25.6 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Nestapa Gambut Nusantara

KEKAYAAN sumber daya lahan basah (wetlands) nusantara didominasi oleh ekosistem gambut yang rapuh dan
sensitif. Menyadari kenyataan itu, sejak tahun 1991 Pemerintah Indonesia telah
berkomitmen kepada masyarakat internasional untuk melindungi dan menjaga
kelestarian gambut.

Akan tetapi, kebakaran yang terus
terjadi setiap musim kemarau, dan rencana pembukaan hutan dan lahan gambut
untuk cetak sawah (food estate) di
Kalimantan Tengah menimbulkan pertanyaan, apakah Pemerintah Indonesia serius
dalam mengelola dan melestarikan hutan dan lahan gambut?

Darurat Karhutla

Secara global pengaturan mengenai
hutan dan lahan gambut yang tertuang dalam Konvensi Ramsar (Wetlands Convention) telah
diimplementasikan di banyak negara sejak tahun 1975. Indonesia telah menjadi
negara pihak dalam Konvensi Ramsar. Dasar hukum pengelolaan gambut nasional
tercantum dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 48 Tahun 1991 tentang
Pengesahan Konvensi Ramsar.

Tujuan utama dalam Konvensi
Ramsar adalah untuk menghentikan perusakan dan menjamin pelestarian ekosistem
yang berfokus kepada seluruh aspek konservasi dan pemanfaatan lahan basah
secara bijak atau wise use (Ramsar Convention Secretariat, 2016).

Indonesia didapuk menjadi negara
dengan lahan basah terluas di Asia. Dari total luas wilayahnya, Indonesia
memiliki 37,8 juta hektar lahan basah, dimana sekitar 22,5 juta hektarnya
adalah lahan gambut, dan sekitar 4,8 juta hektar atau 32%-nya berada di Pulau
Kalimantan. Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) menempati urutan kedua setelah
Papua dengan gambut terluas di Indonesia. Luas wilayah Kalteng mencapai 15,4
juta hektar, dan memiliki luas lahan gambut sekitar 2,7 juta hektar.

Ironisnya, sejak tahun 1997
kebakaran hutan dan lahan gambut kerap terjadi di Kalteng. Pada bulan Mei 2019,
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah telah menetapkan daerahnya Darurat
Karhutla. Dalam merespons maraknya Karhutla, pemerintah melalui Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah melakukan sejumlah upaya seperti
melakukan moratorium izin untuk hutan primer dan lahan gambut, serta menyegel
42 perusahaan di lima provinsi (termasuk Kalteng) yang diduga sebagai penyebab
kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2019. Namun, publik menilai langkah dan
upaya pemerintah dalam penanganan Karhutla terlihat belum maksimal. Hingga
medio tahun 2020, Kalteng menempati urutan kedua provinsi dengan wilayah gambut
terbakar yang terluas setelah Sumatera Selatan.

Baca Juga :  Pemko Menyalurkan 20.400 Paket Sembako

Tentu semua pihak merasa
dirugikan dengan terus berulangnya Karhutla dan makin banyak warga Kalteng yang
terpapar racun kabut asap, terjangkit ISPA hingga harus meregang nyawa akibat
pencemaran udara. Karhutla yang terus berulang juga mengakibatkan kerugian
dalam banyak sektor terutama kesehatan, pendidikan, dan ekonomi masyarakat
Kalteng.

Degradasi Gambut dan Ekosida

Pada tahun 2016, masyarakat yang
tergabung dalam Gerakan Anti Asap (GAAS) Kalimantan Tengah telah mengajukan
gugatan warga negara pada Pengadilan Negeri (PN) Palangka Raya dengan nomor
118/Pdt.G/LH/2016/PNPlk. Majelis Hakim telah mengabulkan gugatan tersebut dan
menyatakan bahwa Pemerintah telah melakukan perbuatan melawan hukum atas
kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah.

Penulis menitikberatkan pada tiga
hukuman yang dijatuhkan oleh majelis hakim. Pertama, majelis hakim menghukum
Pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana terkait perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup termasuk ekosistem gambut, hingga peraturan daerah
yang mengatur tentang perlindungan kawasan lindung. Kedua, Pemerintah juga
harus melakukan peninjauan ulang dan merevisi izin-izin usaha pengelolaan hutan
dan perkebunan. Ketiga, Pemerintah harus membuat road map pencegahan,
penanggulangan dan pemulihan korban Karhutla dan tentu saja pemulihan
lingkungan.

Pasca vonis majelis hakim PN
Palangka Raya tersebut, Pemerintah belum menunaikan kewajibannya hingga Pandemi
Covid-19 melanda wilayah Indonesia termasuk Kalteng saat ini. Pemerintah justru
akan melangsungkan pembangunan cetak sawah (food estate) di tengah Pandemi
Covid-19. Abainya pemerintah dalam pemenuhan hak dan pemulihan masyarakat
terdampak asap tentu saja menyayat hati warga Kalteng. Publik menilai langkah
Pemerintah untuk mencetak sawah di hutan dan lahan gambut akan menimbulkan
kerusakan lingkungan yang masif.

Luasnya hutan dan lahan gambut
yang akan dikonversi, tidak hanya bertentangan dengan kearifan lokal tetapi juga
akan merampas ruang hidup dan wilayah kelola masyarakat. Sebagian besar
wilayahnya adalah eks PLG (Proyek Pengembangan Lahan Gambut) sejuta hektar yang
gagal pada era orde baru dan mewariskan kabut asap karena sering terbakar
hingga saat ini. Degradasi ekosistem gambut tentu akan berdampak langsung
terhadap manusia, dan dapat menimbulkan kepunahan keanekaragaman hayati
didalamnya.

Menurut Khalisah Khalid dari
Walhi, penghancuran lingkungan hidup ini tidak bisa lagi dilihat hanya sebagai
pelanggaran hukum semata, namun sebagai sebuah kejahatan ekosida (Harian
Kompas, 26/9/19). Ekosida dimaknai sebagai tindakan kejahatan yang menyebabkan
perubahan yang merugikan, dan tidak dapat diperbaiki untuk suatu kerusakan
lingkungan hidup (Walhi, 2019). Konsep ekosida merupakan perusakan lingkungan
hidup yang dilakukan secara sengaja dan/atau dengan kelalaian melalui berbagai
aktivitas manusia yang membahayakan kehidupan manusia, yang menimbulkan
degradasi lingkungan hidup yang ekstrem, yang merupakan objek vital yang dibutuhkan
untuk kelangsungan hidup masyarakat.

Baca Juga :  Maksimalkan Potensi Serapan Pendapatan Daerah

Ide mencetak sawah di tengah
pandemi dan musim kemarau di depan mata, merupakan sebuah involusi. Badan
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memprediksi bahwa musim
kemarau tiba di Kalimantan pada Juni 2020. Pemerintah sebaiknya mengoptimalkan
area persawahan yang sudah ada dan tidak gegabah untuk membuka sawah baru.

Sedikitnya ada enam kabupaten
yang memiliki area persawahan di Kalteng dengan luas area mencapai 360 ribu
hektar, diantaranya Kabupaten Kapuas, Pulang Pisau, Kotawaringin Timur, Barito
Selatan, Katingan, dan Kabupaten Barito Timur (BPS Provinsi Kalteng, 2016).
Kabupaten Kapuas telah terbukti menjadi lumbung padi di Kalteng dengan luasan
area persawahan sekitar 130 ribu hektar.

Jika Pemerintah tetap
melangsungkan pembangunan proyek cetak sawah tersebut, maka masyarakat dan
petani lokal terutama perempuan adat yang terdampak akan terpinggirkan dan
tercerabut ruang hidup, ikatan kebudayaan, dan spiritualitasnya. Kebakaran
hutan dan lahan akan terus menghantui masyarakat. Tentu masyarakat juga tidak
ingin kehilangan nyawa kerabat dan keluarganya akibat terpapar kabut asap dari
Karhutla.

Asap dan Karhutla menjadi bukti
bahwa gambut sudah tidak mampu melakukan recovery diri, karena terus dipaksa
bekerja untuk pembangunan.  Jika tidak
ada perubahan yang fundamental atas degradasi gambut dan tidak ada pemulihan
atas kerusakan lingkungan akibat kebakaran yang terus berulang, maka akan
menegaskan ancaman serius bahwa hutan Kalimantan Tengah sebagai paru-paru dunia
akan hilang, dan gambut tinggal nestapa. Sebab gambut yang rapuh dan sensitif,
keberadaannya sangat tergantung pada cara pemanfaatan dan keseriusan usaha
pelestariannya.(*)

(Penulis adalah Asisten Pengabdi
Bantuan Hukum (APBH) LBH Palangka Raya)

KEKAYAAN sumber daya lahan basah (wetlands) nusantara didominasi oleh ekosistem gambut yang rapuh dan
sensitif. Menyadari kenyataan itu, sejak tahun 1991 Pemerintah Indonesia telah
berkomitmen kepada masyarakat internasional untuk melindungi dan menjaga
kelestarian gambut.

Akan tetapi, kebakaran yang terus
terjadi setiap musim kemarau, dan rencana pembukaan hutan dan lahan gambut
untuk cetak sawah (food estate) di
Kalimantan Tengah menimbulkan pertanyaan, apakah Pemerintah Indonesia serius
dalam mengelola dan melestarikan hutan dan lahan gambut?

Darurat Karhutla

Secara global pengaturan mengenai
hutan dan lahan gambut yang tertuang dalam Konvensi Ramsar (Wetlands Convention) telah
diimplementasikan di banyak negara sejak tahun 1975. Indonesia telah menjadi
negara pihak dalam Konvensi Ramsar. Dasar hukum pengelolaan gambut nasional
tercantum dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 48 Tahun 1991 tentang
Pengesahan Konvensi Ramsar.

Tujuan utama dalam Konvensi
Ramsar adalah untuk menghentikan perusakan dan menjamin pelestarian ekosistem
yang berfokus kepada seluruh aspek konservasi dan pemanfaatan lahan basah
secara bijak atau wise use (Ramsar Convention Secretariat, 2016).

Indonesia didapuk menjadi negara
dengan lahan basah terluas di Asia. Dari total luas wilayahnya, Indonesia
memiliki 37,8 juta hektar lahan basah, dimana sekitar 22,5 juta hektarnya
adalah lahan gambut, dan sekitar 4,8 juta hektar atau 32%-nya berada di Pulau
Kalimantan. Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) menempati urutan kedua setelah
Papua dengan gambut terluas di Indonesia. Luas wilayah Kalteng mencapai 15,4
juta hektar, dan memiliki luas lahan gambut sekitar 2,7 juta hektar.

Ironisnya, sejak tahun 1997
kebakaran hutan dan lahan gambut kerap terjadi di Kalteng. Pada bulan Mei 2019,
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah telah menetapkan daerahnya Darurat
Karhutla. Dalam merespons maraknya Karhutla, pemerintah melalui Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah melakukan sejumlah upaya seperti
melakukan moratorium izin untuk hutan primer dan lahan gambut, serta menyegel
42 perusahaan di lima provinsi (termasuk Kalteng) yang diduga sebagai penyebab
kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2019. Namun, publik menilai langkah dan
upaya pemerintah dalam penanganan Karhutla terlihat belum maksimal. Hingga
medio tahun 2020, Kalteng menempati urutan kedua provinsi dengan wilayah gambut
terbakar yang terluas setelah Sumatera Selatan.

Baca Juga :  Pemko Menyalurkan 20.400 Paket Sembako

Tentu semua pihak merasa
dirugikan dengan terus berulangnya Karhutla dan makin banyak warga Kalteng yang
terpapar racun kabut asap, terjangkit ISPA hingga harus meregang nyawa akibat
pencemaran udara. Karhutla yang terus berulang juga mengakibatkan kerugian
dalam banyak sektor terutama kesehatan, pendidikan, dan ekonomi masyarakat
Kalteng.

Degradasi Gambut dan Ekosida

Pada tahun 2016, masyarakat yang
tergabung dalam Gerakan Anti Asap (GAAS) Kalimantan Tengah telah mengajukan
gugatan warga negara pada Pengadilan Negeri (PN) Palangka Raya dengan nomor
118/Pdt.G/LH/2016/PNPlk. Majelis Hakim telah mengabulkan gugatan tersebut dan
menyatakan bahwa Pemerintah telah melakukan perbuatan melawan hukum atas
kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah.

Penulis menitikberatkan pada tiga
hukuman yang dijatuhkan oleh majelis hakim. Pertama, majelis hakim menghukum
Pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana terkait perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup termasuk ekosistem gambut, hingga peraturan daerah
yang mengatur tentang perlindungan kawasan lindung. Kedua, Pemerintah juga
harus melakukan peninjauan ulang dan merevisi izin-izin usaha pengelolaan hutan
dan perkebunan. Ketiga, Pemerintah harus membuat road map pencegahan,
penanggulangan dan pemulihan korban Karhutla dan tentu saja pemulihan
lingkungan.

Pasca vonis majelis hakim PN
Palangka Raya tersebut, Pemerintah belum menunaikan kewajibannya hingga Pandemi
Covid-19 melanda wilayah Indonesia termasuk Kalteng saat ini. Pemerintah justru
akan melangsungkan pembangunan cetak sawah (food estate) di tengah Pandemi
Covid-19. Abainya pemerintah dalam pemenuhan hak dan pemulihan masyarakat
terdampak asap tentu saja menyayat hati warga Kalteng. Publik menilai langkah
Pemerintah untuk mencetak sawah di hutan dan lahan gambut akan menimbulkan
kerusakan lingkungan yang masif.

Luasnya hutan dan lahan gambut
yang akan dikonversi, tidak hanya bertentangan dengan kearifan lokal tetapi juga
akan merampas ruang hidup dan wilayah kelola masyarakat. Sebagian besar
wilayahnya adalah eks PLG (Proyek Pengembangan Lahan Gambut) sejuta hektar yang
gagal pada era orde baru dan mewariskan kabut asap karena sering terbakar
hingga saat ini. Degradasi ekosistem gambut tentu akan berdampak langsung
terhadap manusia, dan dapat menimbulkan kepunahan keanekaragaman hayati
didalamnya.

Menurut Khalisah Khalid dari
Walhi, penghancuran lingkungan hidup ini tidak bisa lagi dilihat hanya sebagai
pelanggaran hukum semata, namun sebagai sebuah kejahatan ekosida (Harian
Kompas, 26/9/19). Ekosida dimaknai sebagai tindakan kejahatan yang menyebabkan
perubahan yang merugikan, dan tidak dapat diperbaiki untuk suatu kerusakan
lingkungan hidup (Walhi, 2019). Konsep ekosida merupakan perusakan lingkungan
hidup yang dilakukan secara sengaja dan/atau dengan kelalaian melalui berbagai
aktivitas manusia yang membahayakan kehidupan manusia, yang menimbulkan
degradasi lingkungan hidup yang ekstrem, yang merupakan objek vital yang dibutuhkan
untuk kelangsungan hidup masyarakat.

Baca Juga :  Maksimalkan Potensi Serapan Pendapatan Daerah

Ide mencetak sawah di tengah
pandemi dan musim kemarau di depan mata, merupakan sebuah involusi. Badan
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memprediksi bahwa musim
kemarau tiba di Kalimantan pada Juni 2020. Pemerintah sebaiknya mengoptimalkan
area persawahan yang sudah ada dan tidak gegabah untuk membuka sawah baru.

Sedikitnya ada enam kabupaten
yang memiliki area persawahan di Kalteng dengan luas area mencapai 360 ribu
hektar, diantaranya Kabupaten Kapuas, Pulang Pisau, Kotawaringin Timur, Barito
Selatan, Katingan, dan Kabupaten Barito Timur (BPS Provinsi Kalteng, 2016).
Kabupaten Kapuas telah terbukti menjadi lumbung padi di Kalteng dengan luasan
area persawahan sekitar 130 ribu hektar.

Jika Pemerintah tetap
melangsungkan pembangunan proyek cetak sawah tersebut, maka masyarakat dan
petani lokal terutama perempuan adat yang terdampak akan terpinggirkan dan
tercerabut ruang hidup, ikatan kebudayaan, dan spiritualitasnya. Kebakaran
hutan dan lahan akan terus menghantui masyarakat. Tentu masyarakat juga tidak
ingin kehilangan nyawa kerabat dan keluarganya akibat terpapar kabut asap dari
Karhutla.

Asap dan Karhutla menjadi bukti
bahwa gambut sudah tidak mampu melakukan recovery diri, karena terus dipaksa
bekerja untuk pembangunan.  Jika tidak
ada perubahan yang fundamental atas degradasi gambut dan tidak ada pemulihan
atas kerusakan lingkungan akibat kebakaran yang terus berulang, maka akan
menegaskan ancaman serius bahwa hutan Kalimantan Tengah sebagai paru-paru dunia
akan hilang, dan gambut tinggal nestapa. Sebab gambut yang rapuh dan sensitif,
keberadaannya sangat tergantung pada cara pemanfaatan dan keseriusan usaha
pelestariannya.(*)

(Penulis adalah Asisten Pengabdi
Bantuan Hukum (APBH) LBH Palangka Raya)

Terpopuler

Artikel Terbaru