Tak sedikit orang yang merasa terganggu dengan pasangan yang selalu mengumbar kebahagiaan di media sosial. Mulai dari foto profil yang menunjukan selfie berdua yang tersenyum, status yang menunjukkan inside-joke, sampai kalian mempertanyakan mengapa mereka bisa bersama?
Berbeda dengan tampilan di depan publik, di balik pintu yang tertutup, pasangan-pasangan ini selalu bertengkar tentang segala hal, mulai dari pekerjaan rumah hingga keuangan. Bahkan di antaranya menunjukkan hubungan di ambang perpisahan.
Hal ini menjadi sangat melelahkan hingga kalian mulai merindukan hari-hari ketika status media terasa menyenangkan. Sayangnya, media sosial telah berkembang menjadi bagian kehidupan sehari-hari yang mencangkup berbagai banyak informasi tentang hubungan seseorang.
Masalahnya pasangan yang benar-benar bahagia tidak perlu membanggakannya. Bahkan, beberapa pasangan bahagia jarang membicarakan hubungan mereka di media sosial.Dilansir dari inc. 7 alasan ini menunjukkan bahwa pasangan yang bahagia jarang membagikan status dan mengumbar hubungan di media sosial.
- Tidak membutuhkan validasi orang lain
Bila dua orang terus-menerus mengunggah lelucon, menyatakan cinta mereka satu sama lain, atau berbagi foto diri tengah melakukan aktivitas yang menyenangkan dan romantis berdua, itu adalah taktik yang digunakan untuk meyakinkan orang lain bahwa mereka berada dalam hubungan yang bahagia dan sehat.
Hal ini bukanlah hal yang diperlukan oleh pasangan bahagia. Pasangan yang bahagia tidak akan menggunakan cara ini untuk menipu diri sendiri agar berpikir bahwa mereka berada dalam hubungan yang bahagia dan sehat.
Mereka tidak membutuhkan validasi atas hubungan mereka dari orang lain di media sosial. Mereka dan pasangannya merasa bahagia tanpa perlu mendapatkan suka atau komentar yang menguatkan dari orang lain, karena telah membangun hubungan yang bahagia berdua.
- Tidak memiliki sifat psikopat dan narsis
Sebuah survei terhadap 800 pria yang berusia 18 hingga 40 tahun menemukan bahwa narsisme dan psikopat memprediksi jumlah selfie yang diunggah, sedangkan narsisme dan objektifikasi diri memprediksi penyuntingan foto diri sendiri yang diunggah.
Studi lain menemukan bahwa orang yang memposting, menandai, dan berkomentar di Facebook sering dikaitkan dengan narsisme pada pria dan wanita. Singkatnya, semakin seseorang yang memposting atau terlibat di media sosial, maka besar kemungkinan ia adalah narsis atau lebih buruk psikopat.
- Saat bahagia, tidak terganggu dengan media social
Akan ada banyak waktu di mana mereka bisa berbagi status atau foto bersama pasangan. Namun, alih-alih bermain media sosial, pasangan yang bahagia sibuk menikmati kebersamaan mereka saat ini.
Mereka tidak akan berhenti menikmati kebersamaan berdua pasangan hanya untuk memposting status atau selfie yang dibagikan di sosial media. Itulah sebabnya, banyak pasangan yang jarang mengunggah foto karena terlalu sibuk bersenang-senang hingga tidak sempat mengunggah foto.
- Merasa aman bersama pasangan
Menurut sebuah survei yang dilakukan pada lebih dari 100 pasangan, peneliti dari Universitas Northwestern menemukan mereka yang lebih sering mengunggah postingan di media sosial tentang pasangannya sebenarnya merasa tidak aman dalam hubungan mereka.
Ini adalah bentuk pertahanan diri untuk membagikan wajah dan keseharian bersama pasangan untuk menjaga jika terjadi suatu hal di kemudian hari. Misalnya pasangannya yang ternyata dekat dengan wanita lain atau memiliki masa lalu yang kurang baik, yang ternyata diketahui oleh orang lain.
- Menjaga argumen di dunia nyata
Pernahkah kalian melihat pasangan yang sedang bertengkar di media sosial. Bayangkan pertengkaran itu menjadi tontonan oleh orang di seluruh dunia lewat media sosial.
Alih-alih merekam atau mengunggah video kemarahan dan kata-kata kasar, pasangan yang bahagia akan lebih memilih pertengkaran tersebut dibicarakan secara pribadi antara pasangan.Mereka merasa tidak perlu mengumbar aibnya kepada semua teman, keluarga, rekan kerja, atau bahkan klien.
- Harga dirinya bukan tergantung pada hubungan
Para peneliti dari Albright College menyebutnya sebagai Relationship Contingent Self-Esteem (RCSE). RCSE digambarkan sebagai bentuk harga diri yang tidak sehat. RCSE ini bergantung pada seberapa baik hubungan yang mereka jalani.
Orang-orang ini biasanya menggunakan media sosial untuk membanggakan hubungan mereka, membuat orang lain cemburu, dan bahkan memata-matai pasangannya.Hasil ini menunjukkan bahwa mereka yang memiliki RCSE tinggi, perlu menunjukkan ke orang lain, pasangan mereka, dan mungkin diri sendiri bahwa hubungan tersebut baik-baik saja.
- Tidak perlu membuktikan apapun
Pasangan yang benar-benar bahagia tidak memerlukan validasi dari media sosial untuk membuktikan betapa bahagianya mereka. Mereka tidak perlu pamer, membuat orang lain cemburu, atau mengawasi pasangannya.
Orang-orang ini akan merasa aman dan puas dalam hubungan tersebut. Mereka tidak perlu membicarakannya secara berlebihan karena merasa puas dengan hubungan yang dijalaninya.(jpc)