MENGEJUTKAN. Seorang kolonel diangkat menjadi direktur utama BUMN, PT Timah: Kol Inf Restu Widyantoro. Pekan lalu.
Tentu hak sepenuhnya para pemegang saham. Pemegang saham bisa memberhentikan dan mengangkat siapa saja untuk direksi dan komisaris perusahaan.
Seharusnya pemegang saham PT Timah sekarang adalah PT MIND ID. Yakni holding untuk semua perusahaan BUMN yang bergerak di bidang tambang.
Dalam keadaan normal direksi PT MIND ID-lah yang menentukan siapa saja yang akan menjadi direksi dan komisaris anak perusahaannya. Tapi bisa saja direksi MIND ID menerima misi dari pemegang saham MIND ID: harus mengangkat si A atau si B.
Itu tidak melanggar apa-apa. Tidak bertentangan dengan peraturan apa pun. Tergantung direksi PT MIND ID, mau atau tidak melaksanakan misi tersebut. Kalau tidak mau, akan dianggap tidak taat pada atasan. Kalau mau, harus ikut bertanggung jawab atas kinerja PT Timah nantinya. Direksi MIND ID tidak bisa cuci tangan atas kegagalan PT Timah. Tidak boleh bilang: bukan kami yang memilih direksi PT Timah.
Pertanyaan selanjutnya: siapa atasan PT MIND ID?
Menteri BUMN Erick Thohir? Atau sudah pindah ke CEO Danantara Rosan Roeslani?
Tidak masalah. Dua-duanya punya atasan yang sama: Presiden Prabowo Subianto.
Rasanya, bukan Erick Thohir yang punya misi mengangkat Kolonel Restu. Bukan juga Rosan. Kelihatannya misi itu datang langsung dari Presiden Prabowo. Atau setidaknya dari satu tim khusus, tim penempatan orang-orang yang dikehendaki, untuk menyukseskan keinginan presiden.
Legalitasnya saja dilewatkan Erick sebagai menteri BUMN atau lewat Rosan sebagai Dirut Danantara. Lalu misi itu dilewatkan direksi MIND ID. Dilewatkan lagi RUPS PT Timah.
Tidak ada yang dilanggar. Yang akan dilihat publik adalah hasilnya. Maju atau tidak. Tapi maju tidaknya PT Timah juga tergantung pada budaya perusahaan yang dikembangkan: budaya komando, budaya partisipatif, budaya top down, bottom up, atau pilihan budaya kerja lainnya.
“Tidak peduli kucing itu berwarna hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus.”
Kucing putih, pada saat tertentu bisa menangkap tikus, tapi di saat yang lain sudah tidak bisa. Mungkin si kucing putih sudah lebih tua. Atau tikusnya sudah berhasil mempelajari kelebihan kucing putih.
Yang jelas, kini dicoba untuk menggunakan kucing jenis lain. Makdudnya: agar bisa menangkap tikus di PT Timah. Toh kucing putih sudah dicoba di sana. Puluhan tahun. Gagal. Total. Saking gagalnya, si kucing bukan saja tidak bisa menangkap tikus, bahkan tidak bisa mengambil makanan miliknya sendiri. Saya bagian dari kegagalan di PT Timah itu.
Makanan PT Timah adalah pasir timah miliknya sendiri, di lahan miliknya sendiri, di kawasannya sendiri. Pasir yang mengandung timah itu dikeruk oleh orang lain. Di mana-mana. Di semua tempat. Di laut. Di darat. Siang. Malam. Terang-terangan.
Tidak ada pencuri pasir timah yang bisa ditangkap. Kalau pun ada, dilepas. Backing-nya luar biasa kuat. Sampai ada guyonan di Bangka: hanya angkatan udara yang tidak terlibat –karena di sana tidak ada angkatan udara.
Saya melihat pengangkatan Kolonel Restu dari sudut itu. Mampu tidaknya Restu, saya tidak tahu. Berhasil tidaknya juga tidak tahu. Setidaknya Restu diharapkan bisa jadi kucing yang berubah-ubah warna –menyesuaikan dengan jenis tikusnya.
Untuk itu Restu dipayungi oleh komisaris utama, seorang jenderal bintang tiga: Letjen Purn Agus Rohman. Ia orang yang teguh dan sederhana. Anaknya tukang sepatu di Bandung Selatan. Tidak pernah terbayang jadi jenderal bintang tiga. Ia seorang maung Bandung. Ada harimau di belakang kucing itu.
Meski kolonel, Restu sudah senior. Sudah waktunya pensiun. Ia lahir di Demak tahun 1970 –tanggal 2 Mei. Latar belakang pendidikannya istimewa. Tidak hanya dari Akmil (lulus 1987). Restu pernah kuliah di universitas hebat King’s College di Inggris. Masih pula meneruskan kuliah di Cranfield University –antara Oxford dan Cambridge, utara London.
Restu juga pernah menjadi komandan pasukan PBB. Terakhir menjadi Danrem Pantai Timur di Pematang Siantar dan Irdam Kodam Mulawarman di Balikpapan.
Pasangan Restu dan Agus Rohman (kelahiran Bandung 15 Agustua 1963), kini mengurus bidang yang sangat berbeda dalam hidup mereka.
Orang cerdas bisa belajar cepat dari keadaan yang mendesak. Orang cerdas juga bisa mendengar dengan cerdas ide-ide dari mana pun datangnya, termasuk dari anak buah yang sudah lebih lama di sana.
Keberaniannya tidak diragukan. Pun kecerdasannya. Tapi di Bangka tidak hanya ada kerikil di sepatu. Ada paku, pecahan kaca dan ranjau. Mungkin hanya santet yang tidak ada. (DAHLAN ISKAN)