29.9 C
Jakarta
Sunday, December 22, 2024

Fokus Hadapi Korona, Fahri Minta Pilkada Serentak Ditunda Hingga 2021

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim
Indonesia (UMI) Makassar Dr. Fahri Bachmid meminta pemerintah, DPR dan KPU RI
menghentikan dan menunda seluruh tahapan Pilkada Serentak 9 Desember
2020. Pasalnya negeri ini masih dihadapkan dengan pandemi Covid-19.

“Tidak tepat dan kondusif jika gelaran pesta
demokrasi lokal itu dipaksakan di tengah pendemi virus Korona, meskipun Perppu
Pilkada sudah dikeluarkan,” ujar Fahri dalam keterangan tertulisnya pada
JawaPos.com, Senin (1/6).

Karena itu, Fahri menyarankan agar Pilkada
Serentak dilakanakan pada 2021 mendatang. Sebab penundaan itu juga dapat
dibenarkan secara kontitusi sesuai prinsip hak asasi manusia sepanjang
berkaitan dengan hak atas kesehatan. Hal itu sebagaimana diatur dalam
“Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948, pasal 25 yang menyatakan”
setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan
untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan
perawatan kesehatan.”

Pengaturan ini sejalan dengan ketentuan pasal
28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sehingga secara konstitusional prinsip
kesehatan adalah hak asasi warga negara atas kesehatan (Human Right to Health)
yang dijamin secara tegas dalam konstitusi. Bahkan segala kebijakan negara
dalam situasi apapun penyelenggara negara mutlak berpedoman sebagai instrumen
fundamental yang tidak dapat direduksi atas alasan dan keadaan apapun juga.

Hal itu disampaikan Fahri Bachmid saat menjadi
narasumber pada diskusi virtual bertajuk “Perpu dan Dampak Penundaan Pilkada
Ditengah Covid-19”. Narasumber lain pada kesempatan itu juga adalah Komisioner
KPU RI Viryan Azis, Komisioner Bawaslu RI Dr. Ratna Dewi Pettalolo,SH.,MH,
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, Peneliti Kepemiluan Dr. Ferry D.
Liando, dan Akademisi UIN Alauddin Makassar Dr. Syamsuddin Radjab.

Baca Juga :  Kemenhub Sebut Belum Ada Maskapai Langgar TBA Tiket

Fahri juga menjelaskan, berdasarkan perspektif
hukum sesui Perpu Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 1
Tahun 2015 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi undang-undang, dalam penormaan itu ada
dua keadaan hukum yang diatur sedemikian rupa dalam Perpu tersebut sesuai
ketentuan pasal 201A.

“Dimana dalam rumusannya pada pasal 201 ayat
(6) disebutkan pemungutan suara serentak ditunda kerena terjadinya bencana non
alam. Sementara rumusan norma pasal 120 ayat (1) menjelaskan pemungutan suara
serentak yang ditunda dilaksanakan pada Desember 2020,” ujarnya.

Namun, kata Fahri, ada ketentuan selanjutnya
yang merupakan “ekseption” adalah “ dalam hal pemungutan suara serentak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilaksanakan dan pemungutan
suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non-alam
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana
dimaksud dalam pasal 122A.

“Secara yuridis, ini merupakan sarana hukum
yang telah didesain sebagai politik hukum didalam Perppu untuk mengatasi serta
mengantisipasi jika keadaan Pendemi ini tidak berahir,” papar Fahri Bachmid.

Jika Pilkada 9 Desember tetap dipaksakan,
menurut Fahri, akan ada potensi risiko cukup tinggi. Ia juga menilai keputusan
politik itu terlalu berani dan riskan untuk tetap melaksanakan Pilkada 2020
pada akhir tahun.

Sebab, kata dia, secara sekilas kelihatannya
konstruksi kesepakatan yang diambil salah satu pijakannya adalah karena
penjelasan yang disampaikan oleh KPU RI terkait langkah-langkah kebijakan dan
situasi pengendalian yang disampaikan oleh Pemerintah, termasuk saran, usulan
dan dukungan dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melalui surat
Ketua Gugus Tugas No. B-196/KAGUGAS/PD.01.02/05/2020 bertanggal 27 Mei 2020.

Baca Juga :  Habibie Jadi Nama Jembatan di Timor Leste

“Idelanya keputusan itu harus dibangun
berdasarkan hasil kajian yang yang cermat, hati-hati, dan komprehensif serta
memiliki basis analisis keilmuan yang memadai dengan melibatkan berbagai pakar
dan ahli virologi yang dapat memastikan tingkat resiko penularan serta
persebaran covid-19 sampai dengan bulan desember 2020,” paparnya.

Fahri juga berharap, jangan sampai ada korban
nyawa manusia yang sia-sia karena terkena virus Covid-19 akibat memaksakan Pilkada
serenta 9 Desember. Padahal, jika pilkada serentak ditunda sampai dengan tahun
2021 maka dapat dipastikan tidak ada persoalan serta implikasi yang bersifat
ketatanegaraan maupun teknis administrasi dalam urusan penyelengaraan
Pemerintahan yang melibatkan 270 daerah itu.

“Hal itu berdasarkan instrumen hukum sesuai UU
RI No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas UU RI No. 1 Tahun 2015
Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota Menjadi undang-undang, khususnya ketentuan pasal 201 ayat (10) dan
(11),” paparnya.

“Dengan demikian, maka pelaksanaan Pilkada
tahun 2020 dimusim pendemi saat ini menjadi tidak urgent dan penting, baiknya
konsentrasikan seluruh sumber daya nasional yang ada saat ini untuk menyelesaikan
Covid-19 beserta seluruh dampak bawaan lainnya,” paparnya.

Diketahui sebelumnya, Pilkada Serentak
diputuskan dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Ini merupakan keputusan bersama
antara Komisi II DPR dan pemerintah. Keputusan itu diambil dalam Rapat Kerja
Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu dan DKPP pada Rabu
(27/5/2020) lalu.
 

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim
Indonesia (UMI) Makassar Dr. Fahri Bachmid meminta pemerintah, DPR dan KPU RI
menghentikan dan menunda seluruh tahapan Pilkada Serentak 9 Desember
2020. Pasalnya negeri ini masih dihadapkan dengan pandemi Covid-19.

“Tidak tepat dan kondusif jika gelaran pesta
demokrasi lokal itu dipaksakan di tengah pendemi virus Korona, meskipun Perppu
Pilkada sudah dikeluarkan,” ujar Fahri dalam keterangan tertulisnya pada
JawaPos.com, Senin (1/6).

Karena itu, Fahri menyarankan agar Pilkada
Serentak dilakanakan pada 2021 mendatang. Sebab penundaan itu juga dapat
dibenarkan secara kontitusi sesuai prinsip hak asasi manusia sepanjang
berkaitan dengan hak atas kesehatan. Hal itu sebagaimana diatur dalam
“Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948, pasal 25 yang menyatakan”
setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan
untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan
perawatan kesehatan.”

Pengaturan ini sejalan dengan ketentuan pasal
28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sehingga secara konstitusional prinsip
kesehatan adalah hak asasi warga negara atas kesehatan (Human Right to Health)
yang dijamin secara tegas dalam konstitusi. Bahkan segala kebijakan negara
dalam situasi apapun penyelenggara negara mutlak berpedoman sebagai instrumen
fundamental yang tidak dapat direduksi atas alasan dan keadaan apapun juga.

Hal itu disampaikan Fahri Bachmid saat menjadi
narasumber pada diskusi virtual bertajuk “Perpu dan Dampak Penundaan Pilkada
Ditengah Covid-19”. Narasumber lain pada kesempatan itu juga adalah Komisioner
KPU RI Viryan Azis, Komisioner Bawaslu RI Dr. Ratna Dewi Pettalolo,SH.,MH,
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, Peneliti Kepemiluan Dr. Ferry D.
Liando, dan Akademisi UIN Alauddin Makassar Dr. Syamsuddin Radjab.

Baca Juga :  Kemenhub Sebut Belum Ada Maskapai Langgar TBA Tiket

Fahri juga menjelaskan, berdasarkan perspektif
hukum sesui Perpu Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 1
Tahun 2015 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi undang-undang, dalam penormaan itu ada
dua keadaan hukum yang diatur sedemikian rupa dalam Perpu tersebut sesuai
ketentuan pasal 201A.

“Dimana dalam rumusannya pada pasal 201 ayat
(6) disebutkan pemungutan suara serentak ditunda kerena terjadinya bencana non
alam. Sementara rumusan norma pasal 120 ayat (1) menjelaskan pemungutan suara
serentak yang ditunda dilaksanakan pada Desember 2020,” ujarnya.

Namun, kata Fahri, ada ketentuan selanjutnya
yang merupakan “ekseption” adalah “ dalam hal pemungutan suara serentak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilaksanakan dan pemungutan
suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non-alam
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana
dimaksud dalam pasal 122A.

“Secara yuridis, ini merupakan sarana hukum
yang telah didesain sebagai politik hukum didalam Perppu untuk mengatasi serta
mengantisipasi jika keadaan Pendemi ini tidak berahir,” papar Fahri Bachmid.

Jika Pilkada 9 Desember tetap dipaksakan,
menurut Fahri, akan ada potensi risiko cukup tinggi. Ia juga menilai keputusan
politik itu terlalu berani dan riskan untuk tetap melaksanakan Pilkada 2020
pada akhir tahun.

Sebab, kata dia, secara sekilas kelihatannya
konstruksi kesepakatan yang diambil salah satu pijakannya adalah karena
penjelasan yang disampaikan oleh KPU RI terkait langkah-langkah kebijakan dan
situasi pengendalian yang disampaikan oleh Pemerintah, termasuk saran, usulan
dan dukungan dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melalui surat
Ketua Gugus Tugas No. B-196/KAGUGAS/PD.01.02/05/2020 bertanggal 27 Mei 2020.

Baca Juga :  Habibie Jadi Nama Jembatan di Timor Leste

“Idelanya keputusan itu harus dibangun
berdasarkan hasil kajian yang yang cermat, hati-hati, dan komprehensif serta
memiliki basis analisis keilmuan yang memadai dengan melibatkan berbagai pakar
dan ahli virologi yang dapat memastikan tingkat resiko penularan serta
persebaran covid-19 sampai dengan bulan desember 2020,” paparnya.

Fahri juga berharap, jangan sampai ada korban
nyawa manusia yang sia-sia karena terkena virus Covid-19 akibat memaksakan Pilkada
serenta 9 Desember. Padahal, jika pilkada serentak ditunda sampai dengan tahun
2021 maka dapat dipastikan tidak ada persoalan serta implikasi yang bersifat
ketatanegaraan maupun teknis administrasi dalam urusan penyelengaraan
Pemerintahan yang melibatkan 270 daerah itu.

“Hal itu berdasarkan instrumen hukum sesuai UU
RI No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas UU RI No. 1 Tahun 2015
Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota Menjadi undang-undang, khususnya ketentuan pasal 201 ayat (10) dan
(11),” paparnya.

“Dengan demikian, maka pelaksanaan Pilkada
tahun 2020 dimusim pendemi saat ini menjadi tidak urgent dan penting, baiknya
konsentrasikan seluruh sumber daya nasional yang ada saat ini untuk menyelesaikan
Covid-19 beserta seluruh dampak bawaan lainnya,” paparnya.

Diketahui sebelumnya, Pilkada Serentak
diputuskan dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Ini merupakan keputusan bersama
antara Komisi II DPR dan pemerintah. Keputusan itu diambil dalam Rapat Kerja
Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu dan DKPP pada Rabu
(27/5/2020) lalu.
 

Terpopuler

Artikel Terbaru