27.5 C
Jakarta
Friday, May 9, 2025

Ali Tazkiapreneur

Dari
India saya langsung ke Batu, Malang.

Harusnya
lima tahun lalu saya ke situ. Tapi baru hari Minggu kemarin terkabul.

“Pak
Dahlan, akhirnya sekolah ini belum pernah diresmikan,” ujar Ali Wahyudi.

Saya
merasa mendapat teguran keras –dengan cara halus.

Kini
sudah telat untuk diresmikan. Sudah telanjur maju, besar, modern, dan megah.
“Mungkin ini bisa tumbuh cepat justru karena tidak pernah
diresmikan,” gurau saya.

Madrasah
saya pun sudah kalah. Telak. Nama Tazkia kini identik dengan sekolah Islam yang
modern dan bermutu.

Padahal
baru didirikan tahun 2013 lalu.

Kampusnya
sudah dua lokasi: putri dan putra. Masing-masing dengan dua gedung. Empat
lantai. Yang arsitekturnya sangat modern, terbuka.

Lokasinya
di kota wisata Batu, tetangga Malang.

Ini
sekaligus pertama kali saya ke Malang –lewat jalan tol baru. Cepat sekali.
Satu setengah jam sudah sampai Batu.

Ini juga
berarti Batu sudah punya dua sekolah Islam yang luar biasa. Satunya lagi Al
Izza –yang saya juga pernah meninjaunya.

Bahkan
pendiri Tazkia ini, Ali Wahyudi, dulunya juga Al Izza. Pendiri Al Izza adalah
empat orang profesor dan seorang Ali Wahyudi. Ali ikut pula menjadi
pimpinannya. Selama 4 tahun.

Batu
sudah berubah –juga di bidang pendidikan. Kalau dulu hanya dikenal sebagai
pusat pengkajian Kristen, kini juga pusat pendidikan Islam.

Dulu, di
Batu, di bidang pendidikan, selalu hanya dikenal dengan tiga ‘i’ –Institut
Injil Indonesia. Terkenal di seluruh Indonesia. Baik fasilitas, kemegahan
gedungnya, mutunya, maupun pendetanya –Pendeta Petrus Octavianus yang terkenal
dengan buku-bukunya itu.

Pendeta
tesohor sejagad, Stephen Tong, juga dari sini. Lihatlah video-video khotbahnya
–sangat memikat.

Saya dua
kali ke Institut Injil Indonesia Batu. Terakhir saat pendeta se-Indonesia
kumpul di situ.

Al Izza,
dan lalu Tazkia, ikut membentuk wajah baru Batu. Bukan lagi hanya kota wisata.
Tapi juga kota pendidikan.

Murid
Tazkia, misalnya, dari seluruh Indonesia. Banyak juga yang dari Thailand,
Kamboja, Vietnam, dan Malaysia. Beberapa dari Australia –keturunan Indonesia.

Demikian
juga Al Izza dan Institut Injil Indonesia.

Tentu
juga sudah banyak sekolah Islam dengan kualitas mirip Tazkia. Di seluruh
Indonesia. Beberapa sudah saya lihat sendiri. Dan sudah saya tulis di DI’s Way.

Baca Juga :  Berani Keliaran Tak Gunakan Masker, Gepeng dan PKL Ya Diamankan Satpol

Amanatul
Ummah di daerah wisata Pacet, Mojokerto, adalah juga sekolah bermutu yang
kecepatan perkembangannya seperti Bouraq.

Ini bisa
disebut era baru pendidikan Islam. Setelah era pondok pesantren salaf dan
sistem madrasah.

Era baru
itu sekaligus bisa diartikan era sekolah mahal.

Meski
‘hanya’ SMP dan SMA Tazkia memiliki tujuh guru bergelar doktor. Termasuk
lulusan Jepang dan Al Azhar Mesir. Bahkan satu gurunya didatangkan dari Sudan.
Untuk SMA jurusan Ulama.

Di salah
satu banner motonya
memang tertulis ‘Takzia: SMA rasa Universitas’.

SMA
Takzia punya lima jurusan: Ulama, Enterpreneur, Sciencepreneur, jurusan CEO dan
profesional manajer.

“Banyak
orang tua murid yang pengusaha. Jangan sampai gara-gara anaknya sekolah di
pesantren tidak mampu meneruskan usaha orang tua,” ujar Ali Wahyudi.

Tokoh
kita ini orang Madura –maksud saya: dari pedesaan luar kota Pamekasan.

Ali
Wahyudi dari keluarga Nahdlatul Ulama. Ia lulusan SMAN di kotanya. Merangkap
belajar agama di pondok setempat.

Dari
Pamekasan ia masuk fakultas ekonomi jurusan manajemen Universitas Muhammadiyah
Malang –universitas terbesar di lingkungan Muhammadiyah, yang umumnya
besar-besar itu.

Ayahanda
Ali Wahyudi petani. Ibunya yang pengusaha: toko mracangan di desanya.

Tokoh
kita dari Madura ini bisa menangkap fenomena baru di masyarakat –khususnya
masyarakat Islam. Yang ekonomi mereka sudah sangat baik. Yang jumlahnya sudah
sangat besar. Yang menginginkan anak mereka lebih baik lagi.

Anak dari
kelompok ini sudah biasa hidup di rumah bagus. Dengan fasilitas bagus. Dengan
makan yang bergizi.

Kelompok
ini juga kian sulit mendidik anak mereka sendiri –karena sibuk. Tapi mereka
juga tidak mau anak mereka tidak paham agama.

Ali
Wahyudi mencatat baik-baik fenomena baru itu. “Pertanyaan pertama orang
tua yang datang ke sini adalah: bagaimana makan anak saya nanti,” ujar Ali
Wahyudi. “Bukan lagi soal bagaimana kurikulumnya,” tambahnya.

Pertanyaan
kedua adalah kualitas kamar dan tempat tidurnya. Di mana kamar mandinya.
Seperti apa kebersihannya.

Saya
melihat kamar tidur di Tazkia. Satu kamar berisi empat tempat tidur bertingkat.
Tapi kamarnya luas sekali. Seandainya boleh pingpong di kamar itu, jarak antar
tempat tidur itu bisa untuk dua meja pingpong. Kamar mandinya pun di dalam
kamar itu.

Baca Juga :  Bupati Minta Langkah Tegas Bagi Pendatang

Anak yang
sekolah di situ sudah tidak bisa lagi seperti saya dulu: kamarnya sempit,
tidurnya di lantai plester tanpa tikar, kamar mandinya di luar ramai-ramai dan
harus masak sendiri.

Sekolah
ini punya dapur khusus. Dengan peralatan modern. Seperti di restoran besar.
Letak dapurnya pun di depan: dengan kaca lebar –agar terlihat dari luar
tingkat kebersihannya.

Plaza
makan siswa sama baiknya dengan fasilitas sekolah bermutu di negara maju.

Tidak ada
ruang kelas dalam pengertian kelas model sekolah lama. Model kelasnya sama
dengan di negara maju.

Yang
tidak mungkin kalah dari sekolah lain adalah: alam pegunungan Batu-nya.

Dan
fasilitas olahraganya: sangat luas. Termasuk untuk olahraga berkuda. Saat saya
ke Tazkia Minggu kemarin lagi ada dua murid yang berlatih olahraga berkuda.

“Kami
punya enam kuda,” ujar Ali Wahyudi.

Berarti
guru di sekolah ini banyak sekali. “Guru kami lebih dari 300 orang,”
ujar Ali Wahyudi.

Untuk itu
Tazkia bekerja sama dengan real estate terdekat.
Guru diminta membeli rumah di situ. Dengan keringanan dari Takzia.

“Gaji
baik saja tidak cukup untuk mengikat guru yang baik,” ujar Ali Wahyudi.
“Tapi kalau rumahnya sudah di sini mereka tidak pindah-pindah lagi,”
tambahnya.

Saat saya
berdialog dengan seluruh siswa di ruang besarnya, empat orang anak berani
bicara dalam bahasa Inggris dengan sangat baiknya.

Yang satu
lagi dengan bahasa Arab –masih malu-malu.

Saat
meninjau hasil prakarya para siswa penunggu stand itu semua memberi penjelasan
dalam bahasa Inggris yang sangat lancar.

Kini kian
banyak sekolah Islam seperti Tazkia. Kian banyak juga yang tidak mengikatkan
diri pada NU atau Muhammadiyah. Atau aliran yang lain.

“Apakah
ini tidak terlalu komersial?” tanya saya.

“Kami
alokasikan 10 persen siswa untuk anak yatim,” ujar Ali Wahyudi. “Yang
tahu mereka yatim atau bukan hanya manajemen. Guru tidak tahu,” tambahnya.

Era Baru
telah datang –agak terlambat. Masa depan bangsa terlihat cerah –kalau kian
banyak lagi yang seperti ini.(Dahlan Iskan)

Dari
India saya langsung ke Batu, Malang.

Harusnya
lima tahun lalu saya ke situ. Tapi baru hari Minggu kemarin terkabul.

“Pak
Dahlan, akhirnya sekolah ini belum pernah diresmikan,” ujar Ali Wahyudi.

Saya
merasa mendapat teguran keras –dengan cara halus.

Kini
sudah telat untuk diresmikan. Sudah telanjur maju, besar, modern, dan megah.
“Mungkin ini bisa tumbuh cepat justru karena tidak pernah
diresmikan,” gurau saya.

Madrasah
saya pun sudah kalah. Telak. Nama Tazkia kini identik dengan sekolah Islam yang
modern dan bermutu.

Padahal
baru didirikan tahun 2013 lalu.

Kampusnya
sudah dua lokasi: putri dan putra. Masing-masing dengan dua gedung. Empat
lantai. Yang arsitekturnya sangat modern, terbuka.

Lokasinya
di kota wisata Batu, tetangga Malang.

Ini
sekaligus pertama kali saya ke Malang –lewat jalan tol baru. Cepat sekali.
Satu setengah jam sudah sampai Batu.

Ini juga
berarti Batu sudah punya dua sekolah Islam yang luar biasa. Satunya lagi Al
Izza –yang saya juga pernah meninjaunya.

Bahkan
pendiri Tazkia ini, Ali Wahyudi, dulunya juga Al Izza. Pendiri Al Izza adalah
empat orang profesor dan seorang Ali Wahyudi. Ali ikut pula menjadi
pimpinannya. Selama 4 tahun.

Batu
sudah berubah –juga di bidang pendidikan. Kalau dulu hanya dikenal sebagai
pusat pengkajian Kristen, kini juga pusat pendidikan Islam.

Dulu, di
Batu, di bidang pendidikan, selalu hanya dikenal dengan tiga ‘i’ –Institut
Injil Indonesia. Terkenal di seluruh Indonesia. Baik fasilitas, kemegahan
gedungnya, mutunya, maupun pendetanya –Pendeta Petrus Octavianus yang terkenal
dengan buku-bukunya itu.

Pendeta
tesohor sejagad, Stephen Tong, juga dari sini. Lihatlah video-video khotbahnya
–sangat memikat.

Saya dua
kali ke Institut Injil Indonesia Batu. Terakhir saat pendeta se-Indonesia
kumpul di situ.

Al Izza,
dan lalu Tazkia, ikut membentuk wajah baru Batu. Bukan lagi hanya kota wisata.
Tapi juga kota pendidikan.

Murid
Tazkia, misalnya, dari seluruh Indonesia. Banyak juga yang dari Thailand,
Kamboja, Vietnam, dan Malaysia. Beberapa dari Australia –keturunan Indonesia.

Demikian
juga Al Izza dan Institut Injil Indonesia.

Tentu
juga sudah banyak sekolah Islam dengan kualitas mirip Tazkia. Di seluruh
Indonesia. Beberapa sudah saya lihat sendiri. Dan sudah saya tulis di DI’s Way.

Baca Juga :  Berani Keliaran Tak Gunakan Masker, Gepeng dan PKL Ya Diamankan Satpol

Amanatul
Ummah di daerah wisata Pacet, Mojokerto, adalah juga sekolah bermutu yang
kecepatan perkembangannya seperti Bouraq.

Ini bisa
disebut era baru pendidikan Islam. Setelah era pondok pesantren salaf dan
sistem madrasah.

Era baru
itu sekaligus bisa diartikan era sekolah mahal.

Meski
‘hanya’ SMP dan SMA Tazkia memiliki tujuh guru bergelar doktor. Termasuk
lulusan Jepang dan Al Azhar Mesir. Bahkan satu gurunya didatangkan dari Sudan.
Untuk SMA jurusan Ulama.

Di salah
satu banner motonya
memang tertulis ‘Takzia: SMA rasa Universitas’.

SMA
Takzia punya lima jurusan: Ulama, Enterpreneur, Sciencepreneur, jurusan CEO dan
profesional manajer.

“Banyak
orang tua murid yang pengusaha. Jangan sampai gara-gara anaknya sekolah di
pesantren tidak mampu meneruskan usaha orang tua,” ujar Ali Wahyudi.

Tokoh
kita ini orang Madura –maksud saya: dari pedesaan luar kota Pamekasan.

Ali
Wahyudi dari keluarga Nahdlatul Ulama. Ia lulusan SMAN di kotanya. Merangkap
belajar agama di pondok setempat.

Dari
Pamekasan ia masuk fakultas ekonomi jurusan manajemen Universitas Muhammadiyah
Malang –universitas terbesar di lingkungan Muhammadiyah, yang umumnya
besar-besar itu.

Ayahanda
Ali Wahyudi petani. Ibunya yang pengusaha: toko mracangan di desanya.

Tokoh
kita dari Madura ini bisa menangkap fenomena baru di masyarakat –khususnya
masyarakat Islam. Yang ekonomi mereka sudah sangat baik. Yang jumlahnya sudah
sangat besar. Yang menginginkan anak mereka lebih baik lagi.

Anak dari
kelompok ini sudah biasa hidup di rumah bagus. Dengan fasilitas bagus. Dengan
makan yang bergizi.

Kelompok
ini juga kian sulit mendidik anak mereka sendiri –karena sibuk. Tapi mereka
juga tidak mau anak mereka tidak paham agama.

Ali
Wahyudi mencatat baik-baik fenomena baru itu. “Pertanyaan pertama orang
tua yang datang ke sini adalah: bagaimana makan anak saya nanti,” ujar Ali
Wahyudi. “Bukan lagi soal bagaimana kurikulumnya,” tambahnya.

Pertanyaan
kedua adalah kualitas kamar dan tempat tidurnya. Di mana kamar mandinya.
Seperti apa kebersihannya.

Saya
melihat kamar tidur di Tazkia. Satu kamar berisi empat tempat tidur bertingkat.
Tapi kamarnya luas sekali. Seandainya boleh pingpong di kamar itu, jarak antar
tempat tidur itu bisa untuk dua meja pingpong. Kamar mandinya pun di dalam
kamar itu.

Baca Juga :  Bupati Minta Langkah Tegas Bagi Pendatang

Anak yang
sekolah di situ sudah tidak bisa lagi seperti saya dulu: kamarnya sempit,
tidurnya di lantai plester tanpa tikar, kamar mandinya di luar ramai-ramai dan
harus masak sendiri.

Sekolah
ini punya dapur khusus. Dengan peralatan modern. Seperti di restoran besar.
Letak dapurnya pun di depan: dengan kaca lebar –agar terlihat dari luar
tingkat kebersihannya.

Plaza
makan siswa sama baiknya dengan fasilitas sekolah bermutu di negara maju.

Tidak ada
ruang kelas dalam pengertian kelas model sekolah lama. Model kelasnya sama
dengan di negara maju.

Yang
tidak mungkin kalah dari sekolah lain adalah: alam pegunungan Batu-nya.

Dan
fasilitas olahraganya: sangat luas. Termasuk untuk olahraga berkuda. Saat saya
ke Tazkia Minggu kemarin lagi ada dua murid yang berlatih olahraga berkuda.

“Kami
punya enam kuda,” ujar Ali Wahyudi.

Berarti
guru di sekolah ini banyak sekali. “Guru kami lebih dari 300 orang,”
ujar Ali Wahyudi.

Untuk itu
Tazkia bekerja sama dengan real estate terdekat.
Guru diminta membeli rumah di situ. Dengan keringanan dari Takzia.

“Gaji
baik saja tidak cukup untuk mengikat guru yang baik,” ujar Ali Wahyudi.
“Tapi kalau rumahnya sudah di sini mereka tidak pindah-pindah lagi,”
tambahnya.

Saat saya
berdialog dengan seluruh siswa di ruang besarnya, empat orang anak berani
bicara dalam bahasa Inggris dengan sangat baiknya.

Yang satu
lagi dengan bahasa Arab –masih malu-malu.

Saat
meninjau hasil prakarya para siswa penunggu stand itu semua memberi penjelasan
dalam bahasa Inggris yang sangat lancar.

Kini kian
banyak sekolah Islam seperti Tazkia. Kian banyak juga yang tidak mengikatkan
diri pada NU atau Muhammadiyah. Atau aliran yang lain.

“Apakah
ini tidak terlalu komersial?” tanya saya.

“Kami
alokasikan 10 persen siswa untuk anak yatim,” ujar Ali Wahyudi. “Yang
tahu mereka yatim atau bukan hanya manajemen. Guru tidak tahu,” tambahnya.

Era Baru
telah datang –agak terlambat. Masa depan bangsa terlihat cerah –kalau kian
banyak lagi yang seperti ini.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru