Site icon Prokalteng

5 Faktor Pendorong Manusia Selingkuh Menurut Pakar Sosiologi Keluarga

Ilustrasi selingkuh. (Pixabay.com)

PROKALTENG.CO – Akhir-akhir ini, kasus perselingkuhan kembali menyita perhatian masyarakat hingga menghangat di berbagai kanal media sosial. Tak terkecuali, isu tudingan Penyanyi Melly Goeslaw yang selingkuh 15 tahun silam.

Dalam hal ini, Prof Dr Sutinah Dra MS Dosen Sosiologi Keluarga Universitas Airlangga menanggapi makna selingkuh.

Baginya selingkuh ialah kegiatan emosional dan seksual yang melibatkan seseorang berpasangan dengan landasan komitmen, Tetapi melakukan perbuatan tidak jujur dan menyeleweng dari norma.

“Selingkuh kalau dalam ilmu sosiolog termasuk perilaku menyimpang dari norma-norma yang berlaku, termasuk norma agama, sosial, dan lain-lain,” paparnya.

Pemicunya, baik dari faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal terbentuk dari diri pelaku, yakni dorongan psikis dan biologis.

Sementara faktor eksternal terbentuk dari luar diri pelaku, seperti lingkungan atau keadaan sosial.

Prof Tina menyebutkan lima faktor pendorong selingkuh secara umum, antara lain:

  1. Kebutuhan seks

Perilaku manusia yang mendorong dirinya berselingkuh, dengan alasan hanya ingin merasakan variasi seksual dan romantisme yang berbeda dengan pasangannya.

“Meskipun seks bukan faktor utama, tetapi alasan itu kerap terjadi. Mereka (Red: pelaku selingkuh) berdalih karena kurangnya kepuasan gairah seks dari pasangan,” ujar guru besar fakultas ilmu sosial politik Unair itu.

  1. Tidak mendapat well-treat

Menurutnya, selingkuh juga tidak melulu soal seksual, tetapi juga emosional. Sosiolog ini menduga barangkali pelaku tidak mendapat kedekatan emosional dengan pasangan.

“Pelaku menganggap ada satu kesempatan dan selingkuhannya juga menganggapnya sebagai peluang. Hubungan yang tidak wajar-pun dapat berlangsung,” ujar Prof Tina.

Ia menambahkan rasa-rasanya kurang jika satu hari tidak bertemu dengan pasangan selingkuhannya. Pasalnya, secara sosiologis, manusia tetap membutuhkan interaksi sosial.

Walaupun dapat menggunakan perantara teknologi. Namun, interaksi sosial secara langsung tanpa sekat dan jarak menjadi suatu kebutuhan.

Sebab lebih meningkatkan kehangatan dan pemahaman terhadap lawan bicara.

  1. Coba-coba

Di samping itu, ‘faktor coba-coba’ selingkuh di lingkungan pertemanan terkadang menjadi sebuah perlombaan. Hal itu kerap menciptakan strata kelas sosial dengan predikat ‘berani selingkuh’.

Artinya semakin berani dan rajin selingkuh, maka pelaku selingkuh itu lebih diterima di lingkungan kelompok pertemanan tersebut.

“Pengasosiasian kelompok suami-suami takut istri, membuat calon pelaku terdorong mencoba selingkuh untuk menghapus label takut istri tadi,” imbuhnya.

  1. LDR

Dosen sosiologi ini juga mengungkap Long Distance Relationship (LDR) ataupun Long Distance Marriage (LDM) mengharuskan pasangan berjauhan secara jarak.

“Pada pasangan suami istri memiliki kebutuhan biologis yang harus terpenuhi. Ketika sedang ingin mempergauli tetapi terhalang jarak. Pelaku memilih alternatif dengan melakukannya bersama orang lain,” ujar Prof. Tina.

Ia menegaskan, bahwa tidak semua pasangan LDM melakukan selingkuh. Hal tersebut hanya berlaku bagi orang-orang yang tidak memiliki sekat iman dan sulit mengendalikan hawa nafsu.

  1. Latar Belakang Menikah

Selanjutnya Prof Tina juga menjelaskan bagi sebagian pasangan yang melewati tahap perjodohan. Dengan kondisi kurangnya masa penyesuaian sebelum pernikahan. Dari kurangnya masa pengenalan tersebut, satu sama lain menjadi kurang sreg.

“Lebih jauh lagi,  perjodohan yang berkaitan dengan faktor sosial ekonomi, itu juga berpotensi timbulnya perselingkuhan. Terlebih jika urusan masa lalunya belum selesai,” terang Prof Tina.

Belum lagi, lanjutnya, pelaku selingkuh tidak hanya lelaki saja, melainkan perempuan pun juga demikian. Lantaran pemicu faktor sosial lainnya masih banyak.

Dengan demikian, dosen sosiolog UNAIR ini membagikan salah satu langkah preventif dalam perselingkuhan yakni dengan komunikasi yang efektif.

‘’Meskipun sudah berkeluarga bukan berarti apa-apa harus ada anak. Sesekali quality time bersama pasangan, atau bisa juga jalan-jalan berdua layaknya masa pacaran. Lakukan hal itu secara berkala,” tuturnya. (pri/jawapos.com)

Exit mobile version