NANGA BULIK,KALTENGPOS.CO-Kunjungan
kerja Wakil Menteri (Wamen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI Alue Dohong
bersama rombongan Komisi IV DPR RI membawa angin segar untuk penyelesaian
konflik antara konsesi dan masyarakat di Kabupaten Lamandau. Wamen memberi
lampu hijau dengan menawarkan beberapa solusi terkait penyelesaian konflik.
Di antaranya menawarkan
untuk menetapkan SK bupati terkait hak hutan adat di wilayah Desa
Kinipan yang masuk dalam konsesi perkebunan kelapa sawit. Selain itu, Kementerian
LHK (KLHK) juga memberikan solusi untuk menjadikan
wilayah hutan desa yang dikelola oleh
masyarakat.
Wakil Menteri LHK RI
Alue Dohong mengatakan, kehadiran pihaknya di Lamandau
sesuai dengan tugas dan fungsi pemerintah. Selain
bertugas sebagai regulator, pemerintah juga bisa berfungsi sebagai dinamisator,
mediator, maupun fasilitator saat terjadi konflik.
“Maka di sini kami
bertugas untuk memfasilitasi agar konflik itu tidak meluas dan keluar,†ujar
Wamen LHK RI Alue Dohong, Rabu (9/9).
Wamen mangaku konflik
yang terjadi di Lamandau menjadi perhatian serius KLHK dengan
menggali seluruh informasi dari berbagai pihak.
Sebelumnya KLHK sudah menerima kunjungan Effendi Buhing dan rekan-rekannya
dalam rangka menggali informasi dari pihak Desa Kinipan. Termasuk
menggali informasi dari pihak perusahaan.
“Informasi tentang PT
SML kami juga sudah didalami, termasuk tentang
kewajiban plasma-nya. Dari informasi yang saya dapat dari bupati, bahwa ada
13 desa yang masuk wilayah SML. Desa Kinipan yang
menolak kehadiran
perusahaan,†jelasnya.
Terkait konflik
ini,
pihaknya akan menawarkan beberapa solusi sebagai upaya menyelesaikan
permasalahan. “Karena itu pak Bupati, kalau misalnya kita pilih tawar-tawaran,
kalau memang masyarakat Desa Kinipan tidak mau menerima plasma dan (warga
kinipan) tetap wilayahnya ingin jadi hutan, besok (hari ini) saya ketemu dengan
pemimpin perusahaannya,†imbuhnya.
Pihaknya menegaskan
dalam membangun perusahaan perkebunan juga ada kewajiban untuk melindungi area
konservasi tinggi yang tidak harus dibuka. Karena memang ada kewajiban perusahaan
tentang melindungi area yang tidak harus digarap.
“Ya, kami tawarkan
itu menjadi hutan adat. Misalnya, karena itu
statusnya sudah APL (area penggunaan lain), maka
proses hutan adatnya sangat singkat. Bupati bisa
mengeluarkan SK untuk hutan adat (di lahan konflik). Misalnya
sekitar 900 hektare tersebut. Ini hanya contoh
(solusi) kalau memang perusahaan nantinya menyetujui itu,†tegasnya.
Wamen menawarkan solusi
lain untuk Kinipan,
yakni
melalui skema hutan desa yang bisa ditetapkan melalui hutan sosial yang ada di
wilayah konsesi.
“Kan tadi ada
kemungkinan lain yang saya sebutkan sebagai hutan sosial, karena ada sebagian
area yang masuk dalam area konsesi (HPH) sekitar 400 hektare masuk wilayah adat. Artinya ada
sisa sekitar 300 hekatre.
Kalau
kami tawarkan itu menjadi hutan desa yang dikelola
oleh masyarakat adat, bisa saja,†tukasnya.
Artinya, lanjut wamen, selanjutnya urusannya sama
bupati.
Kalaupun
disepakati, nanti akan dipetakan. Kemudian
ditetapkan di KLHK bahwa wilayah tersebut sudah menjadi hutan desa yang
dikelola oleh masyarakat adat.
“Kalaupun jangka
panjangnya ingin menjadi hutan adat misalnya, tinggal dibicarakan dengan bupati soal perdanya,â€
kata Alue Dohong.
Terkait solusi ini,
Alue Dohong menjelaskan, perusahaan juga tidak rugi karena dari total 19.000 hektare lebih
pelepasan kawasan hutan untuk PT SML, sejatinya tidak harus
semua lahan dibuka (digarap). Karena ada area yang dilindungi sebagai lahan
konservasi tinggi.
Dan itu bisa saja dicadangkankan. Salah satunya
dalam hutan sosial.
“Kalaupun nanti ini
jadi hutan sosial, pengelolaannya juga jangan eksklusif. Kalau ada
pihak perusahaan yang ingin masuk ke wilayah hutan itu, ya dibuka
saja. Saya juga berterima kasih dengan masyarakat adat yang getol memelihara
hutan, karena hal itu secara
tidak langsung akan membantu KLHK dalam menjaga dan melindungi hutan,â€
imbuhnya.
Menanggapi hal itu, Bupati
Lamandau H Hendra Lesmana mengatakan bahwa pihaknya
bersedia untuk menerbitkan SK terkait wilayah hutan adat pada
lahan
konflik.
Hanya
saja kendala saat ini bahwa (wilayah) yang diklam adalah lahan plasma
dengan dasar calon petani calon lahan (CPCL)
plasma yang telah ditetapkan di wilayah tersebut.
“Hari ini pun diminta
untuk membuatkan SK, saya siap. Tentunya atas
dasar persetujuan perusahaan juga. Namun, kita harus membahas di
situ ada CPCL karena yang diklaim adalah lahan plasma.
Bupati menyambut baik
atas saran dan masukan yang ditawarkan pihak KLHK. Akan
tetapi,
Pemerintah Kabupaten Lamandau tidak bisa mengambil keputusan secara sepihak
karena persoalan ini manyangkut hak dan kepentingan orang
banyak.
“Kalau ini menjadi
solusi dan angin segar, kita bersyukur alhamdulillah. Pemerintah
daerah akan mendorong ini. Namun apakah ini akan menjadi solusi, kita juga
belum
tahu, karena di situ ada hak orang banyak, terkait
plasma tadi,†jelasnya.
Untuk diketahui, konflik
yang terjadi di Kabupaten Lamandau saat ini dikarenakan masyarakat Desa Kinipan menolak
masuknya
salah satu perusahaan perkebunan (PT SML) di
wilayah mereka. Namun, sejak 2015
lalu PT
SML telah mengantongi izin pelepasan kawasan hutan seluas
19.000 hektare
lebih itu, dengan skema 50 persen area kebun inti
dan 50 persen area kebun plasma atau kemitraan yang juga masuk
wilayah Desa Kinipan.
PT SML telah mendapatkan izin untuk perkebunan kelapa sawit
berdasarkan SK bupati yang
dikeluarkan 2017 lalu, termasuk
izin hak guna
usaha
(HGU) yang dikeluarkan oleh Kementerian ATR/BPN tahun 2017 dan izin pemanfaatan kayu (IPK).