Berkali-kali saya men-zoom foto itu; saya ingin melihat jenis bajunya. Baju apa yang dikenakan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy ketika bertemu lagi dengan Presiden Donald Trump –sehari setelah hari kemerdekaan Indonesia. Di Gedung Putih lagi. Di Washington.
Baju itu begitu hitamnya. Sama-sama hitamnya. Luarnya maupun baju dalamnya. Sampai mata saya tidak bisa melihat jelas jenis baju apa yang dipakai Zelenskyy itu.
Yang jelas kali ini bajunya bagus sekali. Seorang wartawan sampai menyeletukkan pujian pada cara berpakaian Zelenskyy.
“Mr Presiden, Anda tampak luar biasa dengan pakaian yang Anda kenakan itu,” kata si wartawan dari kerumunan media. Trump mendengar pujian itu. Trump pun nyeletuk: “saya juga akan mengucapkan kata-kata pujian seperti itu”.
Maka saya pun cari informasi dari media Amerika: apa yang sebenarnya dikenakan Zelenskyy. Ternyata ia pakai hem tanpa kerah. Warna hitam. Lalu pakai jas-setengah-jaket juga warna hitam. Tanpa dasi. Di jaketnya itu ada empat saku.
Satu media menyebut bahwa gaya pakaian seperti itu termasuk ke kelompok style jenderal Prancis. Bukan jas tapi sangat elegan.
Dengan pakaian seperti itu kesan yang muncul sangat istimewa: itu pakaian sipil tapi berbau militer. Sangat cocok untuk sosok presiden sipil yang lagi menjabat dalam suasana perang.
Yang jelas dengan pakaian itu Zelenskyy terasa lebih formal. Sudah berbeda dengan kedatangannya di Gedung Putih Februari lalu; hanya pakai kaus lengan panjang. Maksudnya mungkin baik. Itu untuk menunjukkan suasana prihatin di masa perang. Juga untuk menunjukkan ciri khasnya. ,
Tapi itu dinilai kurang menghormati dress code untuk masuk ke Gedung Putih.
Baju yang luar biasa kali ini membawa suasana yang juga luar biasa: Trump tidak lagi merendahkannya. Tidak mem-bully-nya. Tidak menghinanya di depan kamera.
Mungkin karena kali ini Zelenskyy sudah dianggap lebih sopan. Atau karena Zelenskyy mengawali pertemuan itu dengan menyerahkan sesuatu: surat dari istrinya yang cantik untuk Trump. Itu surat seorang ibu yang iba atas penderitaan anak-anak di masa perang.
Kalau toh Trump sedikit “mem-bully” Zelenskyy itu disampaikan dengan setengah humor. “Oh.. kalau sedang perang boleh tidak perlu ada pemilu,” seloroh Trump.
Seloroh tapi serius. Trump seperti meragukan legitimasi kepresidenan Zelenskyy –karena sudah melewati masa jabatan 1,5 tahun lalu. Zelenskyy mencoba klarifikasi bahwa konstitusi Ukraina membolehkan ditiadakannya pemilu kalau sedang dalam suasana perang. Lalu Trump menyela dengan celetukan kalimat yang dimulai dengan “Oh….” tadi.
Meski dialog di depan kamera tidak lagi menghinakan Zelenskyy tapi juga tidak menunjukkan dukungan apa-apa pada Ukraina. Terasa netral-netral saja.
Trump juga tidak terasa menekan Zelenskyy untuk menerima begitu saja keinginan Presiden Putin.
Keinginan Putin itu disampaikan ke Trump saat mereka berdua bertemu di Alaska 15 Agustus lalu.
Dua yang diinginkan Putin: Ukraina menarik diri dari provinsi Donbas. Provinsi ini praktis dikuasai Rusia –setidaknya sudah 2/3-nya. Donbas adalah provinsi kaya akan batu bara. Maka kaya juga dengan industri dasar seperti baja. Sudah banyak industri turunannya.
Rusia menguasai Donbas sebagai dukungan keinginan rakyat setempat untuk memisahkan diri dari Ukraina. Keinginan lain Putin adalah: Ukraina mundur dari permohonan menjadi anggota NATO.
Trump dilaporkan cenderung menyetujui keinginan Rusia itu. Memang, gara-gara Ukraina ingin bergabung ke NATO Rusia merasa tidak aman. Ia merasa Ukraina mengkhianati kesepakatan saat sama-sama berpisah dari Uni Soviet.
Tapi para pemimpin Eropa –termasuk Inggris– terlihat keberatan dengan rumusan itu. Para pemimpin Eropa yang mendampingi Zelenskyy bertemu Trump tanggal 18 Agustus tidak sedikit pun memihak Rusia.
Maka serentetan diplomasi Trump seminggu terakhir masih belum menunjukkan arah perdamaian. Hanya Rusia yang ge-er bahwa Trump sudah berada di belakangnya. Pasukan Rusia di garis depan sudah memasang bendera Amerika di tank mereka. Rusia juga sangat memuji Trump soal pertemuan Alaska.
Dulu Alaska yang luas adalah wilayah Rusia. Lalu dialihkan menjadi milik Amerika. Kini Rusia seperti ”nagih”: apa salahnya Amerika ganti mendukung Donbas dan Cremia menjadi wilayah Rusia.
Mungkin Trump pernah belajar usul-fikh: ”yang tidak bisa dipakai semua janganlah dibuang semua”; ia pikir lebih baik mengorbankan sedikit wilayah Ukraina daripada Perang Dunia ke-3.(Dahlan Iskan)