31.9 C
Jakarta
Tuesday, April 30, 2024

Naik 7,9 Persen, Utang Luar Negeri Indonesia Tembus Rp 5.426 Triliun

UTANG luar negeri (ULN) Indonesia hingga akhir triwulan pertama 2019
mencapai USD 387,6 miliar atau setara Rp 5.426 triliun.

Angka tersebut naik 7,9 persen
secara year-on-year (YoY) jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.

Direktur Eksekutif-Kepala
Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Onny Widjanarko menuturkan, ULN itu
terdiri atas utang pemerintah dan bank sentral USD 190,5 miliar.

Selain itu, ada juga utang
swasta, termasuk BUMN, sebesar USD 197,1 miliar.

”Utang luar negeri Indonesia
masih terkendali dengan struktur yang sehat,” kata Onny di Jakarta, Jumat
(17/5).

Peningkatan ULN terutama
bersumber dari sektor swasta, sedangkan ULN pemerintah relatif stabil.

Dia menguraikan, hingga akhir
triwulan I 2019, ULN pemerintah tercatat USD 187,7 miliar atau tumbuh 3,6
persen (YoY) jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.

Perkembangan tersebut dipengaruhi
kenaikan arus masuk dana investor asing di pasar surat berharga negara (SBN).

“Hal ini menunjukkan kepercayaan
investor asing yang tinggi terhadap prospek perekonomian Indonesia,” urainya.

Baca Juga :  BI Siapkan Skema Beli Motor Tanpa Uang Muka

Dia menekankan, struktur ULN
Indonesia tetap sehat. Kondisi itu tecermin dari rasio terhadap PDB pada akhir
triwulan I 2019 yang relatif stabil, yakni 36,9 persen.

Selain itu, struktur ULN
Indonesia didominasi jangka panjang yang memiliki porsi 86,1 persen.

Peneliti INDEF Eko Listiyanto
menyatakan, pertumbuhan ULN relatif terkendali. Namun, produktivitas ULN
pemerintah dan swasta belum optimal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

“Tampak dari pertumbuhan kuartal
I 2019 yang tidak banyak meningkat,” jelasnya.

Pada kuartal II, ULN diprediksi
meningkat seiring dengan momentum Lebaran. Peningkatan tersebut disebabkan
kenaikan permintaan produksi yang diikuti dengan pinjaman di sektor swasta.

Ekonom Center of Reform on
Economics (Core) Piter Abdullah mengatakan, pertumbuhan utang sebenarnya adalah
konsekuensi dari defisit APBN yang ditetapkan pemerintah dan DPR.

Ukuran untuk mengatakan apakah
utang masih baik atau berbahaya diawali dengan melihat APBN dan defisitnya.

Baca Juga :  BRI Lewat Pesta Rakyat Simpedes Ajak UMKM “Pede Raih Peluang”

“Kalau kami lihat APBN dan
defisitnya, saya harus mengatakan masih sangat baik bahkan dapat dikategorikan
terlalu konservatif,” jelasnya.

Untuk memaksimalkan fungsi APBN
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, semestinya APBN tidak konservatif dengan
batasan defisit 3 persen APBN.

Seharusnya, APBN mempunyai ruang
kapan defisit boleh lebih dari 3 persen dan kapan di bawah 3 persen.

“Apabila strategi pengelolaan
APBN ini kami pilih, utang pemerintah seharusnya tidak lagi menjadi isu,”
imbuhnya.

Lebih lanjut, dia menyatakan,
rasio utang terhadap PDB masih di kisaran 30 persen PDB, yakni jauh di bawah
batas aman 60 persen.

Yang perlu menjadi sedikit
perhatian adalah debt service ratio yang masih tinggi. Namun, itu tidak terlalu
buruk karena pemerintah tidak pernah gagal bayar.

“Sejauh ini pemerintah belum
maksimal memanfaatkan APBN sesuai fungsinya itu. Pertumbuhan ekonomi terjebak
di kisaran 5 persen, justru ini yang bahaya,” paparnya. (ken/nis/c12/oki/jpnn/kpc)

UTANG luar negeri (ULN) Indonesia hingga akhir triwulan pertama 2019
mencapai USD 387,6 miliar atau setara Rp 5.426 triliun.

Angka tersebut naik 7,9 persen
secara year-on-year (YoY) jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.

Direktur Eksekutif-Kepala
Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Onny Widjanarko menuturkan, ULN itu
terdiri atas utang pemerintah dan bank sentral USD 190,5 miliar.

Selain itu, ada juga utang
swasta, termasuk BUMN, sebesar USD 197,1 miliar.

”Utang luar negeri Indonesia
masih terkendali dengan struktur yang sehat,” kata Onny di Jakarta, Jumat
(17/5).

Peningkatan ULN terutama
bersumber dari sektor swasta, sedangkan ULN pemerintah relatif stabil.

Dia menguraikan, hingga akhir
triwulan I 2019, ULN pemerintah tercatat USD 187,7 miliar atau tumbuh 3,6
persen (YoY) jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.

Perkembangan tersebut dipengaruhi
kenaikan arus masuk dana investor asing di pasar surat berharga negara (SBN).

“Hal ini menunjukkan kepercayaan
investor asing yang tinggi terhadap prospek perekonomian Indonesia,” urainya.

Baca Juga :  BI Siapkan Skema Beli Motor Tanpa Uang Muka

Dia menekankan, struktur ULN
Indonesia tetap sehat. Kondisi itu tecermin dari rasio terhadap PDB pada akhir
triwulan I 2019 yang relatif stabil, yakni 36,9 persen.

Selain itu, struktur ULN
Indonesia didominasi jangka panjang yang memiliki porsi 86,1 persen.

Peneliti INDEF Eko Listiyanto
menyatakan, pertumbuhan ULN relatif terkendali. Namun, produktivitas ULN
pemerintah dan swasta belum optimal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

“Tampak dari pertumbuhan kuartal
I 2019 yang tidak banyak meningkat,” jelasnya.

Pada kuartal II, ULN diprediksi
meningkat seiring dengan momentum Lebaran. Peningkatan tersebut disebabkan
kenaikan permintaan produksi yang diikuti dengan pinjaman di sektor swasta.

Ekonom Center of Reform on
Economics (Core) Piter Abdullah mengatakan, pertumbuhan utang sebenarnya adalah
konsekuensi dari defisit APBN yang ditetapkan pemerintah dan DPR.

Ukuran untuk mengatakan apakah
utang masih baik atau berbahaya diawali dengan melihat APBN dan defisitnya.

Baca Juga :  BRI Lewat Pesta Rakyat Simpedes Ajak UMKM “Pede Raih Peluang”

“Kalau kami lihat APBN dan
defisitnya, saya harus mengatakan masih sangat baik bahkan dapat dikategorikan
terlalu konservatif,” jelasnya.

Untuk memaksimalkan fungsi APBN
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, semestinya APBN tidak konservatif dengan
batasan defisit 3 persen APBN.

Seharusnya, APBN mempunyai ruang
kapan defisit boleh lebih dari 3 persen dan kapan di bawah 3 persen.

“Apabila strategi pengelolaan
APBN ini kami pilih, utang pemerintah seharusnya tidak lagi menjadi isu,”
imbuhnya.

Lebih lanjut, dia menyatakan,
rasio utang terhadap PDB masih di kisaran 30 persen PDB, yakni jauh di bawah
batas aman 60 persen.

Yang perlu menjadi sedikit
perhatian adalah debt service ratio yang masih tinggi. Namun, itu tidak terlalu
buruk karena pemerintah tidak pernah gagal bayar.

“Sejauh ini pemerintah belum
maksimal memanfaatkan APBN sesuai fungsinya itu. Pertumbuhan ekonomi terjebak
di kisaran 5 persen, justru ini yang bahaya,” paparnya. (ken/nis/c12/oki/jpnn/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru