29.3 C
Jakarta
Thursday, November 28, 2024

Kalteng Melawan Covid-19

PANDEMI Covid-19 telah
menjadi ujian terbesar bagi seorang pimpinan negara termasuk kepala daerah.
Peran penting pimpinan wilayah dalam menerapkan kebijakan yang ditujukan guna
menyelesaikan persoalan Covid-19 perlu didukung secara penuh oleh setiap elemen
masyarakat.

Bila dicermati lebih
lanjut, angka pasien terkonfirmasi Covid-19 di wilayah Kalimantan Tengah pada
Jumat (24/4) lalu, mendekati angka 100 dengan jumlah total pasti yakni 95 kasus.
Kendati demikian, permohonan yang diajukan Wali Kota Palangka Raya perihal pembatasan
sosial berskala besara (PSBB) wilayah beberapa waktu lalu justru mendapat
penolakan yang tercermin dalam SR.01.07/Menkes/243/2020.

Padahal, wilayah
tetangga sebut saja Kalimantan Selatan (Kota Banjarmasin, red) telah mendapati
persetujuan pemerintah pusat dalam memberlakukan PSBB. Penolakan yang dilakukan
Kemenkes terhadap surat permohonan Wali Kota Palangka Raya menimbulkan
pertanyaan humanis pada masyarakat.

 

Problematika Legislasi

Pembaca sekalian,
peraturan penanganan Covid-19 di Indonesia merujuk pada dua dasar hukum berbeda
termasuk dalam level pelaksanaannya yang bersifat ambiguitas. Sebut saja,
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala
Besar.

Meskipun begitu, sangat
disayangkan materi muatannya baru sebatas mengatur prosedur penetapan PSBB
melalui kewenangan pemda, gugus tugas percepatan penanganan Covid-19, dan pemerintah
pusat untuk secara bekerja sama menetapkan PSBB, yaitu dengan prosedur yang
diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 21 Tahun 2020. Sedangkan pengaturan mengenai
teknis pelaksanaan tindakan pemerintah yang seharusnya diatur justru tidak
diatur. Adapula Keppres No. 12/2020 tentang Penetapa Bencana Nonalam Penyebaran
Covid-19 namun peraturan ini lebih merujuk pada aspek perekonomian.

Baca Juga :  Broker Lahan Mulai Serbu Lokasi Segitiga Emas, Pejabat Juga Ada Lho

Dalam situasi pandemik
seharusnya ada pembongkaran birokrasi khususnya di wilayah kesehatan, bukan
berkutat pada prosedur yang menimbulkan kerugian pada masyarakat.

Perppu 21/2020
sebagaimana tercermin di atas adalah sebagai norma delegasi dari UU 6/2018 tidak mencerminkan kehendak asli
pendelegasian kewenangan yang diatur dalam Pasal 6, UU 6/2018.
Kebijakan penanganan Covid-19 di Indonesia hendaknya
dilakukan secara asimetris dengan menetapkan pola karantina yang berbeda pada
masing-masing wilayah dan daerah. Dengan mengacu pada tahapan penanganan
Covid-19 yang diatur dalam UU 6/2018, yang terdiri dari karantina rumah,
karantina wilayah, karantina rumah sakit, dan pembatasan sosial berskala besar.
Hal ini didasari atas adanya perbedaan skala wabah, kemampuan, letak geografis,
kondisi ekonomi pada masing-masing daerah (Muh.Saleh: 2020).

Secara
sosiologis pola penanganan Covid-19 di Indonesia mengacu UU 6/2018 telah
dilakukan secara bertahap dimulai dengan karantina rumah dan karantina rumah
sakit. Namun tindakan tersebut belum memiliki petunjuk teknis penanganan dan
dasar hukum yang seharusnya telah ditetapkan dalam peraturan pemerintah
masing-masing daerah.

Baca Juga :  Pembangunan Infrastruktur Akan Terus Dijalankan

 

Urgensi Pimpinan Daerah

Mengingat bencana
kesehatan Covid-19 ini sudah terindikasi penyebaran di wilayah transmisi lokal,
maka akses keluar masuk antar wilayah lainnya harus diperhatikan dan diketatkan
agar tidak menyebar lebih luas. Hal ini membuat pintu masuk tiap daerah menjadi
perhatian khusus walaupun terdapat ambiguitas dalam aturan hukum yang diberikan
pemerintah pusat.

Penulis memberikan
apresiasi sebesar-besarnya bertolak pada kebijakan pimpinan daerah di beberapa
wilayah Indonesia, berinisiatif menembus prosedur birokrasi dalam penanganan Covid-10.
Sebut saja, pemberlakuan lockdown antara
lain Pemkot Solo, Bali, Papua, Maluku, dan Tegal memberikan bentuk pengarahan
tersendiri dalam upaya penyelesaian Covid-19 dengan skala dan aturan yang
berbeda-beda.

Di sisi
lain, wilayah Kalimantan Tengah
berdasarkan Keputusan Gubernur Kalimantan
Tengah Nomor 188.44/104./2020 juga memperpanjang tenggat waktu darurat sampai
dengan 25 Juni 2020.

Gubernur Provinsi
Kalimantan Tengah juga telah menyodorkan dana sejumlah Rp9 miliar dalam rangka
penyelesaian Covid-19. Kebijakan yang bersifat responsive inilah yang dibutuhkan masyarakat. Sebagai wujud
pertanggungjawaban utamanya pimpinan wilayah bertanggung jawab atas konstituen
yakni rakyat yang memilihnya di wilayah tersebut. Bukan sebaliknya,
mengakomodir pengaturan yang tidak berdampak pada masyarakat.

 

         

*Mahasiswa Magister Hukum

Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia

Founder Perantau
Berkarya Kalimantan Tengah

PANDEMI Covid-19 telah
menjadi ujian terbesar bagi seorang pimpinan negara termasuk kepala daerah.
Peran penting pimpinan wilayah dalam menerapkan kebijakan yang ditujukan guna
menyelesaikan persoalan Covid-19 perlu didukung secara penuh oleh setiap elemen
masyarakat.

Bila dicermati lebih
lanjut, angka pasien terkonfirmasi Covid-19 di wilayah Kalimantan Tengah pada
Jumat (24/4) lalu, mendekati angka 100 dengan jumlah total pasti yakni 95 kasus.
Kendati demikian, permohonan yang diajukan Wali Kota Palangka Raya perihal pembatasan
sosial berskala besara (PSBB) wilayah beberapa waktu lalu justru mendapat
penolakan yang tercermin dalam SR.01.07/Menkes/243/2020.

Padahal, wilayah
tetangga sebut saja Kalimantan Selatan (Kota Banjarmasin, red) telah mendapati
persetujuan pemerintah pusat dalam memberlakukan PSBB. Penolakan yang dilakukan
Kemenkes terhadap surat permohonan Wali Kota Palangka Raya menimbulkan
pertanyaan humanis pada masyarakat.

 

Problematika Legislasi

Pembaca sekalian,
peraturan penanganan Covid-19 di Indonesia merujuk pada dua dasar hukum berbeda
termasuk dalam level pelaksanaannya yang bersifat ambiguitas. Sebut saja,
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala
Besar.

Meskipun begitu, sangat
disayangkan materi muatannya baru sebatas mengatur prosedur penetapan PSBB
melalui kewenangan pemda, gugus tugas percepatan penanganan Covid-19, dan pemerintah
pusat untuk secara bekerja sama menetapkan PSBB, yaitu dengan prosedur yang
diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 21 Tahun 2020. Sedangkan pengaturan mengenai
teknis pelaksanaan tindakan pemerintah yang seharusnya diatur justru tidak
diatur. Adapula Keppres No. 12/2020 tentang Penetapa Bencana Nonalam Penyebaran
Covid-19 namun peraturan ini lebih merujuk pada aspek perekonomian.

Baca Juga :  Broker Lahan Mulai Serbu Lokasi Segitiga Emas, Pejabat Juga Ada Lho

Dalam situasi pandemik
seharusnya ada pembongkaran birokrasi khususnya di wilayah kesehatan, bukan
berkutat pada prosedur yang menimbulkan kerugian pada masyarakat.

Perppu 21/2020
sebagaimana tercermin di atas adalah sebagai norma delegasi dari UU 6/2018 tidak mencerminkan kehendak asli
pendelegasian kewenangan yang diatur dalam Pasal 6, UU 6/2018.
Kebijakan penanganan Covid-19 di Indonesia hendaknya
dilakukan secara asimetris dengan menetapkan pola karantina yang berbeda pada
masing-masing wilayah dan daerah. Dengan mengacu pada tahapan penanganan
Covid-19 yang diatur dalam UU 6/2018, yang terdiri dari karantina rumah,
karantina wilayah, karantina rumah sakit, dan pembatasan sosial berskala besar.
Hal ini didasari atas adanya perbedaan skala wabah, kemampuan, letak geografis,
kondisi ekonomi pada masing-masing daerah (Muh.Saleh: 2020).

Secara
sosiologis pola penanganan Covid-19 di Indonesia mengacu UU 6/2018 telah
dilakukan secara bertahap dimulai dengan karantina rumah dan karantina rumah
sakit. Namun tindakan tersebut belum memiliki petunjuk teknis penanganan dan
dasar hukum yang seharusnya telah ditetapkan dalam peraturan pemerintah
masing-masing daerah.

Baca Juga :  Pembangunan Infrastruktur Akan Terus Dijalankan

 

Urgensi Pimpinan Daerah

Mengingat bencana
kesehatan Covid-19 ini sudah terindikasi penyebaran di wilayah transmisi lokal,
maka akses keluar masuk antar wilayah lainnya harus diperhatikan dan diketatkan
agar tidak menyebar lebih luas. Hal ini membuat pintu masuk tiap daerah menjadi
perhatian khusus walaupun terdapat ambiguitas dalam aturan hukum yang diberikan
pemerintah pusat.

Penulis memberikan
apresiasi sebesar-besarnya bertolak pada kebijakan pimpinan daerah di beberapa
wilayah Indonesia, berinisiatif menembus prosedur birokrasi dalam penanganan Covid-10.
Sebut saja, pemberlakuan lockdown antara
lain Pemkot Solo, Bali, Papua, Maluku, dan Tegal memberikan bentuk pengarahan
tersendiri dalam upaya penyelesaian Covid-19 dengan skala dan aturan yang
berbeda-beda.

Di sisi
lain, wilayah Kalimantan Tengah
berdasarkan Keputusan Gubernur Kalimantan
Tengah Nomor 188.44/104./2020 juga memperpanjang tenggat waktu darurat sampai
dengan 25 Juni 2020.

Gubernur Provinsi
Kalimantan Tengah juga telah menyodorkan dana sejumlah Rp9 miliar dalam rangka
penyelesaian Covid-19. Kebijakan yang bersifat responsive inilah yang dibutuhkan masyarakat. Sebagai wujud
pertanggungjawaban utamanya pimpinan wilayah bertanggung jawab atas konstituen
yakni rakyat yang memilihnya di wilayah tersebut. Bukan sebaliknya,
mengakomodir pengaturan yang tidak berdampak pada masyarakat.

 

         

*Mahasiswa Magister Hukum

Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia

Founder Perantau
Berkarya Kalimantan Tengah

Terpopuler

Artikel Terbaru