Rencana penggabungan
batas produksi sigaret keretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM)
menimbulkan pro dan kontra. Pihak yang setuju menilai penggabungan tersebut
dapat mencegah praktik oligopoli.
Pemerhati kebijakan
publik Agus Wahyudin mengatakan, kebijakan tarif cukai rokok yang berlaku saat
ini berpotensi memicu praktik oligopoli di kalangan industri hasil tembakau.
Perusahaan asing besar saat ini bisa menikmati tarif cukai rendah. Di sisi
lain, perusahaan-perusahaan rokok kecil harus bertarung langsung dengan
perusahaan asing besar itu.
“Dengan tingginya
pendapatan pemerintah dari sektor itu, kebijakan yang dikeluarkan harus tepat.
Apalagi, industri hasil tembakau merupakan industri padat karya,†jelas dia,
Senin (19/8). Karena itu, untuk mencegah praktik oligopoli, penggabungan batas
produksi SKM dan SPM mendesak untuk direalisasi.
Sebelumnya, Komisioner
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kodrat Wibowo mengatakan, praktik
oligopoli industri hasil tembakau sangat berbahaya bagi upaya pemerintah
mengurangi konsumsi rokok nasional. Sebab, perusahaan-perusahaan besar dapat
mengendalikan harga dan berbagai aktivitas pemasaran rokok di Indonesia.
“Karena itu, kebijakan
yang dibuat pemerintah tidak boleh memunculkan celah yang berpotensi
menciptakan praktik persaingan usaha tidak sehat, apalagi kartel, akibat
oligopoli,†ujarnya.
Meski setiap tahun
pemerintah cenderung menaikkan tarif cukai, beberapa kebijakan lain justru
mendukung penjualan rokok dengan harga murah. Salah satunya adalah kebijakan
diskon rokok yang memungkinkan pembeli mendapatkan harga 85 persen dari tarif
yang tercantum dalam banderol.
“Kalau makin sedikit
(jumlah perusahaan, Red), memang efisien. Tapi, persaingan akan tidak sehat,â€
tegas Kodrat.
Saat ini rata-rata
pemain asing besar memproduksi SPM dan SKM. Persoalannya, perusahaan-perusahaan
asing itu bisa memainkan batasan produksi sehingga tidak menyentuh angka tiga
miliar batang di tiap-tiap kategori agar dapat menikmati cukai dengan tarif
lebih rendah.(jpg)