33.8 C
Jakarta
Saturday, August 9, 2025

Curhat ke AI, Tren Baru Remaja yang Ternyata Menyimpan Bahaya

PROKALTENG.CO– Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, fenomena unik muncul di kalangan remaja, curhat ke chatbot AI. Aktivitas ini dianggap sebagai alternatif populer untuk terapi, memberikan ruang aman untuk bercerita kapan saja. Namun, di balik kemudahannya, para ahli mengingatkan potensi risiko serius yang bisa mengintai kesehatan mental.

Banyak remaja mengaku menemukan kenyamanan saat berbicara dengan chatbot AI. Tanpa rasa takut dihakimi, mereka bebas menumpahkan isi hati. Sayangnya, kebiasaan ini dapat menumbuhkan ketergantungan yang berbahaya, bahkan membuat pengguna menganggap AI sebagai “teman nyata”.

Pakar psikologi menilai, chatbot AI memang dirancang untuk selalu patuh dan memuaskan penggunanya.

“Chatbot AI adalah sistem yang dirancang agar mengikuti ‘tuan’nya. Jika orang bercerita ke chatbot AI, maka ‘robot’ tersebut telah diatur untuk menjawab dengan jawaban yang memuaskan,” jelas Presiden Asosiasi Psikolog Australia, Sahra O’Doherty.

Baca Juga :  Simak Keunggulan dan Spesifikasi iPhone 12

Namun, O’Doherty menegaskan, teknologi ini ibarat cermin, hanya memantulkan apa yang kita masukkan tanpa memberi perspektif baru.

“Masalahnya sebenarnya adalah gagasan AI itu seperti cermin. Ia memantulkan kembali apa yang Anda masukkan ke dalamnya. Artinya, AI tidak akan menawarkan perspektif alternatif. AI tidak akan menawarkan saran, strategi, atau nasihat hidup lainnya,” ujarnya.

Kenyamanan yang diberikan AI memang menggoda, tapi bisa menjadi jebakan berbahaya.

“Itu menjadi sangat berbahaya ketika orang tersebut sudah dalam risiko dan kemudian mencari dukungan dan bergantung dari AI,” tambahnya.

Kasus tragis pernah terjadi pada 2023, saat seorang pria di Belgia mengakhiri hidupnya setelah curhat ke chatbot AI. Peristiwa lain di Florida juga mengejutkan publik, ketika seorang pria dengan gangguan bipolar dan skizofrenia menyerang polisi karena mempercayai karakter fiksi dalam AI.

Baca Juga :  Buruan Klaim Kode Redeem Free Fire (FF) Terbaru: Ayo Miliki Hadiah Menarik Sekarang!

O’Doherty mengingatkan pentingnya memisahkan dunia nyata dan virtual.

“Yang bisa dilakukan adalah menggunakan alat tersebut untuk mendukung dan menopang kemajuan dalam terapi, tetapi menggunakannya sebagai pengganti sering kali memiliki lebih banyak risiko daripada manfaatnya,” katanya.

Meski mengakui krisis biaya hidup membuat akses terapi sulit, O’Doherty menegaskan bahwa AI sebaiknya diposisikan hanya sebagai alat bantu, bukan pengganti hubungan manusia.

Fenomena ini membuka mata bahwa di era digital, kemudahan bukan selalu berarti aman. Teknologi canggih seperti AI memang bisa menjadi sahabat, tetapi tetap dibutuhkan keseimbangan agar kemanusiaan tetap terjaga. (bil/gab/fir/jpg)

PROKALTENG.CO– Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, fenomena unik muncul di kalangan remaja, curhat ke chatbot AI. Aktivitas ini dianggap sebagai alternatif populer untuk terapi, memberikan ruang aman untuk bercerita kapan saja. Namun, di balik kemudahannya, para ahli mengingatkan potensi risiko serius yang bisa mengintai kesehatan mental.

Banyak remaja mengaku menemukan kenyamanan saat berbicara dengan chatbot AI. Tanpa rasa takut dihakimi, mereka bebas menumpahkan isi hati. Sayangnya, kebiasaan ini dapat menumbuhkan ketergantungan yang berbahaya, bahkan membuat pengguna menganggap AI sebagai “teman nyata”.

Pakar psikologi menilai, chatbot AI memang dirancang untuk selalu patuh dan memuaskan penggunanya.

“Chatbot AI adalah sistem yang dirancang agar mengikuti ‘tuan’nya. Jika orang bercerita ke chatbot AI, maka ‘robot’ tersebut telah diatur untuk menjawab dengan jawaban yang memuaskan,” jelas Presiden Asosiasi Psikolog Australia, Sahra O’Doherty.

Baca Juga :  Simak Keunggulan dan Spesifikasi iPhone 12

Namun, O’Doherty menegaskan, teknologi ini ibarat cermin, hanya memantulkan apa yang kita masukkan tanpa memberi perspektif baru.

“Masalahnya sebenarnya adalah gagasan AI itu seperti cermin. Ia memantulkan kembali apa yang Anda masukkan ke dalamnya. Artinya, AI tidak akan menawarkan perspektif alternatif. AI tidak akan menawarkan saran, strategi, atau nasihat hidup lainnya,” ujarnya.

Kenyamanan yang diberikan AI memang menggoda, tapi bisa menjadi jebakan berbahaya.

“Itu menjadi sangat berbahaya ketika orang tersebut sudah dalam risiko dan kemudian mencari dukungan dan bergantung dari AI,” tambahnya.

Kasus tragis pernah terjadi pada 2023, saat seorang pria di Belgia mengakhiri hidupnya setelah curhat ke chatbot AI. Peristiwa lain di Florida juga mengejutkan publik, ketika seorang pria dengan gangguan bipolar dan skizofrenia menyerang polisi karena mempercayai karakter fiksi dalam AI.

Baca Juga :  Buruan Klaim Kode Redeem Free Fire (FF) Terbaru: Ayo Miliki Hadiah Menarik Sekarang!

O’Doherty mengingatkan pentingnya memisahkan dunia nyata dan virtual.

“Yang bisa dilakukan adalah menggunakan alat tersebut untuk mendukung dan menopang kemajuan dalam terapi, tetapi menggunakannya sebagai pengganti sering kali memiliki lebih banyak risiko daripada manfaatnya,” katanya.

Meski mengakui krisis biaya hidup membuat akses terapi sulit, O’Doherty menegaskan bahwa AI sebaiknya diposisikan hanya sebagai alat bantu, bukan pengganti hubungan manusia.

Fenomena ini membuka mata bahwa di era digital, kemudahan bukan selalu berarti aman. Teknologi canggih seperti AI memang bisa menjadi sahabat, tetapi tetap dibutuhkan keseimbangan agar kemanusiaan tetap terjaga. (bil/gab/fir/jpg)

Terpopuler

Artikel Terbaru