30.2 C
Jakarta
Saturday, February 8, 2025

Cari Kelinci

Langsung gedok: Perubahan ke-3 UU BUMN disetujui DPR Selasa lalu. Tidak satu pun fraksi tidak setuju.

Intinya: pendirian badan baru, Danantara, mendapat landasan hukum lewat UU baru itu. Maafkan, saya tunda dulu membahas Danantara.

Ada yang juga baru. Ada pasal “maju” masuk ke UU itu. Sangat penting. Yakni soal business judgment rule.

Konkretnya: perusahaan BUMN tidak lagi harus diperiksa BPK. Jalan tengahnya: diperiksa oleh kantor akuntan yang disetujui BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).

Saya pernah tahu dasar pemikiran lahirnya pasal baru itu. UU BUMN yang asli menyebutkan: ‘keuangan BUMN adalah aset negara yang dipisahkan’.

Selama ini pasal itu menimbulkan dua tafsir. Meski dipisahkan tetaplah itu aset negara. Berarti harus diperiksa oleh BPK.

Di lain pihak ada tafsir: untuk apa disebut “dipisahkan” kalau perlakuannya masih sama dengan aset negara yang tidak dipisahkan.

Dalam sebagian kasus korupsi yang melibatkan para direktur BUMN dua tafsir itu selalu muncul. Terutama ketika menyangkut tuduhan “merugikan keuangan negara”.

Perusahaan BUMN yang rugi akibat transaksi bisnis, misalnya, bisa dianggap merugikan keuangan negara.

Memang masih tergantung siapa yang berkuasa. Dan apakah orang itu sedang diincar untuk dijegal oleh orang-orang di sekitar yang berkuasa.

Selama ini pengadilan selalu memihak: bahwa keuangan BUMN tetaplah keuangan negara. Kata “dipisahkan”. seperti tidak ada maknanya sama sekali. Lalu pengadilan mendasarkan kerugian keuangan negara itu lewat hasil pemeriksaan BPK.

Pertanyaan publik yang sering muncul adalah: mengapa takut diperiksa BPK –kalau memang tidak korupsi.

Baca Juga :  Jalan Tengah Nusantara

Sambungan pertanyaan itu: apakah mereka bermaksud ingin melestarikan korupsi?

Kesannya: pemeriksaan oleh BPK lebih berkualitas daripada pemeriksaan oleh akuntan swasta. Tentu banyak yang tertawa dalam hati membaca kalimat itu. Khususnya orang seperti Ahok.

Hubungan saya dengan BPK pun seperti satu rel untuk dua sepur. Itu gara-gara sekelompok aktivis di BUMN mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi: minta pengakuan untuk aset yang dipisahkan harus diperlakukan berbeda dengan aset negara.

BPK kabarnya sewot atas gugatan itu. Lalu muncul kesan perusahaan BUMN tidak mau diperiksa oleh BPK. Terdengar juga selentingan dalang gugatan itu adalah menteri BUMN saat itu.

Mahkamah akhirnya memutuskan: aset yang dipisahkan tetaplah aset negara. Mahkamah juga memutuskan: dalam hal pemeriksaan keuangan BUMN haruslah dipertimbangkan soal business judgment rule.

Putusan Mahkamah itu saya nilai bagus sekali. Aset negara yang dipisahkan tetaplah aset negara. Tapi pemeriksaan atas keuangan BUMN tidak bisa disamakan dengan APBN atau APBD. Ada faktor business judgment rule.

Ketika putusan itu terbit, masa kepresidenan SBY hampir berakhir. Saya masih berusaha membuat tafsir atas putusan pengadilan itu. Saya sudah lupa berapa halaman. Tipis. Tidak setebal tasfir mimpi. Atau tafsir Ibnu Katsir.

Tafsir itu pun saya bawa menghadap Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Dr Hamdan Zoelva. Saya minta izin untuk mengomunikasikan tafsir putusan Mahkamah itu ke para penegak hukum.

Setelah membacanya dalam waktu yang cukup beliau memberikan pendapat. Jangan saya yang ke Kejagung dan Kapolri. Tidak baik. Biar MK saja yang menjelaskan ke mereka.

Baca Juga :  Silicon Startup

Masa jabatan pun seperti lilin yang tinggal sumbunya. Padam. Tidak tahu lagi bagaimana nasib business judgment rule setelah itu.

Yang jelas beberapa direksi BUMN tersangkut perkara merugikan keuangan negara. Business judgment rule tidak pernah mendapat tempat di putusan hakim.

Direksi BUMN sering menyebut: pemeriksaan oleh siapa saja tidak masalah –sepanjang business judgment rule diakomodasikan.

Sumber keuangan BUMN berbeda: dari pendapatan perusahaan. Bukan dari APBN. Tentu ada BUMN yang menerima Penempatan Modal Negara (PNM) lewat APBN. Untuk proyek-proyek khusus. Rasanya BPK tetap harus memeriksa penggunaan PNM tersebut. Hasil pemeriksaannya pun harus diumumkan. Biar publik tahu ke mana saja larinya sebagian dana PNM tersebut.

Ketika perubahan ke 3 UU BUMN disyahkan DPR Selasa lalu saya jadi ingat perjuangan lama itu. Pasal baru di UU BUMN kali ini tak lain untuk mengakomodasikan prinsip ”business judgment rule”.

Anda sudah tahu: kerugian transaksi di BUMN bisa saja akibat risiko bisnis.

Setiap pengambilan keputusan haruslah mempertimbangkan risiko, tapi bukan berarti bisa terhindar sepenuhnya. Itulah bisnis.

Apakah setelah ini tidak akan terjadi lagi direksi BUMN yang terjerat tafsir menafsir ”merugikan keuangan negara”?

Harus kita lihat praktik di lapangannya.

Ada yang mau jadi kelinci percobaan?

Ada yang mau dijadikan tersangka untuk dilihat apakah pengadilan sudah berubah?(Dahlan Iskan)

Langsung gedok: Perubahan ke-3 UU BUMN disetujui DPR Selasa lalu. Tidak satu pun fraksi tidak setuju.

Intinya: pendirian badan baru, Danantara, mendapat landasan hukum lewat UU baru itu. Maafkan, saya tunda dulu membahas Danantara.

Ada yang juga baru. Ada pasal “maju” masuk ke UU itu. Sangat penting. Yakni soal business judgment rule.

Konkretnya: perusahaan BUMN tidak lagi harus diperiksa BPK. Jalan tengahnya: diperiksa oleh kantor akuntan yang disetujui BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).

Saya pernah tahu dasar pemikiran lahirnya pasal baru itu. UU BUMN yang asli menyebutkan: ‘keuangan BUMN adalah aset negara yang dipisahkan’.

Selama ini pasal itu menimbulkan dua tafsir. Meski dipisahkan tetaplah itu aset negara. Berarti harus diperiksa oleh BPK.

Di lain pihak ada tafsir: untuk apa disebut “dipisahkan” kalau perlakuannya masih sama dengan aset negara yang tidak dipisahkan.

Dalam sebagian kasus korupsi yang melibatkan para direktur BUMN dua tafsir itu selalu muncul. Terutama ketika menyangkut tuduhan “merugikan keuangan negara”.

Perusahaan BUMN yang rugi akibat transaksi bisnis, misalnya, bisa dianggap merugikan keuangan negara.

Memang masih tergantung siapa yang berkuasa. Dan apakah orang itu sedang diincar untuk dijegal oleh orang-orang di sekitar yang berkuasa.

Selama ini pengadilan selalu memihak: bahwa keuangan BUMN tetaplah keuangan negara. Kata “dipisahkan”. seperti tidak ada maknanya sama sekali. Lalu pengadilan mendasarkan kerugian keuangan negara itu lewat hasil pemeriksaan BPK.

Pertanyaan publik yang sering muncul adalah: mengapa takut diperiksa BPK –kalau memang tidak korupsi.

Baca Juga :  Jalan Tengah Nusantara

Sambungan pertanyaan itu: apakah mereka bermaksud ingin melestarikan korupsi?

Kesannya: pemeriksaan oleh BPK lebih berkualitas daripada pemeriksaan oleh akuntan swasta. Tentu banyak yang tertawa dalam hati membaca kalimat itu. Khususnya orang seperti Ahok.

Hubungan saya dengan BPK pun seperti satu rel untuk dua sepur. Itu gara-gara sekelompok aktivis di BUMN mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi: minta pengakuan untuk aset yang dipisahkan harus diperlakukan berbeda dengan aset negara.

BPK kabarnya sewot atas gugatan itu. Lalu muncul kesan perusahaan BUMN tidak mau diperiksa oleh BPK. Terdengar juga selentingan dalang gugatan itu adalah menteri BUMN saat itu.

Mahkamah akhirnya memutuskan: aset yang dipisahkan tetaplah aset negara. Mahkamah juga memutuskan: dalam hal pemeriksaan keuangan BUMN haruslah dipertimbangkan soal business judgment rule.

Putusan Mahkamah itu saya nilai bagus sekali. Aset negara yang dipisahkan tetaplah aset negara. Tapi pemeriksaan atas keuangan BUMN tidak bisa disamakan dengan APBN atau APBD. Ada faktor business judgment rule.

Ketika putusan itu terbit, masa kepresidenan SBY hampir berakhir. Saya masih berusaha membuat tafsir atas putusan pengadilan itu. Saya sudah lupa berapa halaman. Tipis. Tidak setebal tasfir mimpi. Atau tafsir Ibnu Katsir.

Tafsir itu pun saya bawa menghadap Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Dr Hamdan Zoelva. Saya minta izin untuk mengomunikasikan tafsir putusan Mahkamah itu ke para penegak hukum.

Setelah membacanya dalam waktu yang cukup beliau memberikan pendapat. Jangan saya yang ke Kejagung dan Kapolri. Tidak baik. Biar MK saja yang menjelaskan ke mereka.

Baca Juga :  Silicon Startup

Masa jabatan pun seperti lilin yang tinggal sumbunya. Padam. Tidak tahu lagi bagaimana nasib business judgment rule setelah itu.

Yang jelas beberapa direksi BUMN tersangkut perkara merugikan keuangan negara. Business judgment rule tidak pernah mendapat tempat di putusan hakim.

Direksi BUMN sering menyebut: pemeriksaan oleh siapa saja tidak masalah –sepanjang business judgment rule diakomodasikan.

Sumber keuangan BUMN berbeda: dari pendapatan perusahaan. Bukan dari APBN. Tentu ada BUMN yang menerima Penempatan Modal Negara (PNM) lewat APBN. Untuk proyek-proyek khusus. Rasanya BPK tetap harus memeriksa penggunaan PNM tersebut. Hasil pemeriksaannya pun harus diumumkan. Biar publik tahu ke mana saja larinya sebagian dana PNM tersebut.

Ketika perubahan ke 3 UU BUMN disyahkan DPR Selasa lalu saya jadi ingat perjuangan lama itu. Pasal baru di UU BUMN kali ini tak lain untuk mengakomodasikan prinsip ”business judgment rule”.

Anda sudah tahu: kerugian transaksi di BUMN bisa saja akibat risiko bisnis.

Setiap pengambilan keputusan haruslah mempertimbangkan risiko, tapi bukan berarti bisa terhindar sepenuhnya. Itulah bisnis.

Apakah setelah ini tidak akan terjadi lagi direksi BUMN yang terjerat tafsir menafsir ”merugikan keuangan negara”?

Harus kita lihat praktik di lapangannya.

Ada yang mau jadi kelinci percobaan?

Ada yang mau dijadikan tersangka untuk dilihat apakah pengadilan sudah berubah?(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru

/