33.1 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

MPR: Sampai Kapan pun Pancasila Bukan Musuh Agama

Sejak kelahirannya Pancasila tidak pernah bermusuhan dengan
agama-agama yang hidup dan berkembang di Indonesia. Pernyataan itu ditegaskan
oleh Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah.

Bahkan, lanjut politikus PDIP itu, sebagai dasar dan ideologi
negara, Pancasila merupakan sinergi dan sintesis antara agama dan nasionalisme.
Karena itu, sangat salah apabila ada pihak yang menyebut musuh terbesar
Pancasila adalah agama.

“Saya tidak sependapat dengan pernyataan Pancasila musuh Agama,”
tegas Basarah saat menanggapi pernyataan Kepala Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila (BPIP) Prof. Yudian Wahyudi, yang menyatakan bahwa musuh terbesar
Pancasila adalah agama.

Basarah menduga kuat bahwa pernyataan Prof. Yudian bukan merujuk
pada agama, tetapi menunjuk pada “kelompok-kelompok yang membawa agama” yang
dalam semangat perjuangan politiknya ingin mereduksi Pancasila.

Namun, karena pernyataan tersebut sudah beredar luas di
masyarakat dan dikhawatirkan menimbulkan salah paham bahwa Pancasila
bertentangan dengan agama, maka menjadi tugas bersama untuk menjernihkan
kesalahpahaman bahwa Pancasila bertentangan dengan agama.

“Dalam Pancasila justru terkandung nilai-nilai agama-agama dan
Ketuhanan yang hidup di Indonesia,” paparnya.

Menurut Wakil Ketua MPR Bidang Sosialisasi 4 Pilar MPR RI ini,
apa yang harus ditekankan saat ini adalah bahwa kelima sila yang terkandung
dalam Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama apapun
agamanya, bahkan dalam batas-batas tertentu kelima sila itu justru menjadi
peneguh dari ajaran agama-agama dan nilai-nilai Ketuhanan yang diakui di
Indonesia.

“Mari kita rujuk pada sejarah pembentukan Pancasila oleh para
pendiri bangsa. Bung Karno sebagai anggota sidang BPUPK, dalam pidato 1 Juni
1945 tentang Pancasila senantiasa mengikutsertakan nilai-nilai Ketuhanan,
termasuk saat menggali sila-sila Pancasila itu sejak awal,” ujarnya.

Baca Juga :  Hari Ini Rekor Kedatangan Jamaah di Makkah

Doktor bidang hukum dari Univeristas Diponegoro Semarang ini
mengajak semua pihak untuk merujuk kembali literatur pemikiran Bung Karno dan
pendiri bangsa lainnya dalam berbagai dimensi, mulai dari ideologi, sosial,
politik, ekonomi, hingga kebudayaan yang kesemuanya membuktikan tidak pernah
melepaskan dimensi pemikirannya dari unsur-unsur Ketuhanan.

“Karena itu, tak mungkin Pancasila jauh dari dimensi nilai-nilai
Ketuhanan, apalagi dipersepsikan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama,”
paparnya.

Jejak sejarah bahwa Bung Karno juga membuktikan Islam dan
nasionalisme bisa ditemukan dalam rankaian pembentukan Pancasila ketika atas
inisiatifnya sendiri, Presiden Pertama Republik Indonesia itu mengubah Panitia
Delapan menjadi Panitia Sembilan yang kemudian melahirkan naskah Piagam Jakarta
tanggal 22 Juni 1945.

Dari peristiwa pembentukan Panitia Sembilan tersebut terlihat
jelas penghormatan Bung Karno terhadap kepentingan golongan Islam dan selalu
ingin menjadi jembatan serta menjaga harmoni dan persatuan antara Golongan
Islam dan Golongan Kebangsaan.

“Piagam Jakarta itu justru pada awalnya lahir atas inisiatif
pribadi Bung Karno membentuk Panitia Sembilan,” katanya.

Saat hendak disahkan pada 18 Agustus 1945, lanjut Basarah,
perubahan rumusan sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam
bagi para pemeluk-pemeluknya” di dalam Piagam Jakarta dan berubah menjadi
“Ketuhanan Yang Maha Esa” justru terjadi akibat hasil ijitihad dan persetujuan
para alim ulama bersama para tokoh pendiri negara lainnya. Kesepakatan itu demi
mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan persatuan Indonesia.

Baca Juga :  Oesman Sapta Odang Pusing Lihat Istrinya Mengomel, Uring-uringan

Akhirnya, dengan disepakatinya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”
sebagai dasar pertama negara Indonesia merdeka, jadilah di satu sisi Indonesia
sebuah negara yang bukan negara agama (atau negara satu agama), tapi di sisi
lain juga bukan negara sekuler yang menyingkirkan sama sekali nilai-nilai agama
dan Ketuhanan dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Saya berharap, dengan penjelasan historis ini menjadi semakin
jelas bahwa Pancasila dan agama tidaklah bertentangan. Pancasila sebagai dasar
dan ideologi negara merupakan konsensus final yang disepakati para pendiri
bangsa bersama para alim ulama dan tokoh-tokoh agama lainnya serta tokoh-tokoh
kebangsaan yang telah bersepakat Pancasila sebagai kalimatunsawa atau titik
temu di antara berbagai macam kemajemukan bangsa Indonesia,” tandas Dosen
Universitas Islam Malang (UNISMA) itu.

Dengan demikian, Basarah melanjutkan, jika usai sidang BPUPK
sejumlah tokoh Islam baik dari unsur Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah
serta tokoh-tokoh nasional lainnya sudah menerima Pancasila sebagai dasar dan
ideologi negara, mestinya polemik yang membenturkan Pancasila dengan agama tak
boleh lagi terjadi.

“Dalam konteks inilah mengapa organisasi Islam NU pada
Muktamarnya di Situbondo tahun 1984 menerima dan menegaskan Pancasila sebagai
dasar negara yang bersifat final, sedang Muhammadiyah menyebut Negara Pancasila
sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah dalam Muktamar ke-47 di Makassar, Sulawesi
Selatan tahun 2015 lalu sebagai penegasan kembali komitmen kebangsaannya.

“Demikian juga dengan orma-ormas keagamaan lainnya, semuanya
telah menerima Pancasila sebagai pegangan kehidupan berbangsa dan bernegara
kita,” tandas Basarah.(jpc)

Sejak kelahirannya Pancasila tidak pernah bermusuhan dengan
agama-agama yang hidup dan berkembang di Indonesia. Pernyataan itu ditegaskan
oleh Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah.

Bahkan, lanjut politikus PDIP itu, sebagai dasar dan ideologi
negara, Pancasila merupakan sinergi dan sintesis antara agama dan nasionalisme.
Karena itu, sangat salah apabila ada pihak yang menyebut musuh terbesar
Pancasila adalah agama.

“Saya tidak sependapat dengan pernyataan Pancasila musuh Agama,”
tegas Basarah saat menanggapi pernyataan Kepala Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila (BPIP) Prof. Yudian Wahyudi, yang menyatakan bahwa musuh terbesar
Pancasila adalah agama.

Basarah menduga kuat bahwa pernyataan Prof. Yudian bukan merujuk
pada agama, tetapi menunjuk pada “kelompok-kelompok yang membawa agama” yang
dalam semangat perjuangan politiknya ingin mereduksi Pancasila.

Namun, karena pernyataan tersebut sudah beredar luas di
masyarakat dan dikhawatirkan menimbulkan salah paham bahwa Pancasila
bertentangan dengan agama, maka menjadi tugas bersama untuk menjernihkan
kesalahpahaman bahwa Pancasila bertentangan dengan agama.

“Dalam Pancasila justru terkandung nilai-nilai agama-agama dan
Ketuhanan yang hidup di Indonesia,” paparnya.

Menurut Wakil Ketua MPR Bidang Sosialisasi 4 Pilar MPR RI ini,
apa yang harus ditekankan saat ini adalah bahwa kelima sila yang terkandung
dalam Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama apapun
agamanya, bahkan dalam batas-batas tertentu kelima sila itu justru menjadi
peneguh dari ajaran agama-agama dan nilai-nilai Ketuhanan yang diakui di
Indonesia.

“Mari kita rujuk pada sejarah pembentukan Pancasila oleh para
pendiri bangsa. Bung Karno sebagai anggota sidang BPUPK, dalam pidato 1 Juni
1945 tentang Pancasila senantiasa mengikutsertakan nilai-nilai Ketuhanan,
termasuk saat menggali sila-sila Pancasila itu sejak awal,” ujarnya.

Baca Juga :  Hari Ini Rekor Kedatangan Jamaah di Makkah

Doktor bidang hukum dari Univeristas Diponegoro Semarang ini
mengajak semua pihak untuk merujuk kembali literatur pemikiran Bung Karno dan
pendiri bangsa lainnya dalam berbagai dimensi, mulai dari ideologi, sosial,
politik, ekonomi, hingga kebudayaan yang kesemuanya membuktikan tidak pernah
melepaskan dimensi pemikirannya dari unsur-unsur Ketuhanan.

“Karena itu, tak mungkin Pancasila jauh dari dimensi nilai-nilai
Ketuhanan, apalagi dipersepsikan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama,”
paparnya.

Jejak sejarah bahwa Bung Karno juga membuktikan Islam dan
nasionalisme bisa ditemukan dalam rankaian pembentukan Pancasila ketika atas
inisiatifnya sendiri, Presiden Pertama Republik Indonesia itu mengubah Panitia
Delapan menjadi Panitia Sembilan yang kemudian melahirkan naskah Piagam Jakarta
tanggal 22 Juni 1945.

Dari peristiwa pembentukan Panitia Sembilan tersebut terlihat
jelas penghormatan Bung Karno terhadap kepentingan golongan Islam dan selalu
ingin menjadi jembatan serta menjaga harmoni dan persatuan antara Golongan
Islam dan Golongan Kebangsaan.

“Piagam Jakarta itu justru pada awalnya lahir atas inisiatif
pribadi Bung Karno membentuk Panitia Sembilan,” katanya.

Saat hendak disahkan pada 18 Agustus 1945, lanjut Basarah,
perubahan rumusan sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam
bagi para pemeluk-pemeluknya” di dalam Piagam Jakarta dan berubah menjadi
“Ketuhanan Yang Maha Esa” justru terjadi akibat hasil ijitihad dan persetujuan
para alim ulama bersama para tokoh pendiri negara lainnya. Kesepakatan itu demi
mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan persatuan Indonesia.

Baca Juga :  Oesman Sapta Odang Pusing Lihat Istrinya Mengomel, Uring-uringan

Akhirnya, dengan disepakatinya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”
sebagai dasar pertama negara Indonesia merdeka, jadilah di satu sisi Indonesia
sebuah negara yang bukan negara agama (atau negara satu agama), tapi di sisi
lain juga bukan negara sekuler yang menyingkirkan sama sekali nilai-nilai agama
dan Ketuhanan dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Saya berharap, dengan penjelasan historis ini menjadi semakin
jelas bahwa Pancasila dan agama tidaklah bertentangan. Pancasila sebagai dasar
dan ideologi negara merupakan konsensus final yang disepakati para pendiri
bangsa bersama para alim ulama dan tokoh-tokoh agama lainnya serta tokoh-tokoh
kebangsaan yang telah bersepakat Pancasila sebagai kalimatunsawa atau titik
temu di antara berbagai macam kemajemukan bangsa Indonesia,” tandas Dosen
Universitas Islam Malang (UNISMA) itu.

Dengan demikian, Basarah melanjutkan, jika usai sidang BPUPK
sejumlah tokoh Islam baik dari unsur Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah
serta tokoh-tokoh nasional lainnya sudah menerima Pancasila sebagai dasar dan
ideologi negara, mestinya polemik yang membenturkan Pancasila dengan agama tak
boleh lagi terjadi.

“Dalam konteks inilah mengapa organisasi Islam NU pada
Muktamarnya di Situbondo tahun 1984 menerima dan menegaskan Pancasila sebagai
dasar negara yang bersifat final, sedang Muhammadiyah menyebut Negara Pancasila
sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah dalam Muktamar ke-47 di Makassar, Sulawesi
Selatan tahun 2015 lalu sebagai penegasan kembali komitmen kebangsaannya.

“Demikian juga dengan orma-ormas keagamaan lainnya, semuanya
telah menerima Pancasila sebagai pegangan kehidupan berbangsa dan bernegara
kita,” tandas Basarah.(jpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru