30.1 C
Jakarta
Sunday, May 18, 2025

Bambu Lentur

Siapa yang lebih hebat: MBS atau DT. Mungkin Anda akan menjawab: Kasmudjo.

MBS, Mohamad bin Salman, memang generasi muda yang hebat. Ia berhasil meyakinkan tokoh dunia sekelas Presiden Donald Trump. Sampai Trump mau bertemu musuh Amerika: pemimpin baru Syria, Ahmad Sharaa.

MBS menyediakan istananya di Riyadh untuk pertemuan bersejarah itu.

Trump juga hebat: mau mendengar kata-kata MBS soal pemimpin baru Syria. Dua-duanya hebat. Termasuk Kasmudjo.

Ada orang hebat lainnya: Recep Tayyip Erdogan, presiden Turki. Ia hadir di pertemuan itu meski secara online.

Empat orang itu tokoh-tokoh dengan posisi di persilangan yang sulit. Amerika menganggap Ahmad Sharaa tokoh teroris yang paling dicari: siapa yang bisa memenggal kepalanya dapat hadiah Rp 170 miliar – USD 10 juta.

Jumat kemarin itu kepala Ahmad Sharaa ada di depan Trump. Kepala utuh. Lengkap dengan mata, telinga, hidung, dan jenggotnya.

Tapi penampilan Ahmad Sharaa kemarin jauh dari kesan seorang teroris yang garang dan bengis. Ahmad Sharaa pakai jas dan dasi klimis. Jenggotnya yang lebat dan hitam ditata seperti baru keluar dari salon. Gerak-gerik badannya sangat lembut, sopan dan tawaduk –untuk ukuran seorang teroris seharga Rp 170 miliar.

Trump sampai sangat terkesan kepadanya. Kepada media, Trump sampai menilai Ahmad Sharaa adalah orang “muda, atraktif, dan sosok yang tangguh”.

Muda itu pasti –di mata orang setua saya. Atau di mata para presiden dunia. Umurnya 42 tahun. Nama terorisnya: Abu Muhammad Al Julani.

Saya tidak tahu dari sudut mana Trump menilai ia atraktif. Mungkin dari pakaian dan penataan rambut dan brewoknya. Mungkin Trump berpikir ”kok beda” dengan yang ia bayangkan.

Bahwa ia sosok yang tangguh tentu bisa dilihat dari latar belakangnya: mampu memimpin gerakan penggulingan diktator dinasti dua generasi di Syria: Bashar al-Assad. Juga bisa dilihat dari kemampuannya menyatukan faksi-faksi beda aliran di kelompok penentang Bashar al-Assad.

Sudah enam bulan Ahmad Sharaa menjadi presiden sementara Syria. Letupan-letupan ketidakpuasan sudah mulai muncul. Saling tembak masih sering terjadi. Belum terbentuk tentara nasional Syria.

Suasana di dalam angkatan bersenjata Syria sekarang mungkin mirip dengan Indonesia enam bulan setelah merdeka 17 Agustus 1945. Pasti banyak muncul kolonel-kolonel yang memerankan diri sebagai Jenderal Nagabonar.

Baca Juga :  Renovasi Rumah

Kalau tidak ada perbaikan ekonomi, masa-masa seperti itu akan lebih sulit dikendalikan. Syria bisa kian tidak stabil. Lalu pecah pemberontakan atau perang sipil.

Maka upaya MBS untuk membuat Amerika mencabut sanksi untuk Syria begitu mulianya. Syria perlu kedamaian, perbaikan ekonomi, dan harapan untuk sejahtera. Posisi Syria yang diblokade Barat selama hampir 50 tahun membuatnya menjadi negara gagal.

Trump sudah bersedia mencabut blokade itu. Entah seperti apa rayuan MBS sampai membuat Trump mau banting stir seperti itu. Rayuan dan tawaran mungkin kombinasi yang sempurna. Misi plus gizi.

Memang masih ada syarat yang diminta Trump: Syria harus mau menandatangani Deklarasi Ibrahim. Semacam kerukunan sesama keturunan Nabi Ibrahim. Maksudnya: agar mau berdamai dengan Israel.

Syarat itu bisa membuat soliditas pendukung Ahmad Sharaa pecah. Tentu ada pendukung yang keberatan. Syria sudah kehilangan wilayah besar pegunungan Gholan –diduduki Israel sejak perang 1973. Tentu juga ada faksi yang berpendapat: kami memang sesama keturunan Ibrahim, tapi beda ibu. Anda sudah hafal cerita ini.

Kehadiran Tayyip Erdogan juga hebat. Itu telah mengakhiri permusuhan 10 tahun antara Erdogan dan MBS.

Erdogan pernah membongkar keterlibatan MBS dalam pembunuhan tokoh oposisi Arab Saudi di Istanbul: Adnan Kashoggi. Tokoh ini dibunuh dalam satu operasi intelijen antar negara.

Saat itu Kashoggi sedang mengurus surat di kedutaan Saudi di Istanbul untuk mengawini gadis Turkiye pujaan hati.

Saya sulit membayangkan jalannya pertemuan para tokoh persimpangan di istana di Riyadh itu. Mungkin penuh nostalgia. Ahmad Sharaa sendiri lahir di Riyadh. Yakni ketika ayahnya, orang asli dataran tinggi Gholan, bekerja sebagai engineer di perusahaan minyak di Riyadh. Ibunya juga bekerja di Riyadh: jadi guru geografi.

Sepulang dari Riyadh, keluarga ini tinggal di ibu kota Syria, Damakus. Mereka membuka toko. Si kecil Ahmad Sharaa membantu jadi penjaga toko, termasuk ikut melayani pembeli.

Ketika Ahmad Sharaa tumbuh jadi remaja terjadilah gerakan intifada kedua di Palestina. Hatinya tergerak untuk ikut berjuang melawan penindasan. Ia menghilang dari rumah.

Tahun 2003, di umur 21 tahun, ia berada di Iraq. Ia ikut Al-Qaeda. Tiga minggu kemudian Amerika menyerang Iraq. Kekuasaan Saddam Hussein runtuh. Ahmad Sharaa terus berjuang bersama musuh Amerika.

Baca Juga :  Perang Listrik

Tiga tahun melawan Amerika, Ahmad Sharaa tertangkap. Yakni saat ia sedang memasang bahan peledak. Lima tahun lamanya ia berpindah-pindah penjara. Kegiatannya di penjara sangat positif: mengajar. Ia mengajari sesama penghuni penjara pelajaran sastra Arab.

Dengan kronologi seperti itu rasanya tidak mungkin ia jadi tokoh penting Al-Qaeda di Iraq. Ia lebih banyak di penjara daripada di lapangan.

Mungkin Ahmad Sharaa bisa bercerita kepada Trump bagaimana ia bisa dilepaskan dari tahanan Amerika. Saat itu di Syria sedang menguat perlawanan untuk menggulingkan diktator Bashar al-Assad. Keluar dari penjara, Ahmad Sharaa langsung pulang ke Syria. Ia bergabung ke gerakan perlawanan itu.

Di gerakan itu ia berhasil menyatukan berbagai kekuatan. Sampai ketika berhasil menggulingkan Al Assad, dipilihlah Ahmad Sharaa sebagai kepala negara.

Saya tidak punya teman di Syria. Satu-satunya orang Syria yang saya kenal adalah mahasiswa di Qingdao itu. Sama-sama salat Jumat di provinsi Shandong itu. Tapi kami sulit berkomunikasi. Ia baru belajar bahasa Mandarin. Tidak bisa bahasa Inggris. Bahasa Arab saya terbatas.

Dari keterbatasan itu saya tahu: ia berasal dari kota Aleppo. Ia tidak paham politik tapi tahu bahwa Syria punya presiden baru, Ahmad Sharaa. Ia berharap Syria bisa damai dan maju.

Tentu saya membaca banyak media. Kesan saya: gerak tubuh Ahmad Sharaa di depan Trump seperti itu mencerminkan masa remajanya. Oleh tetangganya, Ahmad Sharaa dikenal sebagai pemuda pemalu, pendiam, dan jarang keluar rumah. Kuliahnya pun di bidang media, lalu pindah ke ilmu kesehatan.

Keluarga Ahmad Sharaa juga kelas menengah semua. Ia empat bersaudara, laki-laki semua. Salah satunya seorang dokter, lulusan Rusia. Lalu kawin dengan gadis Rusia: Tatiana Zakirova. Sang kakak, Maher al-Sharaa, kini gabung ke pemerintahan adiknya.

Seorang kakak lagi jadi ahli hukum ekonomi. Doktor. Sedang kakak sulungnya seorang pekerja IT di Mesir.

Mungkin kekaleman Ahmad Sharaa justru menjadi kekuatan kepemimpinannya. Di tengah bambu-bambu yang kaku diperlukan bambu yang lentur.(Dahlan Iskan)

Siapa yang lebih hebat: MBS atau DT. Mungkin Anda akan menjawab: Kasmudjo.

MBS, Mohamad bin Salman, memang generasi muda yang hebat. Ia berhasil meyakinkan tokoh dunia sekelas Presiden Donald Trump. Sampai Trump mau bertemu musuh Amerika: pemimpin baru Syria, Ahmad Sharaa.

MBS menyediakan istananya di Riyadh untuk pertemuan bersejarah itu.

Trump juga hebat: mau mendengar kata-kata MBS soal pemimpin baru Syria. Dua-duanya hebat. Termasuk Kasmudjo.

Ada orang hebat lainnya: Recep Tayyip Erdogan, presiden Turki. Ia hadir di pertemuan itu meski secara online.

Empat orang itu tokoh-tokoh dengan posisi di persilangan yang sulit. Amerika menganggap Ahmad Sharaa tokoh teroris yang paling dicari: siapa yang bisa memenggal kepalanya dapat hadiah Rp 170 miliar – USD 10 juta.

Jumat kemarin itu kepala Ahmad Sharaa ada di depan Trump. Kepala utuh. Lengkap dengan mata, telinga, hidung, dan jenggotnya.

Tapi penampilan Ahmad Sharaa kemarin jauh dari kesan seorang teroris yang garang dan bengis. Ahmad Sharaa pakai jas dan dasi klimis. Jenggotnya yang lebat dan hitam ditata seperti baru keluar dari salon. Gerak-gerik badannya sangat lembut, sopan dan tawaduk –untuk ukuran seorang teroris seharga Rp 170 miliar.

Trump sampai sangat terkesan kepadanya. Kepada media, Trump sampai menilai Ahmad Sharaa adalah orang “muda, atraktif, dan sosok yang tangguh”.

Muda itu pasti –di mata orang setua saya. Atau di mata para presiden dunia. Umurnya 42 tahun. Nama terorisnya: Abu Muhammad Al Julani.

Saya tidak tahu dari sudut mana Trump menilai ia atraktif. Mungkin dari pakaian dan penataan rambut dan brewoknya. Mungkin Trump berpikir ”kok beda” dengan yang ia bayangkan.

Bahwa ia sosok yang tangguh tentu bisa dilihat dari latar belakangnya: mampu memimpin gerakan penggulingan diktator dinasti dua generasi di Syria: Bashar al-Assad. Juga bisa dilihat dari kemampuannya menyatukan faksi-faksi beda aliran di kelompok penentang Bashar al-Assad.

Sudah enam bulan Ahmad Sharaa menjadi presiden sementara Syria. Letupan-letupan ketidakpuasan sudah mulai muncul. Saling tembak masih sering terjadi. Belum terbentuk tentara nasional Syria.

Suasana di dalam angkatan bersenjata Syria sekarang mungkin mirip dengan Indonesia enam bulan setelah merdeka 17 Agustus 1945. Pasti banyak muncul kolonel-kolonel yang memerankan diri sebagai Jenderal Nagabonar.

Baca Juga :  Renovasi Rumah

Kalau tidak ada perbaikan ekonomi, masa-masa seperti itu akan lebih sulit dikendalikan. Syria bisa kian tidak stabil. Lalu pecah pemberontakan atau perang sipil.

Maka upaya MBS untuk membuat Amerika mencabut sanksi untuk Syria begitu mulianya. Syria perlu kedamaian, perbaikan ekonomi, dan harapan untuk sejahtera. Posisi Syria yang diblokade Barat selama hampir 50 tahun membuatnya menjadi negara gagal.

Trump sudah bersedia mencabut blokade itu. Entah seperti apa rayuan MBS sampai membuat Trump mau banting stir seperti itu. Rayuan dan tawaran mungkin kombinasi yang sempurna. Misi plus gizi.

Memang masih ada syarat yang diminta Trump: Syria harus mau menandatangani Deklarasi Ibrahim. Semacam kerukunan sesama keturunan Nabi Ibrahim. Maksudnya: agar mau berdamai dengan Israel.

Syarat itu bisa membuat soliditas pendukung Ahmad Sharaa pecah. Tentu ada pendukung yang keberatan. Syria sudah kehilangan wilayah besar pegunungan Gholan –diduduki Israel sejak perang 1973. Tentu juga ada faksi yang berpendapat: kami memang sesama keturunan Ibrahim, tapi beda ibu. Anda sudah hafal cerita ini.

Kehadiran Tayyip Erdogan juga hebat. Itu telah mengakhiri permusuhan 10 tahun antara Erdogan dan MBS.

Erdogan pernah membongkar keterlibatan MBS dalam pembunuhan tokoh oposisi Arab Saudi di Istanbul: Adnan Kashoggi. Tokoh ini dibunuh dalam satu operasi intelijen antar negara.

Saat itu Kashoggi sedang mengurus surat di kedutaan Saudi di Istanbul untuk mengawini gadis Turkiye pujaan hati.

Saya sulit membayangkan jalannya pertemuan para tokoh persimpangan di istana di Riyadh itu. Mungkin penuh nostalgia. Ahmad Sharaa sendiri lahir di Riyadh. Yakni ketika ayahnya, orang asli dataran tinggi Gholan, bekerja sebagai engineer di perusahaan minyak di Riyadh. Ibunya juga bekerja di Riyadh: jadi guru geografi.

Sepulang dari Riyadh, keluarga ini tinggal di ibu kota Syria, Damakus. Mereka membuka toko. Si kecil Ahmad Sharaa membantu jadi penjaga toko, termasuk ikut melayani pembeli.

Ketika Ahmad Sharaa tumbuh jadi remaja terjadilah gerakan intifada kedua di Palestina. Hatinya tergerak untuk ikut berjuang melawan penindasan. Ia menghilang dari rumah.

Tahun 2003, di umur 21 tahun, ia berada di Iraq. Ia ikut Al-Qaeda. Tiga minggu kemudian Amerika menyerang Iraq. Kekuasaan Saddam Hussein runtuh. Ahmad Sharaa terus berjuang bersama musuh Amerika.

Baca Juga :  Perang Listrik

Tiga tahun melawan Amerika, Ahmad Sharaa tertangkap. Yakni saat ia sedang memasang bahan peledak. Lima tahun lamanya ia berpindah-pindah penjara. Kegiatannya di penjara sangat positif: mengajar. Ia mengajari sesama penghuni penjara pelajaran sastra Arab.

Dengan kronologi seperti itu rasanya tidak mungkin ia jadi tokoh penting Al-Qaeda di Iraq. Ia lebih banyak di penjara daripada di lapangan.

Mungkin Ahmad Sharaa bisa bercerita kepada Trump bagaimana ia bisa dilepaskan dari tahanan Amerika. Saat itu di Syria sedang menguat perlawanan untuk menggulingkan diktator Bashar al-Assad. Keluar dari penjara, Ahmad Sharaa langsung pulang ke Syria. Ia bergabung ke gerakan perlawanan itu.

Di gerakan itu ia berhasil menyatukan berbagai kekuatan. Sampai ketika berhasil menggulingkan Al Assad, dipilihlah Ahmad Sharaa sebagai kepala negara.

Saya tidak punya teman di Syria. Satu-satunya orang Syria yang saya kenal adalah mahasiswa di Qingdao itu. Sama-sama salat Jumat di provinsi Shandong itu. Tapi kami sulit berkomunikasi. Ia baru belajar bahasa Mandarin. Tidak bisa bahasa Inggris. Bahasa Arab saya terbatas.

Dari keterbatasan itu saya tahu: ia berasal dari kota Aleppo. Ia tidak paham politik tapi tahu bahwa Syria punya presiden baru, Ahmad Sharaa. Ia berharap Syria bisa damai dan maju.

Tentu saya membaca banyak media. Kesan saya: gerak tubuh Ahmad Sharaa di depan Trump seperti itu mencerminkan masa remajanya. Oleh tetangganya, Ahmad Sharaa dikenal sebagai pemuda pemalu, pendiam, dan jarang keluar rumah. Kuliahnya pun di bidang media, lalu pindah ke ilmu kesehatan.

Keluarga Ahmad Sharaa juga kelas menengah semua. Ia empat bersaudara, laki-laki semua. Salah satunya seorang dokter, lulusan Rusia. Lalu kawin dengan gadis Rusia: Tatiana Zakirova. Sang kakak, Maher al-Sharaa, kini gabung ke pemerintahan adiknya.

Seorang kakak lagi jadi ahli hukum ekonomi. Doktor. Sedang kakak sulungnya seorang pekerja IT di Mesir.

Mungkin kekaleman Ahmad Sharaa justru menjadi kekuatan kepemimpinannya. Di tengah bambu-bambu yang kaku diperlukan bambu yang lentur.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru