Hari AIDS Sedunia setiap 1 Desember meningkatkan kesadaran tentang penyakit yang disebabkan virus HIV tersebut. Ibu hamil yang terinfeksi HIV/AIDS memiliki risiko menularkan ke bayinya. Bagaimana mencegah penularan itu?
TANPA intervensi preventif, ibu hamil yang positif HIV/AIDS berisiko 25–40 persen menularkan terhadap janin yang dikandung. Penularan dapat terjadi sejak masa awal kehamilan, persalinan, hingga menyusui. ”Kejadian HIV pada anak memang paling sering akibat penularan transmisi vertikal dari ibu ke bayinya,” ujar Dr dr Manggala Pasca Wardhana SpOG(K)-KFm.
Pada masa kehamilan, risiko penularan terjadi lewat plasenta, kemudian saat proses persalinan dan saat menyusui. ”Pada ibu hamil, otomatis darah ibu dan darah anak bercampur. Ketika ibu terinfeksi HIV, janinnya berisiko tertular karena terjadi pertukaran darah,” sambung dr Tri Pudy Asmarawati SpPD-KPTI FINASIM.
Risiko semakin besar jika ibu hamil dengan HIV/AIDS belum pernah berobat. Yang sering terjadi adalah ibu tidak tahu jika positif HIV/AIDS. Sebab, di awal infeksinya tidak bergejala.
”Ketika mulai muncul gejala-gejala khas HIV seperti berat badan menurun atau diare berkepanjangan, batuk berkepanjangan itu pada umumnya sudah infeksi HIV tingkat lanjut,” ungkap dokter spesialis penyakit dalam konsultan penyakit tropis Mayapada Hospital Surabaya itu.
Karena itu, perlu dilakukan skrining untuk deteksi dini. Saat ini Indonesia telah menerapkan triple eliminasi untuk mencegah penularan infeksi dari ibu ke janin. Triple eliminasi itu meliputi HIV, sifilis, dan hepatitis B.
Dokter Manggala menjelaskan, skrining dilakukan pada kunjungan awal. ”Kontrol di puskesmas pun akan dicek triple eliminasi tersebut. Termasuk pemeriksaan fisik dan lab untuk memastikan ibu hamil dalam kondisi yang benar-benar normal,” imbuh dokter kandungan konsultan fetomaternal Mayapada Hospital Surabaya tersebut.
Ibu hamil yang positif HIV akan diberi terapi obat antivirus HIV/AIDS ARV (antiretroviral). Tujuannya menekan virus HIV hingga kadar yang tidak terdeteksi. ”Obat antivirus ini relatif aman untuk bayi yang dikandung dan harus rutin dikonsumsi,” ujar dr Tri Pudy.
Langkah kedua pencegahan adalah menentukan cara persalinan. Ibu hamil dengan HIV/AIDS boleh melahirkan normal jika kadar virusnya rendah atau tidak terdeteksi. ”Kalau tidak minum antivirus, terdeteksi HIV-nya terlambat, dan pengobatan belum sampai 6 bulan sehingga kadar virusnya cukup tinggi, maka persalinan secara Caesar dipilih untuk menurunkan risiko penularan,” beber dr Manggala.
Tes HIV pada bayi bisa dilakukan di umur 4–6 minggu. Apabila dinyatakan positif, bayi langsung mendapat pengobatan. Ibu dengan HIV/AIDS juga tidak disarankan menyusui secara langsung.
Selain berisiko menularkan virus kepada anak yang dikandungnya, ibu hamil dengan HIV/AIDS juga rentan terkena infeksi. Sebab, imunitas tubuhnya rendah. ”Selama HIV-nya terkontrol dengan obat-obatan dan tidak ada masalah kesehatan lain, risiko kehamilannya sama dengan ibu hamil tanpa HIV/AIDS. Syaratnya, minum obat teratur,” pesan dokter Tri Pudy. (lai/c6/nor/jpc)