29.1 C
Jakarta
Monday, July 21, 2025

Ketika Dunia Digital Menggerus Citra Diri

Di era digital yang serba visual, media sosial kini telah menjadi ruang utama bagi banyak orang, terutama generasi muda, untuk mengekspresikan diri. Namun, di balik tren membagikan swafoto (selfie) dengan tampilan sempurna yang dibantu oleh filter, terdapat sisi lain yang mengkhawatirkan.

Sisi tersebut yakni munculnya tekanan terhadap citra tubuh dan meningkatnya gangguan dismorfik tubuh atau body dysmorphia. Seperti dilansir dari laman Newport Institute, Senin (21/7), disebutkan bahwa individu, terutama dewasa muda, yang sering menggunakan filter wajah di media sosial cenderung mengalami ketidakpuasan terhadap penampilan mereka di dunia nyata.

Mereka tidak hanya membandingkan diri dengan foto-foto selebritas atau influencer yang terlihat ideal, tetapi juga dengan versi diri mereka sendiri yang telah diedit dan dimanipulasi filter. Perbandingan yang terjadi terus-menerus ini dapat mengikis kepercayaan diri dan memperburuk citra tubuh secara keseluruhan.

Fenomena yang Munculkan Filter Dysmorphia

Fenomena ini dikenal sebagai filter dysmorphia atau Snapchat dysmorphia, yakni kondisi di mana seseorang merasa sangat terganggu oleh “ketidaksempurnaan” wajah atau tubuhnya sendiri setelah terlalu sering melihat dirinya melalui filter yang menyempurnakan penampilan.

Filter-filter ini biasanya membuat kulit tampak lebih mulus, hidung lebih ramping, mata lebih besar, bahkan membentuk wajah menyerupai standar kecantikan tertentu yang cenderung tidak realistis. Dalam banyak kasus, kondisi ini mendorong seseorang untuk mengalami semacam keterputusan antara penampilan mereka yang sebenarnya dan penampilan mereka di media sosial.

Baca Juga :  Cuan Bakal Berlimpah Ruah, Ini 3 Shio Paling Beruntung pada Kamis Besok

Mereka mulai melihat tubuh mereka sebagai objek yang harus diperbaiki atau ditingkatkan, bukan sebagai bagian dari identitas diri yang harus diterima dan dihargai. Proses ini disebut sebagai self-objectification, di mana seseorang mulai menilai nilai diri mereka dari tampilan luar semata.

Bisa Timbulkan Keinginan untuk Operasi Plastik

Lebih mengkhawatirkan lagi, kondisi ini tidak jarang mendorong penderitanya untuk mencari solusi instan dalam bentuk tindakan medis, seperti prosedur bedah kosmetik atau perawatan wajah ekstrem, demi terlihat seperti versi digital diri mereka yang sudah difilter. Menurut Newport Institute, orang-orang yang kecanduan menggunakan aplikasi penyunting wajah juga lebih berisiko mempertimbangkan atau melakukan operasi plastik.

Tak hanya soal tekanan penampilan, banyak filter juga dituding mengandung bias rasial. Beberapa filter secara otomatis mencerahkan warna kulit, memperkecil hidung, dan memodifikasi fitur wajah agar lebih mendekati standar kecantikan Eropa.

Standar yang sempit ini secara tidak langsung menyingkirkan keberagaman dan mengarahkan pengguna untuk merasa bahwa penampilan alami mereka kurang ideal atau bahkan tidak diterima secara sosial. Kecenderungan ini tidak hanya berdampak pada individu secara pribadi, tetapi juga memperkuat budaya perfeksionisme di ruang digital.

Baca Juga :  Kepribadian yang Sering Dikaitkan dengan Orang-orang yang Memilih Mengunci Profil Medsos

Alih-alih menjadi platform untuk ekspresi diri yang autentik, media sosial kerap berubah menjadi etalase kecantikan palsu yang menciptakan tekanan kolektif: semua orang harus tampil sempurna, kapan pun dan di mana pun.

Bisa Timbulkan Masalah Kesehatan Lebih Luas dalam Jangka Panjang

Dalam jangka panjang, paparan terhadap standar kecantikan yang tidak realistis ini berisiko menimbulkan masalah kesehatan mental yang lebih luas. Rasa cemas, depresi, isolasi sosial, hingga rendahnya harga diri menjadi efek domino yang tak bisa diabaikan.

Maka dari itu, penting bagi pengguna media sosial, terutama generasi muda, untuk membangun kesadaran kritis dalam menggunakan teknologi ini. Edukasi tentang kesehatan mental, literasi digital, serta penerimaan diri menjadi kunci penting dalam menangkal dampak negatif filter dan budaya perbandingan sosial.

Media sosial seharusnya menjadi ruang aman bagi semua orang untuk tampil otentik, bukan arena yang memperburuk ketidakpuasan terhadap diri sendiri. Sebab kecantikan yang sejati tidak datang dari algoritma, tetapi dari penerimaan dan cinta terhadap diri sendiri.(jpc)

Di era digital yang serba visual, media sosial kini telah menjadi ruang utama bagi banyak orang, terutama generasi muda, untuk mengekspresikan diri. Namun, di balik tren membagikan swafoto (selfie) dengan tampilan sempurna yang dibantu oleh filter, terdapat sisi lain yang mengkhawatirkan.

Sisi tersebut yakni munculnya tekanan terhadap citra tubuh dan meningkatnya gangguan dismorfik tubuh atau body dysmorphia. Seperti dilansir dari laman Newport Institute, Senin (21/7), disebutkan bahwa individu, terutama dewasa muda, yang sering menggunakan filter wajah di media sosial cenderung mengalami ketidakpuasan terhadap penampilan mereka di dunia nyata.

Mereka tidak hanya membandingkan diri dengan foto-foto selebritas atau influencer yang terlihat ideal, tetapi juga dengan versi diri mereka sendiri yang telah diedit dan dimanipulasi filter. Perbandingan yang terjadi terus-menerus ini dapat mengikis kepercayaan diri dan memperburuk citra tubuh secara keseluruhan.

Fenomena yang Munculkan Filter Dysmorphia

Fenomena ini dikenal sebagai filter dysmorphia atau Snapchat dysmorphia, yakni kondisi di mana seseorang merasa sangat terganggu oleh “ketidaksempurnaan” wajah atau tubuhnya sendiri setelah terlalu sering melihat dirinya melalui filter yang menyempurnakan penampilan.

Filter-filter ini biasanya membuat kulit tampak lebih mulus, hidung lebih ramping, mata lebih besar, bahkan membentuk wajah menyerupai standar kecantikan tertentu yang cenderung tidak realistis. Dalam banyak kasus, kondisi ini mendorong seseorang untuk mengalami semacam keterputusan antara penampilan mereka yang sebenarnya dan penampilan mereka di media sosial.

Baca Juga :  Cuan Bakal Berlimpah Ruah, Ini 3 Shio Paling Beruntung pada Kamis Besok

Mereka mulai melihat tubuh mereka sebagai objek yang harus diperbaiki atau ditingkatkan, bukan sebagai bagian dari identitas diri yang harus diterima dan dihargai. Proses ini disebut sebagai self-objectification, di mana seseorang mulai menilai nilai diri mereka dari tampilan luar semata.

Bisa Timbulkan Keinginan untuk Operasi Plastik

Lebih mengkhawatirkan lagi, kondisi ini tidak jarang mendorong penderitanya untuk mencari solusi instan dalam bentuk tindakan medis, seperti prosedur bedah kosmetik atau perawatan wajah ekstrem, demi terlihat seperti versi digital diri mereka yang sudah difilter. Menurut Newport Institute, orang-orang yang kecanduan menggunakan aplikasi penyunting wajah juga lebih berisiko mempertimbangkan atau melakukan operasi plastik.

Tak hanya soal tekanan penampilan, banyak filter juga dituding mengandung bias rasial. Beberapa filter secara otomatis mencerahkan warna kulit, memperkecil hidung, dan memodifikasi fitur wajah agar lebih mendekati standar kecantikan Eropa.

Standar yang sempit ini secara tidak langsung menyingkirkan keberagaman dan mengarahkan pengguna untuk merasa bahwa penampilan alami mereka kurang ideal atau bahkan tidak diterima secara sosial. Kecenderungan ini tidak hanya berdampak pada individu secara pribadi, tetapi juga memperkuat budaya perfeksionisme di ruang digital.

Baca Juga :  Kepribadian yang Sering Dikaitkan dengan Orang-orang yang Memilih Mengunci Profil Medsos

Alih-alih menjadi platform untuk ekspresi diri yang autentik, media sosial kerap berubah menjadi etalase kecantikan palsu yang menciptakan tekanan kolektif: semua orang harus tampil sempurna, kapan pun dan di mana pun.

Bisa Timbulkan Masalah Kesehatan Lebih Luas dalam Jangka Panjang

Dalam jangka panjang, paparan terhadap standar kecantikan yang tidak realistis ini berisiko menimbulkan masalah kesehatan mental yang lebih luas. Rasa cemas, depresi, isolasi sosial, hingga rendahnya harga diri menjadi efek domino yang tak bisa diabaikan.

Maka dari itu, penting bagi pengguna media sosial, terutama generasi muda, untuk membangun kesadaran kritis dalam menggunakan teknologi ini. Edukasi tentang kesehatan mental, literasi digital, serta penerimaan diri menjadi kunci penting dalam menangkal dampak negatif filter dan budaya perbandingan sosial.

Media sosial seharusnya menjadi ruang aman bagi semua orang untuk tampil otentik, bukan arena yang memperburuk ketidakpuasan terhadap diri sendiri. Sebab kecantikan yang sejati tidak datang dari algoritma, tetapi dari penerimaan dan cinta terhadap diri sendiri.(jpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru

/