR dari Golkar.
Dari situlah wacana pembubaran OJK bermula.
Dari kemarahan. Ini seperti hukum karma saja. OJK dulu dibentuk juga oleh
kemarahan. Ketika pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia kurang baik.
Puncaknya terjadi skandal Bank Century.
Fungsi pengawasan Bank Indonesia dianggap
lemah. Maka perlu dibentuk lembaga di luar BI, khusus untuk memperkuat
pengawasan. Terbentuklah OJK itu. Ternyata masih terjadi skandal seperti
Jiwasraya.
Inggris menjadi contoh pemisahan. Waktu itu,
Inggris memang memisahkan antara fungsi pengaturan moneter dan pengawasan bank.
Padahal Inggris adalah Makkah-nya keuangan dunia. Mengapa tidak diikuti
saja.
Akhirnya, pada 2013, kita ikut Inggris.
Terbentuklah OJK.
Lucunya Inggris berubah sikap. Di tahun 2013
itu Inggris kembali menyatukan fungsi pengawasan ke bank sentralnya.
“Jangan lupa,” ujar Burhanuddin
Abdullah dalam Zoominar yang diselenggarakan Narasi Institut tadi malam.
“Di tahun itu juga Inggris kembali menggabungkan kembali fungsi pengawasan
ke dalam Bank Sentralnya”.
Meski ia mantan Gubernur Bank Indonedia,
Burhanuddin tidak terlihat memihak. Hanya saja “Kalau toh OJK mau
dibubarkan jangan sekarang,” ujarnya. “Saat ini kan lagi terjadi
krisis. Jangan bikin keputusan yang menimbulkan ketidakpastian,” katanya.
Saat ini Burhanuddin berusia 72 tahun. Tokoh
asal Garut lulusan Universitas Padjadjaran dan Michigan ini mengaku tidak
banyak tahu lagi perkembangan kelembagaan keuangan di Indonesia.
Ibarat kapal yang lagi berlayar, kapal itu lagi
diguncang badai. Janganlah di saat kapal lagi oleng justru kita hantam dengan
pukulan.
Rakyat pada umumnya sebenarnya tidak peduli ada
atau tidak adanya OJK.
Rakyat tidak tahu mengapa dulu OJK dibentuk dan
mengapa pula kini harus dibubarkan.(Dahlan Iskan)