Sebagian
masyarakat Dayak Kalteng memulai manugal (menanam padi) di ladang pada bulan November. Lokasinya pun berpindah-pindah
saban tahunnya. Dibersihkan dengan cara dibakar. Kearifan lokal yang telah
diturunkan oleh nenek moyang ini terus mereka jaga, meski ancaman jeruji
penjara di depan mata.
YUNIZAR PRAJAMUFTI, Muara Teweh
JAM dinding pada
salah satu penginapan di Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara (Batara) menunjukkan
pukul 05.47 WIB. Saya (penulis) bersama Denar (fotografer) dan wartawan Kalteng
Pos di Muara Teweh, Fadli Herija, sudah bersiap-siap menuju Kelurahan Jambu,
Kecamatan Teweh Tengah. Jaraknya 12 kilometer dari pusat kota. Pagi itu,
pertengahan bulan November lalu, cuaca cukup cerah. Langit biru menyapa.
Membuat hati sedikit lega. Tak akan turun hujan, seperti yang kami khawatirkan.
Dengan mengendarai
sepeda motor, kami menuju rumah Riduan Syah, yang pada hari itu akan melakukan
manugal atau menanam padi. Hal yang rutin dilakukannya saban tahun setelah
musim panas berakhir. Di Batara, awal November lalu sudah mulai memasuki musim
penghujan.
Manugal sudah menjadi
tradisi yang dipegang teguh keluarga besarnya. Tak pernah dilewati setiap tahun,
meski masyarakat lokal sudah jarang melakukannya. Apalagi adanya larangan dari
pemerintah bagi masyarakat untuk membuka lahan dengan cara membakar. Sebab,
kala musim kemarau tiba, tak jarang kebakaran hutan dan lahan (karhutla)
melanda.
Sesampai di rumah
Riduan Syah, kami mendapat sambutan hangat. Pria berusia 54 tahun itu sudah
menunggu di teras rumah berkonstruksi kayu. Mobil pikap yang terparkir di
halaman rumah, sudah terisi segala keperluan untuk proses manugal. Ada kompor, galon
berisi air putih, parang, karung berisi beras, camilan, benih padi, dan peralatan
manugal.
Kami akan bersiap
menuju ladang yang ditempuh melalui jalur darat dan air. Untuk menumpangi transportasi
air, kami harus menuju dermaga kecil di Desa Liang Naga. Jaraknya sekitar 13
kilometer dari rumah Riduan Syah.
Saya memilih berbagi
tempat di atas bak pikap, bersama Riduan Syah dan tiga orang keponakan yang
masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP).
Anton, anak kedua Riduan Syah, menjadi pengemudi (sopir). Di depan, Anton
ditemani Wardah (tantenya) dan Arbayati (adik ipar Riduan Syah). Sementara,
Denar dan Fadli memilih mengendarai sepeda motor. Total ada 10 orang.
“Ayo kita berangkat
sekarang,†seru Riduan Syah.
Selama perjalanan, saya
berpegang erat pada pembatas pikap yang terbuat dari kayu. Sesekali menjaga keseimbangan
tatkala mobil melewati jalan berkelok dan berlubang. Bersabar menahan rasa
sakit pada pantat yang berkali-kali terantuk lantai bak ketika roda melewati
jalan yang tak mulus. Ketika pantat sudah merasakan dampak jalan berlubang,
kepala pun harus bisa bergerak cepat agar selamat dari ancaman ranting pohon
yang menjulur ke badan jalan.
Setiba di Desa Liang
Naga, Anton memarkirkan pikap di lahan kosong milik warga setempat. Barang-
barang yang tersusun di atas bak pikap dipindahkan ke kelotok (perahu kecil)
yang sudah siap di bibir Sungai Tewah. Sanak saudara Riduan Syah yang berdomisili
di desa itu pun bergabung. Jumlah kami pun bertambah menjadi 19 orang. Terdiri
atas 5 orang anak dan 14 orang dewasa. Dua kelotok digunakan.
Perjalanan melawan arus
sungai membutuhkan waktu sekitar 30 menit.
10 menit pertama, tak
ada masalah. Perjalanan lancar tanpa halangan. Pepohonan yang rindang
membentang di atas sungai yang memiliki lebar sekitar 12 meter itu. Tiba-tiba,
kelotok mengalami masalah. Mesin ces berdaya 9 HP (Horsepower) tak berfungsi. Sebagai
motoris, Anton langsung mengarahkan kemudi manual berbentuk kayu panjang ke
sisi kiri. Sembilan orang yang berada di dalam kelotok itu memilih tak banyak
bergerak, sebelum kelotok benar-benar menepi.
“Saya cek dahulu. Kita
ke pinggir (menepi),†ucap Anton sembari berganti meraih dayung dan mengayuhnya.
Anton dan Fadli yang kebetulan berada dekat sang motoris pun bersama-sama
mengecek kondisi mesin. Dengan bertelanjang dada, Fadli menceburkan diri ke air
yang tampak berwarna kecokelat-cokelatan itu. Mengecek hal yang membuat mesin
tak mampu mengeluarkan daya dorong. Tak lama berselang, penyebab pun dikethui. Ternyata
poros roda terlepas. Setelah diutak-atik, akhirnya suara mesin kembali berbunyi.
“Lanjut lagi,†ucap Fadli
yang tampak basah kuyup.
Kami pun melanjutkan
perjalanan hingga bersandar di dermaga kecil (orang di sana menyebutnya batang
kayu). Deretan pohon nyiur terlihat di sepanjang garis sungai. Daunnya
melambai-lambai dipermainkan angin.
Dua batang pohon dengan
total panjang 11 meter direbahkan, dijadikan sebagai pijakan agar kami bisa naik
ke permukaan tanah yang letaknya lebih tinggi dari sungai. Sebagai wujud
kebersamaan, kami pun saling berbagi dalam membawa barang bawaan. Ketika kaki
menyentuh tanah, hati pun merasa lega.
“Ini lokasi kami
manugal,†ucap Riduan Syah kepada kami.
Riduan Syah dan
keluarga langsung menyiapkan keperluan manugal. Menyiapkan benih padi dan kayu
panjang untuk membuat lubang. Tak kalah pentingnya, menyiapkan bahan serta
peralatan untuk memasak nasi dan lauk. Di lahan itu, tampak jelas banyak pohon bertumbangan.
Ada yang utuh. Ada pula yang telah menjadi arang. Menurut Riduan Syah, lahan seluas
dua hektare ini dibakar pada bulan Juni lalu.
Hingga pertengahan
November lalu, manugal di lahan setara 20.000 meter persegi (m2) itu sudah
dilakukan sebanyak tiga kali.
“Ini yang keempat atau
terakhir,†kata bapak yang dikaruniai lima orang anak itu.
“Tidak langsung dua
hektare lahan ditanami padi, tapi bertahap agar tidak kewalahan. Sebagian sudah
mulai ditumbuhi daun padi muda,†tambahnya sambil menunjuk daun hijau muda yang
tumbuh di antara pepohonan yang tumbang.
Seiring dengan matahari
yang mulai beranjak naik, manugal pun dimulai. Sebagian dari mereka, baik
perempuan maupun laki-laki, mengolesi pipi dan tangan dengan pupur basah.
Tujuannya agar sengatan matahari tak langsung mengenai kulit.
Mereka berbagi tugas. Empat
orang membuat lubang dengan kayu panjang yang meruncing, termasuk Riduan Syah
dan Anton. Mereka berada pada barisan depan. Delapan orang lain mengikuti langkah
mereka sembari menyemai benih padi di lubang yang sudah dibuat.
“Berapa biji pak per
lubang?†tanya saya yang mendapat bagian menyemai benih padi.
“Terserah. Enggak ada
hitungannya,†jawab Riduan Syah. Saya pun mencoba menengok ke kiri dan kanan,
ingin memastikan berapa benih yang mereka semaikan. Ternyata setiap lubang tak lebih dari 10 benih
padi.
Manugal ini tidak hanya
sekadar gotong royong, tapi juga mempererat silaturahmi antarkeluarga.
“Yang jauh mesti ikut.
Harus meluangkan waktu. Yang kecil-kecil bisa saling mengenal, seperti lima
anak yang ikut ini,†sambung Anton (anak kedua Riduan Syah).
Bagi mereka, momen berkumpulnya
keluarga saat Hari Raya Idulfitri tidak selengkap ketika melaksanakan manugal.
“Kalau lebaran, pada pisah-pisah. Ada yang ke tempat mertua, saudara istri, atau
suami yang ada di luar daerah. Kalau manugal ini, semuanya ngumpul. Setiap
orang meluangkan waktunya untuk ikut. Biasanya hari liburlah yang dipilih untuk
manugal,†beber pria kelahiran 1991 dan berprofesi sebagai asisten dosen di
salah satu perguruan tinggi swasta di Muara Teweh itu.
Hasil panen manugal ini
tak semuanya dijual. Menanam secara bersama-sama, hasilnya pun akan dinikmati
bersama. Digunakan untuk konsumsi sehari-hari dan sebagai persediaan untuk setahun
ke depan. Keluarga besar pun mendapatkan bagian alias jatah.
Lahan ini, sebut pria
yang ditinggal mendiang istri sejak tujuh tahun lalu, tidak bisa ditanami untuk
kedua kalinya. Hanya bisa sekali. Jika dipaksa, hasilnya pun tidak bisa diharapkan.
Tanahnya tak sesubur saat awal dibukanya lahan itu.
“Ini kali ketiga lahan
ini ditanami padi. Pertama tahun 1974, kedua tahun 1993, dan terakhir tahun
2019 ini,†beber ayah dari Roni (33), Anton (28), Indra (21), Sukmarani (14),
dan Endang (11) ini.
Usai panen, mereka akan
berpindah ke lahan lainnya yang tidak produktif. Misalnya, kebun karet yang
tidak menghasilkan lagi. Di tempat itulah mereka akan menebang, membakar, lalu
ditanami padi.
“Setelah panen pada Mei
atau Juni 2020, lahan ini akan kami tanam sengon. Mau coba peruntungan lain.
Karet sudah tidak bisa diandalkan. Harganya terlalu murah,†sambung Riduan Syah
sambil mengayunkan kayu dari atas ke bawah untuk membuat lubang.
Saya, Denar, dan Fadli
berulang kali berhenti. Menghela napas. Berteduh di pondok kayu yang didirikan.
Merebahkan tubuh yang sudah berpeluh-peluh. Karena tak terbiasa membungkuk
sambil menyemai benih, membuat tulang belakang terasa sakit. Ditambah lagi sengatan
matahari yang begitu terasa.
Menjelang tengah hari, manugal
dihentikan. Waktunya beristirahat. Hidangan makan siang telah siap. Semua
berkumpul di antara dua pondok kecil. Duduk beralaskan tikar dan terpal. Tepat
di bawah pohon durian yang rindang. Semua masakan disajikan. Makan siang kami disiapkan
oleh Sekretaris Desa Liang Naga Suhardi bersama istrinya Susanti. Nasi, lauk,
sayur, dan sambal mangga sebagai pelengkap. Ikan patin menjadi lauk kami siang
itu. Sebagian digoreng, dibakar, dan sebagian lagi dimasak berkuah. Sayurnya
terung bakar dan oseng daun pepaya.
Saking lapar, semua
makan dengan lahap. Sampai-sampai sang fotografer pun terlihat beberapa kali
menambah nasi.
“Enak banget. Sambal
mangga mudanya mantap dan nagih,†ucap Denar.
Mendengar itu, sekdes
dan istrinya pun tersenyum simpul.
“Ayo nambah lagi,â€
timpal Anton.
Setelah makan siang, tepatnya
pukul 12.30 WIB, manugal dilanjutkan hingga sore hari. (ce/ram)