26.3 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Stresor Masih Ada, Gangguan Psikis Mengintai ketika Pandemi

Empat
bulan terakhir banyak hal yang berubah. Pasangan yang LDR kian berjarak. Anak
di rumah terus-menerus jadi rindu berteman. Kepala keluarga kehilangan
pekerjaan yang berujung fakir kuota. Banyak lagi hal lain. Cemas, kesepian, dan
resah pun jadi keluhan.

MARET
2020. Inilah saat masyarakat Indonesia mulai menjalani kehidupan yang jauh
berbeda. Aktivitas bekerja, sekolah, jual beli, hingga olahraga banyak
dilakukan dari rumah. Pandemi Covid-19 jadi stresor alias sumber stres baru.

Dalam
rentang empat bulan, idealnya seseorang sudah bisa beradaptasi. ’’Tapi, untuk
betul-betul bisa menyesuaikan diri, sangat sulit,’’ kata dr Nalini Muhdi
SpKJ(K). Sebab, pada kondisi sekarang, stresor masih ada. Bahkan, menurut
pengamatannya, seiring waktu, banyak orang yang justru putus asa. Sebab,
pandemi menghadirkan situasi yang serbatidak pasti.

Masyarakat
awam juga dihadapkan pada kondisi ambigu. ’’Pandemi ini masih terbuka pada
riset. Banyak beda pendapat dan regulasi,’’ urai psikiater yang berpraktik di
RSUD dr Soetomo, Surabaya, itu. Alhasil, stres berubah menjadi distress.
Kondisi timpang karena kecemasan tidak diimbangi dengan adanya harapan.

Nalini
menjelaskan, dari data terbaru WHO, pandemi memunculkan dua gangguan utama.
Gangguan kecemasan (anxiety disorder) dan depresi. Padahal, pemerintah maupun
organisasi dunia sudah menginstruksikan protokol kesehatan. Tentu, untuk
memproteksi diri dan memutus mata rantai penularan. Namun, ada saja yang
ketakutan. Bahkan, sampai mengenakan alat pelindung diri (APD) untuk berbelanja.
Peranti yang harusnya dikenakan tenaga medis di ruang isolasi. Tak sedikit yang
memilih mengurung diri di rumah.

Baca Juga :  Bawang Putih Turunkan Risiko Kanker Payudara?

Psikolog
Vera Itabiliana Hadiwidjojo SPsi menambahkan, ketakutan muncul karena seseorang
terlalu banyak menyerap informasi. ’’Info yang salah juga diserap sehingga jadi
overload dan ketakutan,’’ ungkapnya ketika dihubungi Jawa Pos Senin pekan lalu
(13/7).

Selektiflah
memilih sumber berita. Begitu sarannya. ’’Atau, untuk sementara, jangan ikuti
berita dulu sampai kondisi psikis lebih tenang,’’ lanjutnya.

Psikolog
di Lembaga Psikologi Universitas Indonesia itu meminta kita berfokus pada
aktivitas atau hobi yang memberi energi positif. Dengan begitu, tidak ada celah
memikirkan hal negatif yang belum tentu terjadi.

Sebab,
pikiran-pikiran negatif yang dibiarkan berisiko depresi. Tandanya, muncul
perasaan tidak berguna, tidak berdaya, dan tidak bermanfaat bagi orang lain.
’’Depresi juga bisa ditandai dengan keinginan bunuh diri,’’ jelas Vera.

Menurut
dia, seseorang bisa mengetahui kondisi mentalnya. Caranya, memperhatikan pola
keseharian. Kondisi stabil ditandai dengan pola makan dan tidur yang baik serta
terkontrol. Pikiran pun didominasi emosi positif. ’’Kalau seperti itu, bisa
dibilang kita cukup mampu mempertahankan kesehatan mental,’’ tegasnya.

CABIN
FEVER SYNDROME

Lama
di rumah, baik bersama keluarga maupun sendiri, bisa memicu cabin fever
syndrome. Seperti apa sih, sindrom tersebut?

KELUHAN
UMUM

Gelisah

Lesu

Sedih
dan kesepian, berisiko depresi

Sulit
konsentrasi

Kurang
sabar

Baca Juga :  3 Alasan Mengapa Anda Butuh Liburan

Motivasi
menurun

Mudah
tersinggung

Putus
asa

Muncul
gangguan tidur (sulit tidur, mudah mengantuk, sulit bangun)

Food
craving atau mengidam makanan

Perubahan
berat badan

YUK,
REDAKAN STRES

Jadwalkan
ke luar rumah

Jalan-jalan
di sekitar rumah bisa menjadi penyegaran di masa pandemi. Agar lebih aman,
lakukan ketika sepi. Untuk lansia atau kategori berisiko, berkeliling dengan
mobil beberapa hari sekali bisa jadi opsi.

Buat
jadwal harian

Tetap
buat jadwal meski kegiatan terbatas. Dengan begitu, ketika bangun tidur, ada
tujuan yang akan dicapai. Target membaca buku atau membereskan lemari pun bisa
masuk jadwal.

Berkebun

Bertanam,
baik di dalam pot sekalipun, bisa meredam stres. Mengamati pertumbuhan tanaman
bisa membuat si penanamnya bahagia.

Dekatkan
diri pada Tuhan

Khawatir,
cemas, dan takut di masa seperti sekarang di luar kendali dan prediksi manusia.
Momen ini jadi saat tepat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Sebab, kuasa-Nya
membuat hal yang mustahil bisa terwujud.

JAGA
KESTABILAN EMOSI

Menerima
situasi yang ada.

Fokus
dengan apa yang dimiliki dan disenangi.

Syukuri
dan manfaatkan yang dimiliki untuk survive sampai kondisi menjadi lebih baik.

Tanamkan
dalam diri bahwa situasi sulit melahirkan individu/keluarga yang tangguh.

BAGAIMANA
BILA YANG TERKASIH TERTEKAN?

Jadilah
pendengar dengan menyimak keluh kesahnya.

Terima
apa yang dibicarakannya, pahami apa yang dirasakannya.

Setelah
lebih tenang, pikirkan solusi terbaik bersama-sama.

Empat
bulan terakhir banyak hal yang berubah. Pasangan yang LDR kian berjarak. Anak
di rumah terus-menerus jadi rindu berteman. Kepala keluarga kehilangan
pekerjaan yang berujung fakir kuota. Banyak lagi hal lain. Cemas, kesepian, dan
resah pun jadi keluhan.

MARET
2020. Inilah saat masyarakat Indonesia mulai menjalani kehidupan yang jauh
berbeda. Aktivitas bekerja, sekolah, jual beli, hingga olahraga banyak
dilakukan dari rumah. Pandemi Covid-19 jadi stresor alias sumber stres baru.

Dalam
rentang empat bulan, idealnya seseorang sudah bisa beradaptasi. ’’Tapi, untuk
betul-betul bisa menyesuaikan diri, sangat sulit,’’ kata dr Nalini Muhdi
SpKJ(K). Sebab, pada kondisi sekarang, stresor masih ada. Bahkan, menurut
pengamatannya, seiring waktu, banyak orang yang justru putus asa. Sebab,
pandemi menghadirkan situasi yang serbatidak pasti.

Masyarakat
awam juga dihadapkan pada kondisi ambigu. ’’Pandemi ini masih terbuka pada
riset. Banyak beda pendapat dan regulasi,’’ urai psikiater yang berpraktik di
RSUD dr Soetomo, Surabaya, itu. Alhasil, stres berubah menjadi distress.
Kondisi timpang karena kecemasan tidak diimbangi dengan adanya harapan.

Nalini
menjelaskan, dari data terbaru WHO, pandemi memunculkan dua gangguan utama.
Gangguan kecemasan (anxiety disorder) dan depresi. Padahal, pemerintah maupun
organisasi dunia sudah menginstruksikan protokol kesehatan. Tentu, untuk
memproteksi diri dan memutus mata rantai penularan. Namun, ada saja yang
ketakutan. Bahkan, sampai mengenakan alat pelindung diri (APD) untuk berbelanja.
Peranti yang harusnya dikenakan tenaga medis di ruang isolasi. Tak sedikit yang
memilih mengurung diri di rumah.

Baca Juga :  Bawang Putih Turunkan Risiko Kanker Payudara?

Psikolog
Vera Itabiliana Hadiwidjojo SPsi menambahkan, ketakutan muncul karena seseorang
terlalu banyak menyerap informasi. ’’Info yang salah juga diserap sehingga jadi
overload dan ketakutan,’’ ungkapnya ketika dihubungi Jawa Pos Senin pekan lalu
(13/7).

Selektiflah
memilih sumber berita. Begitu sarannya. ’’Atau, untuk sementara, jangan ikuti
berita dulu sampai kondisi psikis lebih tenang,’’ lanjutnya.

Psikolog
di Lembaga Psikologi Universitas Indonesia itu meminta kita berfokus pada
aktivitas atau hobi yang memberi energi positif. Dengan begitu, tidak ada celah
memikirkan hal negatif yang belum tentu terjadi.

Sebab,
pikiran-pikiran negatif yang dibiarkan berisiko depresi. Tandanya, muncul
perasaan tidak berguna, tidak berdaya, dan tidak bermanfaat bagi orang lain.
’’Depresi juga bisa ditandai dengan keinginan bunuh diri,’’ jelas Vera.

Menurut
dia, seseorang bisa mengetahui kondisi mentalnya. Caranya, memperhatikan pola
keseharian. Kondisi stabil ditandai dengan pola makan dan tidur yang baik serta
terkontrol. Pikiran pun didominasi emosi positif. ’’Kalau seperti itu, bisa
dibilang kita cukup mampu mempertahankan kesehatan mental,’’ tegasnya.

CABIN
FEVER SYNDROME

Lama
di rumah, baik bersama keluarga maupun sendiri, bisa memicu cabin fever
syndrome. Seperti apa sih, sindrom tersebut?

KELUHAN
UMUM

Gelisah

Lesu

Sedih
dan kesepian, berisiko depresi

Sulit
konsentrasi

Kurang
sabar

Baca Juga :  3 Alasan Mengapa Anda Butuh Liburan

Motivasi
menurun

Mudah
tersinggung

Putus
asa

Muncul
gangguan tidur (sulit tidur, mudah mengantuk, sulit bangun)

Food
craving atau mengidam makanan

Perubahan
berat badan

YUK,
REDAKAN STRES

Jadwalkan
ke luar rumah

Jalan-jalan
di sekitar rumah bisa menjadi penyegaran di masa pandemi. Agar lebih aman,
lakukan ketika sepi. Untuk lansia atau kategori berisiko, berkeliling dengan
mobil beberapa hari sekali bisa jadi opsi.

Buat
jadwal harian

Tetap
buat jadwal meski kegiatan terbatas. Dengan begitu, ketika bangun tidur, ada
tujuan yang akan dicapai. Target membaca buku atau membereskan lemari pun bisa
masuk jadwal.

Berkebun

Bertanam,
baik di dalam pot sekalipun, bisa meredam stres. Mengamati pertumbuhan tanaman
bisa membuat si penanamnya bahagia.

Dekatkan
diri pada Tuhan

Khawatir,
cemas, dan takut di masa seperti sekarang di luar kendali dan prediksi manusia.
Momen ini jadi saat tepat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Sebab, kuasa-Nya
membuat hal yang mustahil bisa terwujud.

JAGA
KESTABILAN EMOSI

Menerima
situasi yang ada.

Fokus
dengan apa yang dimiliki dan disenangi.

Syukuri
dan manfaatkan yang dimiliki untuk survive sampai kondisi menjadi lebih baik.

Tanamkan
dalam diri bahwa situasi sulit melahirkan individu/keluarga yang tangguh.

BAGAIMANA
BILA YANG TERKASIH TERTEKAN?

Jadilah
pendengar dengan menyimak keluh kesahnya.

Terima
apa yang dibicarakannya, pahami apa yang dirasakannya.

Setelah
lebih tenang, pikirkan solusi terbaik bersama-sama.

Terpopuler

Artikel Terbaru