31.9 C
Jakarta
Monday, December 23, 2024

Beradu Cepat Melawan Covid-19

DUNIA sedang beradu cepat. Kali ini bukan
untuk saling sikut antar negara dalam meraih medali terbanyak di ajang
Olimpiade, tapi memutus mata rantai penyebaran virus corona baru yang pada
Sabtu (4/4), telah menghilangkan 56.985 nyawa penduduk dunia.

Jumlah kematian itu terjadi hanya dalam waktu
104 hari setelah Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO)
mengumumkan keberadaan sumber penyakit yang penyebaran pertama kalinya terjadi
di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China.

Jika dirata-rata 548 orang kehilangan nyawa
dalam satu hari, atau 23 jiwa penduduk dunia melayang hanya dalam waktu satu
jam saja.

Pada hari ke-104 setelah WHO mengumumkan
penyebaran virus corona baru penyebab penyakit COVID-19 tersebut. Bonaire, Sint
Eustatius dan Saba yang merupakan kepulauan dan teritori spesial dari Kerajaan
Belanda yang berlokasi di Laut Karibia menjadi wilayah baru yang terjangkit
COVID-19.

Dengan demikian penyebaran penyakit telah
terjadi di 177 negara dan 31 teritori di dunia.

Sementara di Indonesia, sejak kasus positif
COVID-19 pertama di Depok diumumkan sebagai Kasus 1 dan Kasus 2 pada 2 Maret
2020, jumlah meninggal dunia mencapai 191 jiwa dan 2.092 orang positif
terjangkit. Jika dirata-rata setiap hari ada 61 penambahan kasus baru dan lima
meninggal dunia pada 4 April.

Kecepatan SARS-CoV-2 menginfeksi manusia itu
diakui ilmuwan dunia mengalahkan virus sebelumnya, Middle East Respiratory
Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).

Ibarat kata, virus corona baru tersebut
sedang menguji coba teknologi 5G yang diprediksi memiliki kecepatan sekitar
800Gbps, atau seratus kali lebih cepat dari kecepatan generasi sebelumnya, 4G.

Pertanyaannya saat ini,
bagaimana mengalahkan virus yang melesat cepat tersebut?

Serang balik virus

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom
Ghebreyesus menyerukan negara-negara di dunia untuk menyerang balik virus
corona baru atau SARS-CoV-2 yang telah membuat 1.051.635 orang di dunia
terjangkit COVID-19 pada Sabtu (4/4).

Tedros meyakini dengan menyerang virus dengan
langkah-langkah agresif dan komprehensif akan lebih cepat mengakhiri pembatasan
sosial dan mengurangi dampak ekonomi negara.

“Temukan, tes, isolasi dan sembuhkan setiap
kasus, lacak setiap kontak,” ujar Tedros menjelaskan gerak cepat yang harus
dilakukan setiap negara yang menangani kasus per kasus COVID-19.

Ia menegaskan jika negara-negara di dunia
terburu-buru atau terlalu cepat mencabut pembatasan sosial, virus dapat muncul
kembali dan dampak ekonomi bahkan bisa lebih parah dan berkepanjangan.

Baca Juga :  KIP: Pengungkapan Identitas Pasien Korona Bisa Langgar Hak-Hak Pribadi

Tedros meminta semua negara bisa memastikan
pendanaan untuk memutus mata rantai virus dipenuhi. Penemuan kasus baru, tes
COVID-19, pelacakan kontak, pengumpulan data, dan kampanye komunikasi dan
informasi publik tidak boleh terputus, karena semua itu inti dari cara
menyerang balik sumber penyakit tersebut.

Ia juga meminta agar setiap negara bersama
mitra memperkuat fondasi sistem kesehatan. Artinya, semua petugas kesehatan
harus dibayar gajinya, dan pastikan pendanaan tersedia untuk membeli pasokan
alat medis.

Tedros menyerukan semua negara menghilangkan
hambatan finansial demi mengurus pandemi COVID-19. Jika ada yang menunda atau
melepas tangan karena persoalan finansial, mereka tidak hanya membahayakan diri
sendiri tetapi juga membuat pandemi menjadi lebih sulit untuk dikendalikan dan
membuat masyarakat menjadi semakin berisiko terkena.

Ia menyebut beberapa negara menangguhkan
biaya layanan kesehatan dan menyediakan pengujian dan perawatan gratis untuk
penanganan COVID-19, terlepas dari persoalan asuransi seseorang,
kewarganegaraan, atau status tempat tinggal.

“Kami mendorong langkah-langkah tersebut. Ini
kondisi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang menuntut respons yang
juga belum pernah dilakukan sebelumnya,” ujar Tedros.

Kecepatan daerah

Guna menindaklanjuti penetapan kedaruratan
kesehatan masyarakat menghadapi COVID-19 dan penerapan Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) oleh Presiden Joko Widodo pada 31 Maret 2020, maka pada
Jumat (3/4), Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengeluarkan Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan
Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19.

Namun, Permenkes yang menjadi petunjuk teknis
(juknis) pelaksanaan PSBB sebagaimana Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun
2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan
Penanganan COVID-19 tersebut disambut beragam oleh mereka di daerah.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo
mengatakan segera melakukan percepatan dalam penanganan COVID-19 di provinsinya
setelah keluarnya PP tentang PSBB dan Keputusan Presiden (Keppres) tentang
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat tersebut.

“Apa yang sudah kami siapkan kemarin,
sekarang sudah terpayungi. Tugas kami selanjutnya adalah mengakselerasi ini
agar bisa segera dieksekusi,” katanya.

Ganjar menjelaskan, akselerasi penanganan
COVID-19 di Jawa Tengah (Jateng) akan fokus pada sisi kesehatan, ekonomi, dan
jaring pengamanan sosial.

Baca Juga :  Info Terkini soal Kondisi Ustaz Yusuf Mansur

“Saya harap kawan-kawan di Pemprov bisa
cepat melakukan aksi. APBD-nya dikoreksi, refocusing, relokasi, dan realokasi
anggaran dipercepat untuk mendukung tiga sektor utama itu,” ujar dia.

Dirinya merasa lega dengan telah
ditetapkannya aturan dari pemerintah pusat dalam penanganan COVID-19 karena hal
itu dapat membantu pemerintah daerah untuk segera melakukan tindakan di daerah
masing-masing.

Namun, mengenai pembatasan wilayah di Jateng,
Ganjar menerangkan perlu menghitung secara teliti berdasarkan fakta, serta data
di lapangan agar bisa menyejukkan masyarakat. Selain itu masyarakat perlu
dilibatkan agar mereka tidak panik.

Menurut Ganjar, pembatasan wilayah dapat
digunakan dengan basis yang paling mudah, yakni daerah yang ada pasien positif,
maka rumah sakit tempat mereka dirawat serta tempat tinggal dapat dibatasi.

Sementara, menurut ahli epidemiologi dari
Universitas Andalas Defriman Djafri Ph.D, syarat pengumpulan data termasuk
peningkatan kejadian transmisi lokal untuk mengajukan PSBB seperti yang
tercantum dalam pasal 4 Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 tersebut tentu bisa
memberatkan daerah karena punya keterbatasan ahli epidemiologi.

“Pertanyaannya adalah siapa yang mampu
memberikan penjelasan data peningkatan jumlah kasus dan kejadian transmisi
lokal ini?” kata dia.

Salah satu akar masalah dari pasal 4 pada
Peraturan Menteri Kesehatan tersebut adalah belum tentu semua provinsi,
kabupaten maupun kota di Tanah Air memiliki ahli epidemiologi yang bisa
menjelaskannya.

Seharusnya itu semua disiapkan dinas
kesehatan di daerah, kata dia. Namun, mungkin karena adanya keterbatasan
pemahaman serta kekurangan tenaga epidemiologi untuk bisa memprediksi itu, maka
menjadi suatu kendala bagi daerah dalam mengajukan PSBB ke pemerintah pusat.

“Saya menyarankan agar pemerintah daerah
segera bekerja sama dengan akademisi atau profesi epidemiologi yang bisa
memberikan bukti atau data ke kepala daerah,” kata Dekan Fakultas
Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Andalas tersebut.

Sudah lima hari semenjak Presiden Joko Widodo
mengumumkan Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19. Belum
diketahui daerah mana sudah mengajukan dan bagaimana PSBB akan dilaksanakan di
daerah.

Kemampuan dan kecepatan masing-masing daerah
berbeda-beda dalam menyiapkan permohonan penetapan PSBB ke Menteri Kesehatan
menjadi kekhawatiran tersendiri di daerah. Pada saat yang sama, virus corona
baru tidak pandang bulu, menyebar hingga ke pelosok dunia dengan cepat. 

DUNIA sedang beradu cepat. Kali ini bukan
untuk saling sikut antar negara dalam meraih medali terbanyak di ajang
Olimpiade, tapi memutus mata rantai penyebaran virus corona baru yang pada
Sabtu (4/4), telah menghilangkan 56.985 nyawa penduduk dunia.

Jumlah kematian itu terjadi hanya dalam waktu
104 hari setelah Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO)
mengumumkan keberadaan sumber penyakit yang penyebaran pertama kalinya terjadi
di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China.

Jika dirata-rata 548 orang kehilangan nyawa
dalam satu hari, atau 23 jiwa penduduk dunia melayang hanya dalam waktu satu
jam saja.

Pada hari ke-104 setelah WHO mengumumkan
penyebaran virus corona baru penyebab penyakit COVID-19 tersebut. Bonaire, Sint
Eustatius dan Saba yang merupakan kepulauan dan teritori spesial dari Kerajaan
Belanda yang berlokasi di Laut Karibia menjadi wilayah baru yang terjangkit
COVID-19.

Dengan demikian penyebaran penyakit telah
terjadi di 177 negara dan 31 teritori di dunia.

Sementara di Indonesia, sejak kasus positif
COVID-19 pertama di Depok diumumkan sebagai Kasus 1 dan Kasus 2 pada 2 Maret
2020, jumlah meninggal dunia mencapai 191 jiwa dan 2.092 orang positif
terjangkit. Jika dirata-rata setiap hari ada 61 penambahan kasus baru dan lima
meninggal dunia pada 4 April.

Kecepatan SARS-CoV-2 menginfeksi manusia itu
diakui ilmuwan dunia mengalahkan virus sebelumnya, Middle East Respiratory
Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).

Ibarat kata, virus corona baru tersebut
sedang menguji coba teknologi 5G yang diprediksi memiliki kecepatan sekitar
800Gbps, atau seratus kali lebih cepat dari kecepatan generasi sebelumnya, 4G.

Pertanyaannya saat ini,
bagaimana mengalahkan virus yang melesat cepat tersebut?

Serang balik virus

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom
Ghebreyesus menyerukan negara-negara di dunia untuk menyerang balik virus
corona baru atau SARS-CoV-2 yang telah membuat 1.051.635 orang di dunia
terjangkit COVID-19 pada Sabtu (4/4).

Tedros meyakini dengan menyerang virus dengan
langkah-langkah agresif dan komprehensif akan lebih cepat mengakhiri pembatasan
sosial dan mengurangi dampak ekonomi negara.

“Temukan, tes, isolasi dan sembuhkan setiap
kasus, lacak setiap kontak,” ujar Tedros menjelaskan gerak cepat yang harus
dilakukan setiap negara yang menangani kasus per kasus COVID-19.

Ia menegaskan jika negara-negara di dunia
terburu-buru atau terlalu cepat mencabut pembatasan sosial, virus dapat muncul
kembali dan dampak ekonomi bahkan bisa lebih parah dan berkepanjangan.

Baca Juga :  KIP: Pengungkapan Identitas Pasien Korona Bisa Langgar Hak-Hak Pribadi

Tedros meminta semua negara bisa memastikan
pendanaan untuk memutus mata rantai virus dipenuhi. Penemuan kasus baru, tes
COVID-19, pelacakan kontak, pengumpulan data, dan kampanye komunikasi dan
informasi publik tidak boleh terputus, karena semua itu inti dari cara
menyerang balik sumber penyakit tersebut.

Ia juga meminta agar setiap negara bersama
mitra memperkuat fondasi sistem kesehatan. Artinya, semua petugas kesehatan
harus dibayar gajinya, dan pastikan pendanaan tersedia untuk membeli pasokan
alat medis.

Tedros menyerukan semua negara menghilangkan
hambatan finansial demi mengurus pandemi COVID-19. Jika ada yang menunda atau
melepas tangan karena persoalan finansial, mereka tidak hanya membahayakan diri
sendiri tetapi juga membuat pandemi menjadi lebih sulit untuk dikendalikan dan
membuat masyarakat menjadi semakin berisiko terkena.

Ia menyebut beberapa negara menangguhkan
biaya layanan kesehatan dan menyediakan pengujian dan perawatan gratis untuk
penanganan COVID-19, terlepas dari persoalan asuransi seseorang,
kewarganegaraan, atau status tempat tinggal.

“Kami mendorong langkah-langkah tersebut. Ini
kondisi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang menuntut respons yang
juga belum pernah dilakukan sebelumnya,” ujar Tedros.

Kecepatan daerah

Guna menindaklanjuti penetapan kedaruratan
kesehatan masyarakat menghadapi COVID-19 dan penerapan Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) oleh Presiden Joko Widodo pada 31 Maret 2020, maka pada
Jumat (3/4), Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengeluarkan Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan
Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19.

Namun, Permenkes yang menjadi petunjuk teknis
(juknis) pelaksanaan PSBB sebagaimana Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun
2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan
Penanganan COVID-19 tersebut disambut beragam oleh mereka di daerah.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo
mengatakan segera melakukan percepatan dalam penanganan COVID-19 di provinsinya
setelah keluarnya PP tentang PSBB dan Keputusan Presiden (Keppres) tentang
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat tersebut.

“Apa yang sudah kami siapkan kemarin,
sekarang sudah terpayungi. Tugas kami selanjutnya adalah mengakselerasi ini
agar bisa segera dieksekusi,” katanya.

Ganjar menjelaskan, akselerasi penanganan
COVID-19 di Jawa Tengah (Jateng) akan fokus pada sisi kesehatan, ekonomi, dan
jaring pengamanan sosial.

Baca Juga :  Info Terkini soal Kondisi Ustaz Yusuf Mansur

“Saya harap kawan-kawan di Pemprov bisa
cepat melakukan aksi. APBD-nya dikoreksi, refocusing, relokasi, dan realokasi
anggaran dipercepat untuk mendukung tiga sektor utama itu,” ujar dia.

Dirinya merasa lega dengan telah
ditetapkannya aturan dari pemerintah pusat dalam penanganan COVID-19 karena hal
itu dapat membantu pemerintah daerah untuk segera melakukan tindakan di daerah
masing-masing.

Namun, mengenai pembatasan wilayah di Jateng,
Ganjar menerangkan perlu menghitung secara teliti berdasarkan fakta, serta data
di lapangan agar bisa menyejukkan masyarakat. Selain itu masyarakat perlu
dilibatkan agar mereka tidak panik.

Menurut Ganjar, pembatasan wilayah dapat
digunakan dengan basis yang paling mudah, yakni daerah yang ada pasien positif,
maka rumah sakit tempat mereka dirawat serta tempat tinggal dapat dibatasi.

Sementara, menurut ahli epidemiologi dari
Universitas Andalas Defriman Djafri Ph.D, syarat pengumpulan data termasuk
peningkatan kejadian transmisi lokal untuk mengajukan PSBB seperti yang
tercantum dalam pasal 4 Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 tersebut tentu bisa
memberatkan daerah karena punya keterbatasan ahli epidemiologi.

“Pertanyaannya adalah siapa yang mampu
memberikan penjelasan data peningkatan jumlah kasus dan kejadian transmisi
lokal ini?” kata dia.

Salah satu akar masalah dari pasal 4 pada
Peraturan Menteri Kesehatan tersebut adalah belum tentu semua provinsi,
kabupaten maupun kota di Tanah Air memiliki ahli epidemiologi yang bisa
menjelaskannya.

Seharusnya itu semua disiapkan dinas
kesehatan di daerah, kata dia. Namun, mungkin karena adanya keterbatasan
pemahaman serta kekurangan tenaga epidemiologi untuk bisa memprediksi itu, maka
menjadi suatu kendala bagi daerah dalam mengajukan PSBB ke pemerintah pusat.

“Saya menyarankan agar pemerintah daerah
segera bekerja sama dengan akademisi atau profesi epidemiologi yang bisa
memberikan bukti atau data ke kepala daerah,” kata Dekan Fakultas
Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Andalas tersebut.

Sudah lima hari semenjak Presiden Joko Widodo
mengumumkan Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19. Belum
diketahui daerah mana sudah mengajukan dan bagaimana PSBB akan dilaksanakan di
daerah.

Kemampuan dan kecepatan masing-masing daerah
berbeda-beda dalam menyiapkan permohonan penetapan PSBB ke Menteri Kesehatan
menjadi kekhawatiran tersendiri di daerah. Pada saat yang sama, virus corona
baru tidak pandang bulu, menyebar hingga ke pelosok dunia dengan cepat. 

Terpopuler

Artikel Terbaru