26.3 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Berdoa, Banyak Makan, dan Tidak Panik

Rhesa Haryo Wicaksono baru tahu dirinya
positif Covid-19 sepulang dari rumah sakit. Sang ibu, Eny Sofia, dengan masukan
dari berbagai pihak, memang sengaja merahasiakannya. Berikut wawancara wartawan
Jawa Pos Radar Malang Sandra Desi Caesaria dengan mahasiswa Universitas
Brawijaya itu bersama sang bunda via telepon.



Bisa diceritakan gejala awal yang dulu Anda
rasakan?

Rhesa: Awalnya, saya merasa panas. Lalu, saya
minum parasetamol, tapi tidak turun panasnya hingga dua minggu. Lalu, saya cek
ke dokter, ke lab. Tidak ada indikasi tifus dan demam berdarah, malah saya ada
radang dan dirujuk untuk rontgen paru-paru. Ternyata ada flek. Saya disuruh
opname.

Jadi, selama opname itu langsung dites swab?

Rhesa: Ya, tapi itu ketika saya di RSSA
(Rumah Sakit Syaiful Anwar, Kota Malang). Saya opname dahulu di RS Panti
Nirmala (Kota Malang) empat hari. Lalu, pada 12 Maret dirujuk ke RSSA. Awalnya
masuk ICU (intensive care unit/ruang gawat darurat) dan kemudian ke ruang
isolasi selama 11 hari. Saya diminta tes swab, darah, dan urine.

Anda tahu positif corona saat isolasi?

Rhesa: Oh, tidak. Saya selama isolasi hanya
tahu saya ini infeksi paru-paru. Saya tidak tahu selama ini dirawat dokter dan
perawat dengan alat pelindung diri (APD) kayak astronot itu karena saya positif
korona. Para dokter hanya berkomunikasi dengan keluarga. Saya baru diberi tahu
ibu sehari setelah pulang dari RSSA.

Ketika kali pertama mendengar putra Ibu
positif, apa yang Ibu lakukan?

Eny: Dinas Kesehatan (Kota Malang) telepon
saya terus. Saya kan takut positif ya, karena saya ngelap keringat dia, menyuapi
dia juga sejak di RS Panti Nirmala. Tapi, ketika saya tahu hal ini secara
mandiri, saya dan kedua anak saya lainnya langsung rontgen mandiri (Rhesa anak
pertama dari tiga bersaudara, Red). Bersih hasilnya. Orang dinkes juga bilang
bahwa orang rumah akan di-swab. Enam orang, termasuk pembantu dan keluarga.

Saya sendiri dan tantenya yang lebih sering
kontak dengan Rhesa. Di RSSA, saya ikut swab. Bersama dengan dokter-dokter ikut
antre swab. Selama swab itu, saya ditemani petugas dinkes. Dahulu saya
khawatir. Karena perasaan saya, di badan ini seperti ada indikasi corona. Ah,
bukan. Ternyata stres ini yang bikin seolah-olah saya juga terkena. Kita itu
bener-bener harus positive thinking. Tetapi tidak boleh mengabaikan kondisi
tubuh juga.

Baca Juga :  Resmi! Pemerintah Larang Mudik 2021, Catat Tanggalnya

 

Selain tindakan medis, apa saja yang
diberikan tim medis di ruang isolasi?

Rhesa: Ya, kalau tindakan medisnya, sama
seperti pasien yang opname biasa. Saya dipasangi infus, diambil sampel darah,
diajak ngobrol. Banyak sekali dokter dan perawat yang dekat dengan saya. Ya,
tanya-tanya aktivitas sebelum masuk RSSA.

 

Lumayan membunuh kebosanan, ya?

Rhesa: Iya. Saya juga masih bisa membawa HP
(handphone). Nge-game, chat dengan teman. Saya juga dijenguk mama dan keluarga,
meski jaraknya cukup jauh dan hanya dari kaca. Kadang kalau kangen, ya ada
video call. Di dalam ruangan ada CCTV. Jadi, keluarga memonitor dari luar.

 

Kalau bawa HP, seharusnya tahu kan kalau
pihak RSSA dan tim UB (Universitas Brawijaya) sempat mengadakan konferensi pers
terkait dengan kondisi Anda?

Rhesa: Tidak. Saya benar-benar tidak tahu.
Teman-teman juga tidak ada yang menghubungi terkait hal ini.

 

Apa memang ada komitmen antara rumah sakit
dan keluarga untuk tidak menyampaikan status Rhesa yang positif?

 

Eny: Saya malah tahunya dari medsos. Saya
belum diberi tahu dahulu oleh pihak rumah sakit. Saya memang pasrah, nerima.
Saya datangi RSSA, apakah benar itu anak saya? Ternyata benar. Saya pasrahkan
diri pada Gusti Allah. Mau positif atau negatif, anak saya harus sembuh. Saya
terus mendorong jiwa saya, keluarga, yakin Rhesa juga bisa melalui masa-masa
ini.

 

Dari pengalaman Anda, apa perbedaan treatment
pasien positif Covid-19 dengan pasien lain?

 

Rhesa: Di ruang isolasi tidak ada yang
membedakan saya ini pasien khusus dibanding pasien lain. Saya malah bisa bebas
konsultasi makanan dengan ahli gizi.

 

Maksudnya, pasien Covid-19 bebas mengonsumsi
apa saja?

 

Rhesa: Selama pengalaman saya, tidak ada
batasan jenis makanan tertentu. Awalnya nasi tim, tapi saya minta agak kasar.
Saya juga sering meminta dibawakan kue dan snack juga. Tidak masalah kok.

Baca Juga :  Gunung Mas Masuk Zona Merah Pendemi Covid-19, Sukamara Aman

 

Hingga dinyatakan sembuh, juga tidak ada
larangan?

Rhesa: Tidak ada. Cuma perlu jaga kebersihan
dan sterilisasi di rumah. Sempat dilarang keluar rumah. Itu pun keluar hanya
naik ke lantai 2, berjemur saja. Sama dibanyakin makan dan minum obat.

 

Apa saja pesan dokter setelah Rhesa selesai
menjalani isolasi?

Eny: Dia memang disuruh pakai masker oleh
petugas medis. Kamar mandi sendiri. Semua barang harus dipakai Rhesa sendiri
selama di rumah. Saya tuangkan kue ke stoples, stoplesnya harus dipegang Rhesa
sendiri. Saya bilang, ’Nak, kamu jangan tersinggung, kalau seperti ini. Apa-apa
disendirikan. Ini untuk kesehatan kamu.’ Dia legawa aja. Nggak apa-apa katanya.

 

Apa saja yang dilakukan keluarga untuk turut
mendorong semangat Rhesa agar sembuh?

Eny: Saya tak ada henti-hentinya meminta ke
berbagai pihak agar mendoakan anak saya. Corona ini bukan aib. Saya juga
ngobrol dengan dokter yang merawat Rhesa. Kata dia, ini seperti tifus atau DBD
(demam berdarah dengue). Jika tidak ada penyakit lain yang menyertai, tingkat
kesembuhannya juga pesat. Itu juga harus didukung kemauan pasien untuk terus
berusaha sembuh.

Alhamdulillah, Rhesa ini makannya banyak.
Suka makan dia, hahaha. Paling penting, ketika di rumah sakit, jangan emosian.
Tabahkan hati, tawakal. Namanya rumah sakit, ada banyak perawat yang berbeda
perlakuan. Wajar. Apalagi saat ini mereka mempertaruhkan nyawa juga. Ikuti saja
prosedurnya.

 

Dari yang Anda alami, apa yang ingin Anda
sampaikan kepada masyarakat?

Rhesa: Bagi OPD (orang dalam pemantauan), PDP
(pasien dalam pengawasan), mungkin juga untuk pasien dan keluarga, jangan panik
dahulu jika dikabari kalau terkena corona. Karena ini juga bisa dilawan jika
bisa mengontrol mood, tidak berpikir buruk selama sakit, dan mau berusaha
menaati aturan petugas medis. Serta, banyak makan dan berdoa.

Saya merasa, doa adalah hal yang paling kuat
di antara treatment lainnya. Teman yang tahu saya kena corona, pada akhirnya
juga tidak memandang saya yang gimana-gimana.

Rhesa Haryo Wicaksono baru tahu dirinya
positif Covid-19 sepulang dari rumah sakit. Sang ibu, Eny Sofia, dengan masukan
dari berbagai pihak, memang sengaja merahasiakannya. Berikut wawancara wartawan
Jawa Pos Radar Malang Sandra Desi Caesaria dengan mahasiswa Universitas
Brawijaya itu bersama sang bunda via telepon.



Bisa diceritakan gejala awal yang dulu Anda
rasakan?

Rhesa: Awalnya, saya merasa panas. Lalu, saya
minum parasetamol, tapi tidak turun panasnya hingga dua minggu. Lalu, saya cek
ke dokter, ke lab. Tidak ada indikasi tifus dan demam berdarah, malah saya ada
radang dan dirujuk untuk rontgen paru-paru. Ternyata ada flek. Saya disuruh
opname.

Jadi, selama opname itu langsung dites swab?

Rhesa: Ya, tapi itu ketika saya di RSSA
(Rumah Sakit Syaiful Anwar, Kota Malang). Saya opname dahulu di RS Panti
Nirmala (Kota Malang) empat hari. Lalu, pada 12 Maret dirujuk ke RSSA. Awalnya
masuk ICU (intensive care unit/ruang gawat darurat) dan kemudian ke ruang
isolasi selama 11 hari. Saya diminta tes swab, darah, dan urine.

Anda tahu positif corona saat isolasi?

Rhesa: Oh, tidak. Saya selama isolasi hanya
tahu saya ini infeksi paru-paru. Saya tidak tahu selama ini dirawat dokter dan
perawat dengan alat pelindung diri (APD) kayak astronot itu karena saya positif
korona. Para dokter hanya berkomunikasi dengan keluarga. Saya baru diberi tahu
ibu sehari setelah pulang dari RSSA.

Ketika kali pertama mendengar putra Ibu
positif, apa yang Ibu lakukan?

Eny: Dinas Kesehatan (Kota Malang) telepon
saya terus. Saya kan takut positif ya, karena saya ngelap keringat dia, menyuapi
dia juga sejak di RS Panti Nirmala. Tapi, ketika saya tahu hal ini secara
mandiri, saya dan kedua anak saya lainnya langsung rontgen mandiri (Rhesa anak
pertama dari tiga bersaudara, Red). Bersih hasilnya. Orang dinkes juga bilang
bahwa orang rumah akan di-swab. Enam orang, termasuk pembantu dan keluarga.

Saya sendiri dan tantenya yang lebih sering
kontak dengan Rhesa. Di RSSA, saya ikut swab. Bersama dengan dokter-dokter ikut
antre swab. Selama swab itu, saya ditemani petugas dinkes. Dahulu saya
khawatir. Karena perasaan saya, di badan ini seperti ada indikasi corona. Ah,
bukan. Ternyata stres ini yang bikin seolah-olah saya juga terkena. Kita itu
bener-bener harus positive thinking. Tetapi tidak boleh mengabaikan kondisi
tubuh juga.

Baca Juga :  Resmi! Pemerintah Larang Mudik 2021, Catat Tanggalnya

 

Selain tindakan medis, apa saja yang
diberikan tim medis di ruang isolasi?

Rhesa: Ya, kalau tindakan medisnya, sama
seperti pasien yang opname biasa. Saya dipasangi infus, diambil sampel darah,
diajak ngobrol. Banyak sekali dokter dan perawat yang dekat dengan saya. Ya,
tanya-tanya aktivitas sebelum masuk RSSA.

 

Lumayan membunuh kebosanan, ya?

Rhesa: Iya. Saya juga masih bisa membawa HP
(handphone). Nge-game, chat dengan teman. Saya juga dijenguk mama dan keluarga,
meski jaraknya cukup jauh dan hanya dari kaca. Kadang kalau kangen, ya ada
video call. Di dalam ruangan ada CCTV. Jadi, keluarga memonitor dari luar.

 

Kalau bawa HP, seharusnya tahu kan kalau
pihak RSSA dan tim UB (Universitas Brawijaya) sempat mengadakan konferensi pers
terkait dengan kondisi Anda?

Rhesa: Tidak. Saya benar-benar tidak tahu.
Teman-teman juga tidak ada yang menghubungi terkait hal ini.

 

Apa memang ada komitmen antara rumah sakit
dan keluarga untuk tidak menyampaikan status Rhesa yang positif?

 

Eny: Saya malah tahunya dari medsos. Saya
belum diberi tahu dahulu oleh pihak rumah sakit. Saya memang pasrah, nerima.
Saya datangi RSSA, apakah benar itu anak saya? Ternyata benar. Saya pasrahkan
diri pada Gusti Allah. Mau positif atau negatif, anak saya harus sembuh. Saya
terus mendorong jiwa saya, keluarga, yakin Rhesa juga bisa melalui masa-masa
ini.

 

Dari pengalaman Anda, apa perbedaan treatment
pasien positif Covid-19 dengan pasien lain?

 

Rhesa: Di ruang isolasi tidak ada yang
membedakan saya ini pasien khusus dibanding pasien lain. Saya malah bisa bebas
konsultasi makanan dengan ahli gizi.

 

Maksudnya, pasien Covid-19 bebas mengonsumsi
apa saja?

 

Rhesa: Selama pengalaman saya, tidak ada
batasan jenis makanan tertentu. Awalnya nasi tim, tapi saya minta agak kasar.
Saya juga sering meminta dibawakan kue dan snack juga. Tidak masalah kok.

Baca Juga :  Gunung Mas Masuk Zona Merah Pendemi Covid-19, Sukamara Aman

 

Hingga dinyatakan sembuh, juga tidak ada
larangan?

Rhesa: Tidak ada. Cuma perlu jaga kebersihan
dan sterilisasi di rumah. Sempat dilarang keluar rumah. Itu pun keluar hanya
naik ke lantai 2, berjemur saja. Sama dibanyakin makan dan minum obat.

 

Apa saja pesan dokter setelah Rhesa selesai
menjalani isolasi?

Eny: Dia memang disuruh pakai masker oleh
petugas medis. Kamar mandi sendiri. Semua barang harus dipakai Rhesa sendiri
selama di rumah. Saya tuangkan kue ke stoples, stoplesnya harus dipegang Rhesa
sendiri. Saya bilang, ’Nak, kamu jangan tersinggung, kalau seperti ini. Apa-apa
disendirikan. Ini untuk kesehatan kamu.’ Dia legawa aja. Nggak apa-apa katanya.

 

Apa saja yang dilakukan keluarga untuk turut
mendorong semangat Rhesa agar sembuh?

Eny: Saya tak ada henti-hentinya meminta ke
berbagai pihak agar mendoakan anak saya. Corona ini bukan aib. Saya juga
ngobrol dengan dokter yang merawat Rhesa. Kata dia, ini seperti tifus atau DBD
(demam berdarah dengue). Jika tidak ada penyakit lain yang menyertai, tingkat
kesembuhannya juga pesat. Itu juga harus didukung kemauan pasien untuk terus
berusaha sembuh.

Alhamdulillah, Rhesa ini makannya banyak.
Suka makan dia, hahaha. Paling penting, ketika di rumah sakit, jangan emosian.
Tabahkan hati, tawakal. Namanya rumah sakit, ada banyak perawat yang berbeda
perlakuan. Wajar. Apalagi saat ini mereka mempertaruhkan nyawa juga. Ikuti saja
prosedurnya.

 

Dari yang Anda alami, apa yang ingin Anda
sampaikan kepada masyarakat?

Rhesa: Bagi OPD (orang dalam pemantauan), PDP
(pasien dalam pengawasan), mungkin juga untuk pasien dan keluarga, jangan panik
dahulu jika dikabari kalau terkena corona. Karena ini juga bisa dilawan jika
bisa mengontrol mood, tidak berpikir buruk selama sakit, dan mau berusaha
menaati aturan petugas medis. Serta, banyak makan dan berdoa.

Saya merasa, doa adalah hal yang paling kuat
di antara treatment lainnya. Teman yang tahu saya kena corona, pada akhirnya
juga tidak memandang saya yang gimana-gimana.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru