33.1 C
Jakarta
Sunday, November 9, 2025

Meritokrasi Ponorogo

Sayang sekali. Bupati sekelas Sugiri Sancoko di Ponorogo main-main soal suap atur jabatan anak buah. Begitu sepele. Begitu sembrono. Begitu nista.

Tentu saya kenal orang itu. Ia pernah bekerja di bagian iklan di grup media yang saya pimpin. Zaman dulu. Ia begitu merakyat. Masyarakat di sana memilihnya lagi untuk masa jabatan kedua. Ia dianggap sukses di periode pertama.

PDI-Perjuangan mencalonkannya lagi. Baru satu tahun ia dilantik untuk periode kedua. Waktunya bongkar pasang jabatan di bawahnya.

Sekenal-kenal saya dengan Sugiri ternyata tidak kenal sampai ke pedalamannya. Saya memang sempat tertarik dengan langkahnya: menghapus kendaraan dinas. Ia sendiri pakai mobil tua –di masa jabatan pertama.

Ruang kerja bupati ia ubah untuk angkringan –gaya warung di desa. Ruang kerja bupati yang mestinya feodalistis ia ubah jadi kelihatan merakyat.

Lalu ia bangun ”GWK” versi Ponorogo: Monumen dan Museum Reog Ponorogo yang amat tinggi. Orang akan bisa naik ke atasnya.

Entah dari mana idenya, lokasi menara Reog itu di desa yang sangat miskin: Sampung. Tempat kelahirannya sendiri. Nama Sampung identik dengan miskin. Makanan pokok penduduknya, kala itu, gaplek –singkong yang dikeringkan.

Baca Juga :  Setara Mati

Hasil bumi satu-satunya di Sampung adalah gamping: batu putih yang kalau dibakar bisa untuk campuran pasir –sebagai pelapis dinding bata. Tanahnya bergamping. Tandus. Tanaman sulit tumbuh.

Di bukit gamping itulah menara reog dibangun. Ia ubah gamping tandus jadi emas wisata –kalau sukses.

Tentu nasib Monumen Reog itu kini penuh tanda tanya. Ia tidak akan bisa meneruskan proyek itu. Ia ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jumat lalu.

Sekretaris daerah kabupatennya juga ditangkap. Termasuk seorang dokter yang menjabat kepala RSUD Ponorogo. Lalu tiga orang tim suksesnya. Salah satunya adik bungsu Sugiri sendiri. Ia tujuh bersaudara.

Saya tidak habis pikir mengapa Sugiri meminta bayaran untuk mengangkat pejabat di bawahnya. Itulah yang tersiar di media. Berdasar keterangan pers KPK.

Begitu biasakah minta uang seperti itu? Sampai tidak takut suatu saat akan terendus KPK? Sebegitu umumkah ”setiap jabatan” itu ada harganya?

Harga jabatan itu seperti asap. Bisa dilihat, bisa dirasakan tapi tidak bisa dipegang. Tapi asap itu membumbung tinggi. Terlihat dari mana-mana.

Baca Juga :  Alat Puruhito

Pun dulu. Bupati Nganjuk. Tiap Jumat khotbah keliling masjid. Ditangkap KPK juga. Soal yang sama. Jangan-jangan soal ini sebenarnya terjadi di mana-mana. Hanya saja ada yang bernasib sial seperti Ponorogo dan Nganjuk.

”Nasib?”

Sebenarnya juga tidak sepenuhnya nasib. Soal minta uang jabatan seperti itu pasti segera bocor secara internal. Masalahnya: tidak semua internal berani melaporkannya. Apalagi kalau laporan itu bisa dipakai untuk menjebaknya.

Aneh. Seorang bupati berani minta bayaran untuk mengangkat pejabat di bawahnya. Apakah ia begitu yakin tidak ada salah satu internal yang akan melaporkannya? Apakah ia menyangka semua orang di internalnya takut kepadanya?

Persaingan untuk memperoleh jabatan memang sangat keras. Lalu muncullah harga jabatan. Tidak semua kebagian jabatan. Lalu terjadilah hukum pasar. Jual beli jabatan.

Dengan tertangkapnya bupati Ponorogo, kita semua tahu: meritokrasi hanyalah istilah yang enak diucapkan tapi tidak bisa dilaksanakan. Ternyata yang bisa dapat jabatan adalah yang mau membayar. Bukan yang mampu.

Meritokrasi hanya ironi. (DAHLAN ISKAN)

Sayang sekali. Bupati sekelas Sugiri Sancoko di Ponorogo main-main soal suap atur jabatan anak buah. Begitu sepele. Begitu sembrono. Begitu nista.

Tentu saya kenal orang itu. Ia pernah bekerja di bagian iklan di grup media yang saya pimpin. Zaman dulu. Ia begitu merakyat. Masyarakat di sana memilihnya lagi untuk masa jabatan kedua. Ia dianggap sukses di periode pertama.

PDI-Perjuangan mencalonkannya lagi. Baru satu tahun ia dilantik untuk periode kedua. Waktunya bongkar pasang jabatan di bawahnya.

Sekenal-kenal saya dengan Sugiri ternyata tidak kenal sampai ke pedalamannya. Saya memang sempat tertarik dengan langkahnya: menghapus kendaraan dinas. Ia sendiri pakai mobil tua –di masa jabatan pertama.

Ruang kerja bupati ia ubah untuk angkringan –gaya warung di desa. Ruang kerja bupati yang mestinya feodalistis ia ubah jadi kelihatan merakyat.

Lalu ia bangun ”GWK” versi Ponorogo: Monumen dan Museum Reog Ponorogo yang amat tinggi. Orang akan bisa naik ke atasnya.

Entah dari mana idenya, lokasi menara Reog itu di desa yang sangat miskin: Sampung. Tempat kelahirannya sendiri. Nama Sampung identik dengan miskin. Makanan pokok penduduknya, kala itu, gaplek –singkong yang dikeringkan.

Baca Juga :  Setara Mati

Hasil bumi satu-satunya di Sampung adalah gamping: batu putih yang kalau dibakar bisa untuk campuran pasir –sebagai pelapis dinding bata. Tanahnya bergamping. Tandus. Tanaman sulit tumbuh.

Di bukit gamping itulah menara reog dibangun. Ia ubah gamping tandus jadi emas wisata –kalau sukses.

Tentu nasib Monumen Reog itu kini penuh tanda tanya. Ia tidak akan bisa meneruskan proyek itu. Ia ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jumat lalu.

Sekretaris daerah kabupatennya juga ditangkap. Termasuk seorang dokter yang menjabat kepala RSUD Ponorogo. Lalu tiga orang tim suksesnya. Salah satunya adik bungsu Sugiri sendiri. Ia tujuh bersaudara.

Saya tidak habis pikir mengapa Sugiri meminta bayaran untuk mengangkat pejabat di bawahnya. Itulah yang tersiar di media. Berdasar keterangan pers KPK.

Begitu biasakah minta uang seperti itu? Sampai tidak takut suatu saat akan terendus KPK? Sebegitu umumkah ”setiap jabatan” itu ada harganya?

Harga jabatan itu seperti asap. Bisa dilihat, bisa dirasakan tapi tidak bisa dipegang. Tapi asap itu membumbung tinggi. Terlihat dari mana-mana.

Baca Juga :  Alat Puruhito

Pun dulu. Bupati Nganjuk. Tiap Jumat khotbah keliling masjid. Ditangkap KPK juga. Soal yang sama. Jangan-jangan soal ini sebenarnya terjadi di mana-mana. Hanya saja ada yang bernasib sial seperti Ponorogo dan Nganjuk.

”Nasib?”

Sebenarnya juga tidak sepenuhnya nasib. Soal minta uang jabatan seperti itu pasti segera bocor secara internal. Masalahnya: tidak semua internal berani melaporkannya. Apalagi kalau laporan itu bisa dipakai untuk menjebaknya.

Aneh. Seorang bupati berani minta bayaran untuk mengangkat pejabat di bawahnya. Apakah ia begitu yakin tidak ada salah satu internal yang akan melaporkannya? Apakah ia menyangka semua orang di internalnya takut kepadanya?

Persaingan untuk memperoleh jabatan memang sangat keras. Lalu muncullah harga jabatan. Tidak semua kebagian jabatan. Lalu terjadilah hukum pasar. Jual beli jabatan.

Dengan tertangkapnya bupati Ponorogo, kita semua tahu: meritokrasi hanyalah istilah yang enak diucapkan tapi tidak bisa dilaksanakan. Ternyata yang bisa dapat jabatan adalah yang mau membayar. Bukan yang mampu.

Meritokrasi hanya ironi. (DAHLAN ISKAN)

Terpopuler

Artikel Terbaru

/