30 C
Jakarta
Tuesday, October 22, 2024

Imajinasi Masa Depan Santri

Dalam lawatan akademik ke Yangzhou, Tiongkok (26-30/7/24), saya menyempatkan diri beraudiensi dengan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) yang kuliah di Yangzhou University. Sebagian besar di antara mereka berlatar belakang santri yang menempuh pendidikan menengah di Pesantren Krapyak Jogjakarta, Pesantren Tebuireng Jombang, Pesantren Lirboyo Kediri, dan berbagai pesantren lain di Indonesia.

Mereka kuliah di berbagai fakultas. Namun, sebagian besar mengambil minat di bidang sains, teknologi informasi, perhotelan, serta kesehatan. Bahkan, ada yang menekuni bidang artificial intelligence (AI) yang saat ini menjadi tren keilmuan yang senapas dengan kemajuan digital.

Pilihan kompetensi yang mereka ambil merupakan sebuah terobosan keilmuan yang barangkali tak terbayangkan oleh santri generasi X maupun generasi sebelumnya. Sebagai generasi milenial yang lahir dan bertumbuh kembang dalam ekosistem globalisasi, mereka berani memutus mata rantai tradisi keilmuan yang selama ini berbasis pada kajian keagamaan. Bahkan, banyak di antara mereka yang berasal dari keluarga kiai yang turut melakukan dis-asosiasi sanad keilmuan dari para leluhurnya.

Peralihan cara pandang santri maupun keluarga kiai dalam menempuh studi lanjut mereka itu menunjukkan perubahan imajinasi berpikir yang bergerak secara kuantum untuk merespons berbagai tantangan zaman yang diliputi kemajuan teknologi informasi dan digitalisasi. Terlebih, imajinasi menjadi salah satu kekuatan dasar santri untuk membangun peradaban baru di masa depan.

Imajinasi Produktif

Kehadiran kaum santri yang dewasa ini tampil dengan wajah keilmuan lintas disiplin memberikan harapan baru. Bahwa pesantren pada masa mendatang sesungguhnya bukan hanya lokomotif khazanah keislaman yang dikaji secara konvensional. Melainkan, perangkat keilmuan seperti fikih, tafsir, nahwu, dan manthiq yang lazim dipelajari santri bisa ditransformasikan sebagai pendekatan dan metode berpikir progresif dalam memahami ayat-ayat Alquran.

Baca Juga :  Ustazah Tewas Bersimbah Darah di Hadapan 4 Anaknya

Karena itu, tantangan pembelajaran yang sangat urgen bagi santri adalah bagaimana membangun imajinasi produktif sebagai kerangka berpikir futuristis melalui inovasi dan kreativitas keilmuan yang selaras dengan perkembangan zaman. Sebab, era globalisasi yang akan dijalani kaum santri merupakan ruang pertarungan yang paling kompleks untuk mendefinisikan dirinya sebagai generasi yang terampil dan berkemampuan.

Dengan cara demikian, santri masa depan tidak dianggap sebagai generasi pinggiran yang hanya mampu menyelesaikan persoalan manusia dengan pendekatan tekstual-normatif. Ke depan, santri harus mempunyai multitalenta dan multidisiplin dalam memproduksi berbagai perangkat pengetahuan baru yang diperlukan. Setidaknya, dengan pemosisian cara kerja berimajinasi secara produktif, santri akan mewarisi spirit keagamaan yang menegaskan pentingnya makna shalihun fi kulli zaman (relevan di segala zaman).

Tampilnya sosok santri seperti Ainun Najib yang menggeluti bidang data sains yang pernah berkontribusi dalam program Kawal Pemilu dan berkiprah sebagai data scientist di Traveloka menjadi salah satu role model santri yang berani bertarung di dunia globalisasi.

Demikian pula Dicky Budiman, pakar epidemiologi dan global health security, yang selama pandemi Covid-19 (2020–2021) menjadi rujukan banyak pihak di Indonesia. Ada pula Ahmad Ataka Awwalur Rizqi, peneliti posdoktoral di Queen Mary University of London, yang mendalami bidang robotika. Tentu masih banyak profil santri lain yang berhasil membangun imajinasi produktif sesuai dengan keahlian masing-masing.

Baca Juga :  Jama’ Taksir

Sudah semestinya santri masa depan menguatkan imajinasi global secara produktif, konstruktif, dan progresif agar mampu tampil dalam ruang-ruang pergulatan keilmuan di kancah global. Itulah yang juga ditegaskan dalam rumusan muktamar pemikiran NU (1–3 Desember 2023) yang mengambil tema Imagining the Future Society.

Ruang Ekspresi Kesantrian

Untuk bisa mengisi ruang-ruang pergulatan keilmuan tersebut, setidaknya ada tiga elemen penting yang harus diekspresikan santri. Pertama, progressiveness. Yaitu, cara membangun pemahaman yang berwawasan masa depan, tetapi tetap beririsan dengan nilai-nilai kebajikan yang diajarkan dalam pesantren. Berbagai perangkat pengetahuan yang dipelajari di pesantren harus dikontekstualisasikan dan diekspresikan secara lebih modern agar melahirkan pemahaman baru dalam menangkap rahasia-rahasia Ilahi yang termaktub dalam Alquran.

Kedua, revolution. Yaitu, perubahan secara frontal dan simultan untuk mencapai masa depan. Langkah terabas dan lintas disiplin di bidang sains dan teknologi merupakan ikhtiar pembelajaran yang harus diambil para santri. Dengan memutuskan diri belajar ilmu yang sesuai dengan kebutuhan masa depan, para santri mampu meredefinisi identitas kemusliman mereka di ruang-ruang global.

Ketiga, nation. Yaitu, labuhan akhir dari semua mata rantai pencarian jati diri dan proses pembelajaran di berbagai mancanegara.

Meski sudah berhasil menorehkan berbagai prestasi di bidang sains, teknologi, dan ilmu-ilmu kealaman lainnya, seorang santri harus tetap memikirkan bagaimana memajukan negara Indonesia masa mendatang. (*)

*) FATHORRAHMAN GHUFRON, Wakil katib PWNU Jogjakarta; dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

Dalam lawatan akademik ke Yangzhou, Tiongkok (26-30/7/24), saya menyempatkan diri beraudiensi dengan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) yang kuliah di Yangzhou University. Sebagian besar di antara mereka berlatar belakang santri yang menempuh pendidikan menengah di Pesantren Krapyak Jogjakarta, Pesantren Tebuireng Jombang, Pesantren Lirboyo Kediri, dan berbagai pesantren lain di Indonesia.

Mereka kuliah di berbagai fakultas. Namun, sebagian besar mengambil minat di bidang sains, teknologi informasi, perhotelan, serta kesehatan. Bahkan, ada yang menekuni bidang artificial intelligence (AI) yang saat ini menjadi tren keilmuan yang senapas dengan kemajuan digital.

Pilihan kompetensi yang mereka ambil merupakan sebuah terobosan keilmuan yang barangkali tak terbayangkan oleh santri generasi X maupun generasi sebelumnya. Sebagai generasi milenial yang lahir dan bertumbuh kembang dalam ekosistem globalisasi, mereka berani memutus mata rantai tradisi keilmuan yang selama ini berbasis pada kajian keagamaan. Bahkan, banyak di antara mereka yang berasal dari keluarga kiai yang turut melakukan dis-asosiasi sanad keilmuan dari para leluhurnya.

Peralihan cara pandang santri maupun keluarga kiai dalam menempuh studi lanjut mereka itu menunjukkan perubahan imajinasi berpikir yang bergerak secara kuantum untuk merespons berbagai tantangan zaman yang diliputi kemajuan teknologi informasi dan digitalisasi. Terlebih, imajinasi menjadi salah satu kekuatan dasar santri untuk membangun peradaban baru di masa depan.

Imajinasi Produktif

Kehadiran kaum santri yang dewasa ini tampil dengan wajah keilmuan lintas disiplin memberikan harapan baru. Bahwa pesantren pada masa mendatang sesungguhnya bukan hanya lokomotif khazanah keislaman yang dikaji secara konvensional. Melainkan, perangkat keilmuan seperti fikih, tafsir, nahwu, dan manthiq yang lazim dipelajari santri bisa ditransformasikan sebagai pendekatan dan metode berpikir progresif dalam memahami ayat-ayat Alquran.

Baca Juga :  Ustazah Tewas Bersimbah Darah di Hadapan 4 Anaknya

Karena itu, tantangan pembelajaran yang sangat urgen bagi santri adalah bagaimana membangun imajinasi produktif sebagai kerangka berpikir futuristis melalui inovasi dan kreativitas keilmuan yang selaras dengan perkembangan zaman. Sebab, era globalisasi yang akan dijalani kaum santri merupakan ruang pertarungan yang paling kompleks untuk mendefinisikan dirinya sebagai generasi yang terampil dan berkemampuan.

Dengan cara demikian, santri masa depan tidak dianggap sebagai generasi pinggiran yang hanya mampu menyelesaikan persoalan manusia dengan pendekatan tekstual-normatif. Ke depan, santri harus mempunyai multitalenta dan multidisiplin dalam memproduksi berbagai perangkat pengetahuan baru yang diperlukan. Setidaknya, dengan pemosisian cara kerja berimajinasi secara produktif, santri akan mewarisi spirit keagamaan yang menegaskan pentingnya makna shalihun fi kulli zaman (relevan di segala zaman).

Tampilnya sosok santri seperti Ainun Najib yang menggeluti bidang data sains yang pernah berkontribusi dalam program Kawal Pemilu dan berkiprah sebagai data scientist di Traveloka menjadi salah satu role model santri yang berani bertarung di dunia globalisasi.

Demikian pula Dicky Budiman, pakar epidemiologi dan global health security, yang selama pandemi Covid-19 (2020–2021) menjadi rujukan banyak pihak di Indonesia. Ada pula Ahmad Ataka Awwalur Rizqi, peneliti posdoktoral di Queen Mary University of London, yang mendalami bidang robotika. Tentu masih banyak profil santri lain yang berhasil membangun imajinasi produktif sesuai dengan keahlian masing-masing.

Baca Juga :  Jama’ Taksir

Sudah semestinya santri masa depan menguatkan imajinasi global secara produktif, konstruktif, dan progresif agar mampu tampil dalam ruang-ruang pergulatan keilmuan di kancah global. Itulah yang juga ditegaskan dalam rumusan muktamar pemikiran NU (1–3 Desember 2023) yang mengambil tema Imagining the Future Society.

Ruang Ekspresi Kesantrian

Untuk bisa mengisi ruang-ruang pergulatan keilmuan tersebut, setidaknya ada tiga elemen penting yang harus diekspresikan santri. Pertama, progressiveness. Yaitu, cara membangun pemahaman yang berwawasan masa depan, tetapi tetap beririsan dengan nilai-nilai kebajikan yang diajarkan dalam pesantren. Berbagai perangkat pengetahuan yang dipelajari di pesantren harus dikontekstualisasikan dan diekspresikan secara lebih modern agar melahirkan pemahaman baru dalam menangkap rahasia-rahasia Ilahi yang termaktub dalam Alquran.

Kedua, revolution. Yaitu, perubahan secara frontal dan simultan untuk mencapai masa depan. Langkah terabas dan lintas disiplin di bidang sains dan teknologi merupakan ikhtiar pembelajaran yang harus diambil para santri. Dengan memutuskan diri belajar ilmu yang sesuai dengan kebutuhan masa depan, para santri mampu meredefinisi identitas kemusliman mereka di ruang-ruang global.

Ketiga, nation. Yaitu, labuhan akhir dari semua mata rantai pencarian jati diri dan proses pembelajaran di berbagai mancanegara.

Meski sudah berhasil menorehkan berbagai prestasi di bidang sains, teknologi, dan ilmu-ilmu kealaman lainnya, seorang santri harus tetap memikirkan bagaimana memajukan negara Indonesia masa mendatang. (*)

*) FATHORRAHMAN GHUFRON, Wakil katib PWNU Jogjakarta; dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

Terpopuler

Artikel Terbaru

/