Malam itu, di sebuah kafe yang selalu dipenuhi dengan gemuruh suara, aku duduk di sudut yang sunyi, tenggelam dalam renungan tentang batas-batas yang terus dipaksakan pada seni, terutama sastra. Kafe ini, lebih mirip ruang diskusi tanpa akhir ketimbang sekadar tempat ngopi, menjadi saksi bisu dari perdebatan-perdebatan yang datang dan pergi, seolah tak terikat oleh waktu.