Waktu, tempat, dan kesempatan jarang datang bersamaan. Saya mengalami yang jarang itu. Tepat saat saya di Indianapolis, waktunya bersamaan dengan heboh Indianapolis 500 atau Indy 500: Minggu 25 Mei 2025. Saya pun diberi kesempatan untuk menontonnya.
Tepatnya bukan saya tapi kami. Yakni delegasi dari berbagai negara Asia yang lagi ada acara di Indiana.
Anda sudah tahu apa itu Indy 500: event olahraga satu-satunya yang ditonton oleh 400.000 sampai 500.000 orang. Balap mobil. Di dalam sirkuit oval. Begitu raksasa sirkuit Indy 500 itu.
Waktu menulis artikel ini saya sedang dalam persiapan menuju sirkuit. Kami, pukul 05.45 sudah harus kumpul di lobi hotel. Pukul 06.00 berangkat. Berarti tiga jam lagi.
Sebetulnya saya belum tahu: apakah saya ini akan ke stadion atau ke arena balap. Atau stadion balapan mobil. Setahu saya arena balap tidak di satu stadion. Tapi saya dengar Indy 500 dilaksanakan di dalam stadion.
Cucunya Pak Iskan pernah ke sini. Pernah bercerita. Betapa mengagumkannya. Saya belum memercayai cerita itu. Mana ada stadion bisa menampung 500.000 orang. Tiga jam lagi saya akan tahu sendiri.
Tidak hanya nonton balapan gratis. Delegasi juga diajak nonton paradenya. Sehari sebelum balapan. Sabtu.
Jalan utama kota Indianapolis ditutup. Di situlah parade. Kami diberi tempat duduk di tribun strategis menghadap gedung mahkamah agung negara bagian Indiana.
Melihat parade yang menjadi rangkaian balapan Indianapolis 500 atau Indy 500.–
Tentu saya banyak membaca dulu apa itu Indy 500. Termasuk harus nonton podcast-nya cucu Pak Iskan yang membahas Indy 500. Maka ketika melihat parade itu saya sedikit tahu yang mana yang namanya Scott McLaughlin, David Malukas, atau Alex Palou.
Kalau pembalap Takuma Sato saya tahu. Pernah popular sebagai pembalap di Formula One. Ia tidak pernah juara. Lalu “lari” ke Indy 500. Juara. Popular sekali.
Kanan-kiri saya delegasi dari Jepang. Ketika mobil Sato lewat bisingnya bukan main: mengelukan Sato. Di atas mobil Sato bersama istrinya. Wanita Jepang. Mungil. Atau pacarnya. Saya tidak tahu. Semua pembalap didampingi pasangan masing-masing yang cantik.
Saya memang pernah sering diajak nonton balap Formula One. Di beberapa negara. Tahu siapa pembalap-pembalapnya. Juga tahu sistem perlombaannya.
Tapi Indy 500? Nol besar.
Indy 500 bagian dari ego Amerika. Dunia menyukai sepak bola, mereka punya sepak bolanya sendiri. “Sepak bola yang lapangannya begitu luas kok wasitnya hanya satu,” ejek mereka. “Basket saja wasitnya dua”.
Basketnya Amerika pun beda sendiri. Balap mobilnya juga beda. Kita suka Formula One mereka suka Indy 500.
Saya pun ingin tahu Anda setuju atau tidak dengan pernyataan saya ini: nonton pertandingan atau perlombaan olahraga itu baru terasa seru kalau kita memihak.
Coba pikirkan: apa serunya bagi Bonek nonton pertandingan antara Padang dan Maluku. Atau: di mana serunya seorang penggemar Liverpool nonton Brighton lawan Southampton. Nonton itu harus berpihak. Baru seru.
Di Indy 500 ini saya tidak tahu harus memihak siapa. Saya cari-cari akal: memihak siapa ya?
Akhirnya saya ingin memihak siapa pun yang mesin mobil balapnya disiapkan oleh temannya cucu Pak Iskan: Adi Susilo.
Ternyata, di Indy 500 ini, Adi Susilo berperan besar. Anak Indonesia. Arek Suroboyo. Ia ahli mesin mobil. Lulusan Aachen Jerman –kampusnya Pak Habibie itu. Ia pernah menangani mesin mobil balap Formula One. Pernah di Indy 500. Lalu balik ke Indy 500 lagi demi istri.
Istri Adi di Amerika. Kalau ia di Formula One akan lebih banyak di Eropa atau Asia. Maka sejak mengawini pacarnya itu ia pindah ke Indy 500.
Hari-hari ini Adi pasti di Indianapolis. “Temui Adi,” ujar cucu Pak Iskan.
Saya tidak berani menemuinya. Saya tidak paham mesin mobil. Mau ngomongin apa dengan ia nanti. Dan lagi ia pasti sangat sibuk menjelang hari balapan.
Tapi saya ingin memihak. Saya harus bertemu Adi: mobil pembalap yang mana yang mesinnya disiapkannya. Lalu saya akan memihaknya. Siapa pun ia. Apa pun prestasinya. Dari negara mana pun.
Maka saya tonton dulu podcast antara Adi dan si cucu. Agar saya tahu siapa Adi dan apa itu Indy 500. Ampuuuun, podcast itu 1,5 jam. Panjang. Tapi karena menarik ya terus saja menontonnya.
Akhirnya saya beranikan diri menghubungi Adi Susilo. Jumat. Ternyata Adi ramah sekali. Masih seperti khasnya Arek Suroboyo. Saat itu pun saya ditunggu: di arena Indy 500. Sekalian bisa lihat bagaimana ia menyiapkan mobil pembalap.
Sayang, saya sudah janji ke Purdue University dan ke Notre Dame University. Saya pun bertanya: apakah punya waktu selain Jumat itu.
“Besok, Sabtu sore saya sudah bebas,” katanya.
“Sabtu sore? Anda bisa? Bukankah Minggu hari balapan? Bukankah Sabtu adalah puncak kesibukan Anda?”
“Ini beda dengan Formula One,” jawab Adi. “Di Indy 500 sehari sebelum balapan justru libur. Pembalapnya wajib ikut parade semua,” tambahnya.
Saya pikir, sehari sebelum perlombaan untuk balapan seleksi penentuan urutan posisi start di balapan hari Minggu. Ternyata tidak seperti di Formula One.
Maka kami sepakat: Sabtu sore keluar kota. Makan malam. Di restoran Indonesia Mayasari milik Maya. Di Greensburg. Satu jam dari Indianapolis.
“Saya jemput pukul 5 sore,” katanya.
Kami pun satu mobil ke Greensburg. Adi yang pegang kemudi. “Jangan ngebut ya,” pinta saya. Di Jerman ia pernah menjalankan mobil 300 km/jam. Di sana tidak ada aturan batas kecepatan. Yakni di jalan-jalan tolnya yang gratis.
Di sepanjang perjalanan saya tidak bertanya yang berat-berat ke Adi. Semua hal sudah ditanyakan oleh cucu Pak Iskan di podcast. Saya lebih banyak bertanya soal keluarga.
Ayah Adi ternyata seorang dosen. Ibunya alumni IKIP Malang. Sang ayah arsitek lulusan ITS Surabaya. Lalu menjadi dosen di fakultas arsitektur Universitas Kristen Petra.
Saat Adi baru berusia dua tahun ayahnya dapat beasiswa ke Sydney Australia. Itu beasiswa dari UK Petra untuk S-2. Adi diajak serta. Pun adik laki-lakinya yang baru berusia satu tahun.
Maka Adi masuk SD-nya di Sydney. Saat pulang ke Surabaya ia balik masuk TK. Ia harus belajar bahasa Indonesia.
Di SD dan SMP nilai Adi istimewa. Ia juga jadi ketua OSIS. Itulah modalnya untuk masuk SMA. Ia ingin masuk SMA yang sama: Frateran. Di belakang SMA Ta’miriyah milik NU.
Adi gagal ke SMA Frateran. Uang masuknya mahal. Orang tuanya sudah berjuang untuk dapat keringanan: keluarga dosen tidak punya uang sebanyak itu.
Perjuangan sang ibu gagal. Alasannya: tidak mungkin seseorang yang tinggal di Dharmahusada tidak punya uang. Dharmahusada adalah daerah elite di Surabaya sebelum ada yang lebih elite: Kertajaya Indah, Citraland, Pakuwon, dan Graha Family.
Akhirnya Adi diterima di SMA St Louis 1 Surabaya. Gratis. Nilai istimewa Adi jadi setoran uang masuknya.
Saya pun bertanya: bagaimana tinggal di Dharmahusada tidak mampu bayar uang muka yang diminta. Ternyata rumah orang tuanya itu di Dharmahusada bagian luarnya. Awalnya hanya tanah kapling: pemberian orang tua mereka.
Saat di SMA itu Adi membaca buku milik salah satu sepupu yang tertinggal di rumahnya. Buku teknik mesin. Sejak itulah Adi terinspirasi untuk kelak kuliah di teknik mesin.
Cita-citanya tinggi: masuk MIT di Amerika. Papa-mamanya pun mendorongnya menjadi yang terbaik. Tapi masuk MIT mahal. Adi cari yang gratis: Jerman. Modalnya: nilai SMA Adi yang istimewa. Juga satu tiket pesawat untuk berangkat tanpa tiket pulang.
Cerita setelah itu Anda bisa pindah ke podcast.
Kami pun tiba di Greensburg. Maya sibuk di dapur. Suami Maya, bule Indiana, sampai ikut jadi pelayan. Banyak tamu di Sabtu petang itu.
Kami makan sate ayam, nasi, gado-gado, dan rendang. Ternyata Maya menyajikan juga steak daging dari peternakannya sendiri. Steak ukuran Amerika. Lezat. Habis.
Sebelum pulang Adi membeli keripik tempe. ”Maya Tempeh”. Tempenya buatan Maya sendiri. Kedelainya dari ladangnya sendiri.
Adi membawa keripik itu ke Indianapolis. Tidak hanya Adi. Pengunjung resto yang lain juga banyak yang pulang bawa keripik.
Saya berjanji menemui Adi di arena balap. Tiket saya jenis yang bisa masuk ke paddock.
Balik ke Indianapolis saya mencoba bicara pakai bahasa Mandarin dengan Adi. Gagal. Ternyata Adi tidak bisa berbahasa Mandarin.
Adiknya yang bisa. Sang adik juga lulusan Jerman. Arsitek. Kini bekerja di BMW. Sang adik beberapa tahun terakhir tinggal di Shenyang, ibu kota Liaoning. BMW lagi bangun pabrik di Shenyang. Proyek selesai balik ke Jerman.
Kenapa tidak bisa Mandarin? “Saya sudah generasi keenam,” katanya. “Nama Tionghoa saya pun baru dicarikan saat mau menikah. Itu pun karena diharuskan,” ujar Adi.
“Istri orang Amerika?”
“Arek Suroboyo juga,” katanya. “Mama saya sampai bilang, disekolahkan jauh-jauh dapat istri sekampung juga”.(Dahlan Iskan)