34.1 C
Jakarta
Tuesday, April 30, 2024

Menunggu Sentuhan Nadiem

KEPASTIAN Nadiem Makarim
bakal ditunjuk oleh Jokowi sebagai menteri yang mengurusi pendidikan nasional,
mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, saya dapat dari seorang kolega
di Jakarta beberapa hari sebelum pelantikan. “Hampir pasti, Mas,” kata kolega
saya.

Pada 23 Oktober 2019, Nadiem
betul-betul dilantik sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, menggantikan
dua pendahulunya sekaligus: Muhadjir Effendy dan Mohammad Nasir. Karena
terdapat nomenklatur baru, Nadiem menjadi menteri yang mengurus pendidikan dasar,
menengah, dan juga pendidikan tinggi.

Nadiem alih-alih representasi,
bahkan bisa dibilang ikon generasi langgas yang darinya segala bentuk disrupsi
muncul dan mengancam para petahana dari generasi lama. Generasi langgas lahir
saat ekosistem digital menguat sehingga mereka layak disebut sebagai warga
pribumi digital atau digital native, yang membedakan dengan generasi
sebelumnya yang lazim disebut dengan kaum migran digital (digital immigrant).
Thomas L Friedman, dalam salah satu bukunya, The World Is Flat, antara
lain membahas perkembangan globalisasi yang pada tahapan sekarang disebut
globalisasi 3.0.

Aktor globalisasi gelombang
ketiga, kata Friedman, mulai memberikan tempat kepada individu yang pada
globalisasi 2.0 didominasi peran korporasi, sedangkan pada globalisasi 1.0
lebih banyak diaktori negara lewat praktik kolonialisme. Indonesia, misalnya,
telah menjadi sasaran globalisasi 1.0 karena sejak abad ke-16 telah menjadi
area jajahan bangsa Eropa. Melompat ke globalisasi 3.0, individu yang menguasai
teknologi informasi, bisa memasuki ceruk pasar tertentu (individuals find
niches in global market).

Nadiem, di samping lahir pada
tahun-tahun yang sering dijadikan patokan periodisasi munculnya generasi
langgas yang langsung tune in dengan beraneka ragam teknologi
informasi (TI), yang tidak kalah pentingnya lagi, memiliki riwayat pendidikan
bisnis dari kampus yang memiliki brand ternama. School Business
Harvard.

Gabungan dari semua itu,
Nadiem tampil seperti dalam legenda Yunani The Touch of Midas. Dengan
sentuhannya ala Midas, Nadiem mengubah secara radikal cara orang pada mulanya
dalam bertransportasi, tetapi kemudian merambah kepada pernik-pernik kehidupan
lainnya hanya dengan satu aplikasi bernama Gojek. Dapatkah Nadiem mengubah
wajah pendidikan dalam tempo sesingkat-singkatnya seperti pesulap yang bisa
mengubah wujud suatu benda? “Simsalabim Nadiem” seperti headlineJawa
Pos (24/10).

Baca Juga :  Sasar Kaum Milenial, BKKBN Kenalkan KB, Tekan Angka Pernikahan Dini

Rupanya, Nadiem sudah
menemukan salah satu akar permasalahan dan instrumen pemecahannya. Dikutip oleh
berbagai media, Nadiem menyebut dengan begitu optimistis, teknologi menjadi
instrumen yang diandalkan untuk memecahkan permasalahan pendidikan. Kita
belum tahu cerak biru pendekatan teknologis yang bakal digunakan Nadiem
terhadap pendidikan. Tetapi, respons kritis terhadap pendekatan teknologisnya
yang bakal dipilih mulai bermunculan. Misalnya, apakah Nadiem akan mempercepat
digitalisasi pendidikan yang bakal menjadi satu paket dengan pengembangan
pembelajaran secara daring.

Pengembangan tersebut dengan
sendirinya mengubah tradisi yang sudah lama mengakar dalam dunia pendidikan
kita. Guru pasti terdisrupsi, dari yang semula menjadi sumber ilmu pengetahuan,
tergantikan oleh internet. Perubahan itu pelan-pelan akan menggerus cara
berinteraksi siswa dengan guru.

Jika beragam informasi ilmu
pengetahuan sudah tersedia di cloud computing dan semua ruang sudah
terkoneksi dengan internet (internet of thing), ditambah lagi segala benda di
sekitar kita dilengkapi dengan kecerdasan buatan (artificial intelligent),
pertanyaannya, ada di mana guru sekarang? Pertanyaan itu pada gilirannya akan
menyoal filosofi pendidikan.

Dalam berbagai literatur
filsafat dikemukakan, pendidikan adalah proses humanisasi, memanusiakan
manusia. Hingga pada uraian ini, penting kita mengingat Erich Fromm yang dengan
begitu lugas mengungkapkan kekhawatirannya terhadap apa yang disebut dengan
masyarakat teknologis lewat bukunya, The Revolution of Hope.

Pada bab pertama buku
tersebut, Fromm memulai dengan ungkapan provotif tentang momok baru yang
membayangi kehidupan manusia, “Momok itu bukanlah bahaya laten komunisme,
bukanlah fasisme, tetapi masyarakat yang sepenuhnya telah menjadi mesin (a
completely mechanized society) yang mendewakan produksi maksimal dan konsumsi
maksimal di bawah pumpinan komputer.”

Dalam konteks masyarakat
teknologis yang disebut Fromm, dan belakangan society 4.0 bahkan 5.0, tentu
bukan zamannya lagi kalau proses pembelajaran lebih mengandalkan resitasi dan
berpusat kepada guru atau dosen. Begitu cepatnya saat ini (maha)siswa mengakses
berbagai macam informasi sehingga beberapa aktivitas konvensional guru atau
dosen, terutama yang berkaitan dengan transfer ilmu pengetahuan, mulai
terdisrupsi.

Baca Juga :  Pemko Usulkan untuk Mendatangkan Dua Unit Helikopter

Teknologi menghadirkan suatu
realitas mendasar: realitas kecerdasan manusia yang kemudian digambarkan oleh
Yuval Noah Harari dengan konsep yang begitu ambisius, Homo deus, yang
melampaui Tuhan (outgrowing of God) seperti judul buku Richard Dawkin. Tetapi,
sebagaimana diingatkan Fromm dalam buku yang sama, betapapun kian canggihnya
intelektualitas manusia, pada diri manusia ada dimensi afeksi yang harus
diperhatikan dan tetap dirawat.

Masyarakat teknologis adalah
realitas yang tidak terhindarkan. Meski demikian, humanisasi terhadap
masyarakat teknologis, tegas Fromm, adalah niscaya agar manusia tetap dalam bingkai
kemanusiaannya. Dalam konteks pendidikan, secanggih apa pun instrumen
teknologisnya, pendidikan tidak boleh mengingkari filosofinya sebagai praksis
humanisasi (pemanusiaan). Berdasarkan pada filosofi tersebut, pendidikan
dikatakan oleh Haidar Baqir dalam Memulihkan Sekolah, Memulihkan
Manusia(2019), praksis pendidikan harus tetap terarah kepada dimensi manusia
yang terdalam, yaitu jiwa dan hati.

Pengembangan pada kompetensi
vokasional dan praktikal memang sebagai kebutuhan zaman. Namun, tidak boleh diabaikan
pengembangan kemampuan personal eksistensial yang menyentuh dimensi
spiritualitas manusia dan juga dimensi sosial. Filosofi itu pada akhirnya
mengingatkan aktivitas mendasar dalam pendidikan, yaitu karakterisasi. Konsep
tersebut bisa dipahami dengan menggunakan konsep kultivasi (cultivation) dari
Naquib al Attas, filsuf muslim Melayu, yakni penanaman nilai-nilai keadaban
untuk mewujudkan manusia yang baik (a good man). Baginya, kultivasi keadaban
adalah kulminasi pendidikan, alih-alih aktivitas yang lebih mengarah kepada
pengembangan fisik dan intelektual yang dalam nomenklatur khazanah keilmuan
Islam disebut tarbiyah. Konsep yang tepat, lanjut al Attas, bukan tarbiyah,
melainkan ta’dib (pengadaban). Filosofi itu mudah-mudahan tetap
dipahami oleh “Mas Menteri” Nadiem. (*Sosiolog, wakil rektor I Universitas
Muhammadiyah Malang (UMM).

KEPASTIAN Nadiem Makarim
bakal ditunjuk oleh Jokowi sebagai menteri yang mengurusi pendidikan nasional,
mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, saya dapat dari seorang kolega
di Jakarta beberapa hari sebelum pelantikan. “Hampir pasti, Mas,” kata kolega
saya.

Pada 23 Oktober 2019, Nadiem
betul-betul dilantik sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, menggantikan
dua pendahulunya sekaligus: Muhadjir Effendy dan Mohammad Nasir. Karena
terdapat nomenklatur baru, Nadiem menjadi menteri yang mengurus pendidikan dasar,
menengah, dan juga pendidikan tinggi.

Nadiem alih-alih representasi,
bahkan bisa dibilang ikon generasi langgas yang darinya segala bentuk disrupsi
muncul dan mengancam para petahana dari generasi lama. Generasi langgas lahir
saat ekosistem digital menguat sehingga mereka layak disebut sebagai warga
pribumi digital atau digital native, yang membedakan dengan generasi
sebelumnya yang lazim disebut dengan kaum migran digital (digital immigrant).
Thomas L Friedman, dalam salah satu bukunya, The World Is Flat, antara
lain membahas perkembangan globalisasi yang pada tahapan sekarang disebut
globalisasi 3.0.

Aktor globalisasi gelombang
ketiga, kata Friedman, mulai memberikan tempat kepada individu yang pada
globalisasi 2.0 didominasi peran korporasi, sedangkan pada globalisasi 1.0
lebih banyak diaktori negara lewat praktik kolonialisme. Indonesia, misalnya,
telah menjadi sasaran globalisasi 1.0 karena sejak abad ke-16 telah menjadi
area jajahan bangsa Eropa. Melompat ke globalisasi 3.0, individu yang menguasai
teknologi informasi, bisa memasuki ceruk pasar tertentu (individuals find
niches in global market).

Nadiem, di samping lahir pada
tahun-tahun yang sering dijadikan patokan periodisasi munculnya generasi
langgas yang langsung tune in dengan beraneka ragam teknologi
informasi (TI), yang tidak kalah pentingnya lagi, memiliki riwayat pendidikan
bisnis dari kampus yang memiliki brand ternama. School Business
Harvard.

Gabungan dari semua itu,
Nadiem tampil seperti dalam legenda Yunani The Touch of Midas. Dengan
sentuhannya ala Midas, Nadiem mengubah secara radikal cara orang pada mulanya
dalam bertransportasi, tetapi kemudian merambah kepada pernik-pernik kehidupan
lainnya hanya dengan satu aplikasi bernama Gojek. Dapatkah Nadiem mengubah
wajah pendidikan dalam tempo sesingkat-singkatnya seperti pesulap yang bisa
mengubah wujud suatu benda? “Simsalabim Nadiem” seperti headlineJawa
Pos (24/10).

Baca Juga :  Sasar Kaum Milenial, BKKBN Kenalkan KB, Tekan Angka Pernikahan Dini

Rupanya, Nadiem sudah
menemukan salah satu akar permasalahan dan instrumen pemecahannya. Dikutip oleh
berbagai media, Nadiem menyebut dengan begitu optimistis, teknologi menjadi
instrumen yang diandalkan untuk memecahkan permasalahan pendidikan. Kita
belum tahu cerak biru pendekatan teknologis yang bakal digunakan Nadiem
terhadap pendidikan. Tetapi, respons kritis terhadap pendekatan teknologisnya
yang bakal dipilih mulai bermunculan. Misalnya, apakah Nadiem akan mempercepat
digitalisasi pendidikan yang bakal menjadi satu paket dengan pengembangan
pembelajaran secara daring.

Pengembangan tersebut dengan
sendirinya mengubah tradisi yang sudah lama mengakar dalam dunia pendidikan
kita. Guru pasti terdisrupsi, dari yang semula menjadi sumber ilmu pengetahuan,
tergantikan oleh internet. Perubahan itu pelan-pelan akan menggerus cara
berinteraksi siswa dengan guru.

Jika beragam informasi ilmu
pengetahuan sudah tersedia di cloud computing dan semua ruang sudah
terkoneksi dengan internet (internet of thing), ditambah lagi segala benda di
sekitar kita dilengkapi dengan kecerdasan buatan (artificial intelligent),
pertanyaannya, ada di mana guru sekarang? Pertanyaan itu pada gilirannya akan
menyoal filosofi pendidikan.

Dalam berbagai literatur
filsafat dikemukakan, pendidikan adalah proses humanisasi, memanusiakan
manusia. Hingga pada uraian ini, penting kita mengingat Erich Fromm yang dengan
begitu lugas mengungkapkan kekhawatirannya terhadap apa yang disebut dengan
masyarakat teknologis lewat bukunya, The Revolution of Hope.

Pada bab pertama buku
tersebut, Fromm memulai dengan ungkapan provotif tentang momok baru yang
membayangi kehidupan manusia, “Momok itu bukanlah bahaya laten komunisme,
bukanlah fasisme, tetapi masyarakat yang sepenuhnya telah menjadi mesin (a
completely mechanized society) yang mendewakan produksi maksimal dan konsumsi
maksimal di bawah pumpinan komputer.”

Dalam konteks masyarakat
teknologis yang disebut Fromm, dan belakangan society 4.0 bahkan 5.0, tentu
bukan zamannya lagi kalau proses pembelajaran lebih mengandalkan resitasi dan
berpusat kepada guru atau dosen. Begitu cepatnya saat ini (maha)siswa mengakses
berbagai macam informasi sehingga beberapa aktivitas konvensional guru atau
dosen, terutama yang berkaitan dengan transfer ilmu pengetahuan, mulai
terdisrupsi.

Baca Juga :  Pemko Usulkan untuk Mendatangkan Dua Unit Helikopter

Teknologi menghadirkan suatu
realitas mendasar: realitas kecerdasan manusia yang kemudian digambarkan oleh
Yuval Noah Harari dengan konsep yang begitu ambisius, Homo deus, yang
melampaui Tuhan (outgrowing of God) seperti judul buku Richard Dawkin. Tetapi,
sebagaimana diingatkan Fromm dalam buku yang sama, betapapun kian canggihnya
intelektualitas manusia, pada diri manusia ada dimensi afeksi yang harus
diperhatikan dan tetap dirawat.

Masyarakat teknologis adalah
realitas yang tidak terhindarkan. Meski demikian, humanisasi terhadap
masyarakat teknologis, tegas Fromm, adalah niscaya agar manusia tetap dalam bingkai
kemanusiaannya. Dalam konteks pendidikan, secanggih apa pun instrumen
teknologisnya, pendidikan tidak boleh mengingkari filosofinya sebagai praksis
humanisasi (pemanusiaan). Berdasarkan pada filosofi tersebut, pendidikan
dikatakan oleh Haidar Baqir dalam Memulihkan Sekolah, Memulihkan
Manusia(2019), praksis pendidikan harus tetap terarah kepada dimensi manusia
yang terdalam, yaitu jiwa dan hati.

Pengembangan pada kompetensi
vokasional dan praktikal memang sebagai kebutuhan zaman. Namun, tidak boleh diabaikan
pengembangan kemampuan personal eksistensial yang menyentuh dimensi
spiritualitas manusia dan juga dimensi sosial. Filosofi itu pada akhirnya
mengingatkan aktivitas mendasar dalam pendidikan, yaitu karakterisasi. Konsep
tersebut bisa dipahami dengan menggunakan konsep kultivasi (cultivation) dari
Naquib al Attas, filsuf muslim Melayu, yakni penanaman nilai-nilai keadaban
untuk mewujudkan manusia yang baik (a good man). Baginya, kultivasi keadaban
adalah kulminasi pendidikan, alih-alih aktivitas yang lebih mengarah kepada
pengembangan fisik dan intelektual yang dalam nomenklatur khazanah keilmuan
Islam disebut tarbiyah. Konsep yang tepat, lanjut al Attas, bukan tarbiyah,
melainkan ta’dib (pengadaban). Filosofi itu mudah-mudahan tetap
dipahami oleh “Mas Menteri” Nadiem. (*Sosiolog, wakil rektor I Universitas
Muhammadiyah Malang (UMM).

Terpopuler

Artikel Terbaru