Pekerjaan emosional sering kali tidak masuk dalam daftar tugas harian, tidak pernah disebut dalam pidato penghargaan, dan hampir tak pernah diapresiasi secara langsung. Namun, justru itulah jenis pekerjaan yang paling melelahkan dan sering kali dilakukan oleh perempuan, diam-diam, setiap hari.
Bentuknya tidak dramatis. Tidak mencolok. Tapi justru karena diam-diam itulah, tugas-tugas ini menguras energi secara perlahan tapi pasti.
Mulai dari mengingat jadwal keluarga hingga menjadi penengah konflik, semuanya dilakukan dalam senyap. Dan meski kelihatannya ringan, beban emosional ini bisa menumpuk dan membuat siapa pun kelelahan.
Yuk, kita bahas sepuluh tugas emosional yang paling sering bikin perempuan capek tanpa disadari, dikutip dari Geediting, Jumat (23/5).
- Jadi ‘pengatur waktu’ keluarga
Siapa yang tahu kapan anak harus ke dokter? Siapa yang ingat tanggal ulang tahun tante, sepupu, sampai cucu tetangga? Kemungkinan besar, jawabannya adalah: Ibu. Perempuan sering kali menjadi “otak kalender” rumah tangga, mengatur, mengingat, dan memastikan semuanya berjalan lancar.
Meskipun kelihatan sepele, tugas ini butuh perhatian dan energi terus-menerus. Mengatur jadwal itu artinya otak tidak pernah benar-benar istirahat. Solusinya? Gunakan aplikasi atau kalender bersama agar semua anggota keluarga ikut bertanggung jawab.
- Menenangkan suasana hati semua orang
Perempuan sering menjadi penyejuk saat suasana hati di rumah memanas. Anak tantrum? Pasangan bad mood? Saudara sensi? Dialah yang turun tangan meredam emosi.
Masalahnya, menjadi orang yang selalu harus tenang dan sabar itu menguras energi. Apalagi kalau di saat yang sama, kita juga sedang berjuang dengan emosi sendiri. Maka, penting untuk berbagi peran biar nggak semua beban jatuh ke satu orang saja.
- Jadi koordinator acara sosial
Dari kumpul keluarga sampai pesta ulang tahun anak, biasanya perempuan yang jadi panitia dadakan. Mulai dari cari tanggal, booking tempat, sampe ngecek siapa bawa apa.
Lama-lama, jadi MC sosial seperti ini bisa bikin lelah batin. Jangan ragu minta bantuan. Biar acara tetap jalan, tanpa harus mengorbankan ketenangan hati sendiri.
- Selalu tahu apa yang harus dilakukan
Ketika ada yang harus dikerjakan, entah buang sampah atau isi ulang sabun, perempuan seringkali yang pertama sadar, dan akhirnya langsung mengurus.
Insting “lihat masalah-lalu-bereskan” ini melelahkan, karena membuat otak terus bekerja, bahkan saat seharusnya istirahat. Cobalah untuk mulai membagi tugas dan beri kesempatan orang lain ikut tanggap.
- Siaga menghadapi skenario terburuk
Satu tas ibu bisa isinya mulai dari tisu, plester, sampai snack cadangan dan payung. Kedengarannya lucu, tapi ini mencerminkan beban berpikir yang berat—karena selalu harus siap untuk segala kemungkinan.
Sesekali, biarkan orang lain yang merencanakan. Tidak apa-apa kalau mereka lupa sesuatu. Yang penting, Anda juga bisa bernapas lega.
- Jadi tempat curhat 24 jam
Saat ada yang patah hati atau stres kerjaan, perempuan sering jadi “hotline moral support”. Menjadi pendengar dan pemberi semangat memang mulia, tapi kalau terlalu sering, itu bisa menyita emosi.
Batasan itu penting. Anda bisa peduli tanpa harus selalu tersedia. Jangan ragu menyarankan mereka bicara juga ke orang lain atau profesional.
- Mengelola drama keluarga
Berperan sebagai diplomat keluarga bisa melelahkan. Apalagi kalau harus memastikan dua kerabat yang bermusuhan tidak duduk bersebelahan di acara kumpul keluarga. Kadang, kita terlalu sibuk menjaga agar tidak ada yang tersinggung, sampai lupa menjaga perasaan sendiri. Wajar kalau akhirnya capek hati dan butuh jeda.
- Terus bersikap ‘ramah’ meski tidak nyaman
Ada tekanan sosial agar perempuan selalu tampil ramah, tersenyum, dan tidak menyinggung siapa pun. Tapi pura-pura baik saat sedang kesal justru menguras energi lebih besar.
Cobalah lebih jujur terhadap perasaan Anda. Bukan berarti jadi kasar—tapi jujur itu bagian dari merawat diri juga.
- Memantau kesehatan emosional anak
Mengajarkan anak tentang perasaan, empati, dan cara mengelola emosi bukan hal sepele. Ini adalah proyek jangka panjang yang melelahkan—dan sering kali jadi tanggung jawab utama ibu.
Bahkan jika ayahnya hadir sesekali, ibu biasanya yang jadi “mentor emosi” sehari-hari. Ini pekerjaan penting, tapi juga berat. Maka, penting untuk mengakui beban itu, dan mencari dukungan bila perlu.
- Merasa bersalah saat mengambil waktu untuk diri sendiri
Ketika akhirnya bisa istirahat, suara hati kadang berbisik, “Harusnya kamu lagi ngurusin sesuatu deh.” Rasa bersalah ini adalah beban tambahan yang sering diabaikan.
Padahal, istirahat adalah kebutuhan, bukan kemewahan. Kalau Anda tidak menjaga diri sendiri, siapa lagi yang akan melakukannya?
Kesimpulan: Waktunya untuk berkata jujur dan menetapkan batas
Beban emosional yang diemban perempuan sering tidak kelihatan, tapi dampaknya nyata. Dengan menyadarinya, kita bisa mulai menata ulang peran-peran itu. Tetapkan batasan, belajar berkata tidak, dan izinkan diri Anda beristirahat.
Merawat diri sendiri bukan egois itu penting. Karena perempuan yang bahagia dan seimbang akan hadir lebih kuat untuk semua orang di sekitarnya.(jpc)