Harusnya Djaduk Ferianto menjalani operasi jantung. Hari-hari
kemarin. Dokter sudah mengharuskan jantungnya harus dipasangi ring.
Tapi Sabtu lusa akan ada perhelatan musik di Jogja: Ngayogjazz.
Yang lagi diusahakan menjadi legendaris itu. Yang Djaduk memegang peran sentral
di dalamnya.
Hanya lima hari sebelum konser itu, Rabu dini hari kemarin
–Anda sudah tahu– jantung Djaduk berhenti. Djaduk meninggal dunia. Di
rumahnya: Singosaren Jogja. Di tempat tidurnya: di sebelah istrinya.
Sang istri terbangun menjelang jam 3 pagi itu. Suaminya mengeluh
nyeri dada. Sesak nafas. Tidak sempat dibawa ke rumah sakit. Mendadak meninggal
dunia. Di usianya yang baru 55 tahun.
Dokter yang dipanggil memang datang. Tapi tidak keburu.
Kakak-kakak Djaduk yang di Jogja juga dihubungi. Rumah mereka berdekatan. Semua
bergegas ke rumah Djaduk –juga sudah terlambat.
Kakak perempuannya yang di Jakarta pun ditelepon. Hanya bisa
menangis. Hanya satu dari tujuh anak maestro Bagong Kussudiardja yang tinggal
di Jakarta: Rondang Ciptasari.
Rondang bergegas mencari tiket pesawat. Dapat Batik Air jam
9.30. Bersama putri bungsu Butet Kartarajasa: Galuh Pascamagma. Yang lahir
setelah Gunung Merapi meletus. Yang kini bekerja di Djarum Fondation
Jakarta.
Saya bertemu mereka di ruang tunggu bandara Halim Perdanakusuma
Jakarta. Terlihat juga banyak seniman di ruang tunggu itu. Yang juga akan
melayat ke Jogja. Salah satunya Cak Lontong.
Rondang tidak henti-hentinya menangis. Demikian juga
Galuh.
“Kapan terakhir bertemu Djaduk?” tanya saya.
“Ketemu terakhir di video call. Dua
minggu lalu,” ujar Rondang –dalam bahasa Batak berarti bulan.
Dia seorang penari. Seperti kakak sulungnya yang sudah
almarhumah.
Adik-adiknya seniman semua – -menurun dari ayahanda
mereka: Bagong Kussudiardja.
Djaduk menjadi musisi terkemuka. Butet menjadi raja teater
Indonesia. Adiknya lagi ahli di gamelan Jawa.
Tapi mereka semua juga mewarisi ‘bakat’ sang ayah yang
lain: sakit gula darah. Yang bisa merembet ke mana-mana. Termasuk ke jantung.
Apalagi Djaduk perokok berat. Lebih-lebih lagi Butet.
Dan Djaduk tidak berhasil menyelaraskan berat badannya.
Sampai melewati angka 100 kg. Pun irama makannya: seperti jazz – -banyak
improvisasi.
Butet yang kelihatan berhasil menurunkan berat badannya. Saya
lihat dari fotonya.
Dua tahun yang lalu pun Djaduk sudah tahu: gula darahnya sudah
mengganggu jantungnya. Anak-anak maestro Bagong ini kenal baik Dokter Terawan.
Yang mayor jenderal itu. Yang kini menjadi menteri kesehatan itu.
Dua tahun lalu Djaduk bertemu dokter Terawan. Ia bersedia dirayu
menjalani ‘cuci otak’ –metode kontroversial yang jadi trade mark dokter
Terawan. Saat itulah dokter mengatakan jantung Djaduk sudah mulai bermasalah.
Maka sekalian saja pembuluh darah di jantungnya juga ‘dicuci’.
Saya sendiri dua kali menjalani ‘cuci otak’ di dokter Terawan.
Yakni saat masih menjadi sesuatu enam tahun yang lalu. Tapi saya belum pernah
merasakan ‘cuci jantung’ –waktu itu belum berkembang ke sana.
Djaduk –seperti juga Butet– hidupnya memang sangat seniman.
Sepertinya di dunia ini tidak ada yang lebih penting dari seni.
“Pasang ringnya setelah Ngayogjazz saja,” ujar Djaduk.
Keluhan-keluhan sesak diatasi dengan kerokan dulu. “Djaduk
suka sekali dikeroki,” ujar Rondang –yang suka menggendok Djaduk di saat
kecil dulu.
Begitu pun Butet: seni mengalahkan kesehatannya. Jantungnya
sudah dipasangi ring. Satu.
Biar pun begitu jantung itu tidak menghalanginya pentas.
Bahkan di pentas Para Pensiunan dilakoninya sambil berpacu
dengan jantungnya. Sesekali detak jantungnya sampai berhenti.
Setiap habis tampil Butet harus terduduk. Di belakang panggung.
Lalu tidak ingat apa-apa. Tiba-tiba terbangun. Hanya untuk bertanya: apakah
sudah waktunya adegan yang harus diperankannya?
Butet bisa muncul lagi di panggung. Habis itu terduduk lagi di
belakang panggung. Pingsan lagi. Bangun. Bertanya lagi: sudah giliran saya
tampil?
Malam itu anak bungsu Butet yang cantik itu sampai menjaga
bapaknya di belakang panggung. Di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Sampai
selesai.
“Saya langsung ajak bapak ke rumah sakit,” ujar
Galuh –si bungsu Butet.
Butet masih tidak mau.
“Ini lho, Pa. Tengkuk Papa keringat dingin,”
ujar si cantik.
“Tapi pulang ke hotel dulu ya,” ujar Butet
menawar.
“Tidak. Kita langsung ke St Carolus,” ujar Galuh
yang lulusan akutansi Universitas Atmajaya Jakarta.
Sampai di RS Butet menolak dilakukan rekam jantung. Minta
disuntik saja. Sang putri ngotot harus rekam jantung –dengan janji langsung
pulang setelah itu.
Tapi dokter melarangnya pulang. Hasil rekam jantungnya jelek.
Butet harus dipasangi ring. Bahkan empat.
“Jangan didramatisir begitulah dok,” ujar Butet pada
dokternya.
Butet –dan Djaduk– memang juga raja humor. Kemampuan mereka
berhumor luar biasa. Termasuk menjadikan diri mereka sendiri sebagai bahan
humor.
Sejak malam itu Galuh menunggui bapaknya di RS. Selama tiga
hari. Sambil menunggu ibunya datang dari Jogja.
Galuh nangis terus antara lain ingat itu: setiap jam Djaduk
menelepon Galuh. Djaduk terus menanyakan perkembangan jantung Butet.
Kini justru jantung Djaduk yang tidak tertolong.
Akhirnya bukan hanya Butet yang kehilangan Djaduk. Juga kita
semua. Bangsa seniman Indonesia. Juga istrinya. Juga lima anaknya –yang nama
depan mereka istemewa semua: Presiden, Gusti, Ratu, Nyaribunyi dan Rajane.
Keluarga yang di ruang tunggu itu nangis lagi. Kali ini karena
ada pengumuman pesawat Batiknya akan delay 1,5 jam.
Mereka pun berharap masih sempat ikut misa. Yang dilaksanakan di
padepokan Bagong Kussudiardja. Yang hanya sekitar 500 meter dari rumah mereka.
Saya pun tidak bisa ketemu Djaduk lagi.
Sudah setahun saya tidak bertemu Djaduk. Juga tidak bertemu
Butet. Bahkan sudah dua tahun tidak pernah melihat pementasan mereka –akibat
kesibukan yang sia-sia itu.
Begitu banyak saya tertinggal –belum menonton tiga lakon
terakhir mereka. Saya berniat akan menonton lagi bulan depan. Ketika Butet akan
pentas di Surabaya. Dengan lakon Para Pensiunan. Meski kali itu nanti tanpa
Djaduk lagi.
Setidaknya saya masih bisa bertemu Djaduk lewat ciptaan musiknya
–yang mengiringi pentas itu nanti.(Dahlan Iskan)