Tak peduli seberapa besar gaji yang diterima, ada orang-orang yang selalu merasa uangnya tak pernah cukup. Bukan karena nasib buruk atau sistem yang menindas, tapi karena satu hal sederhana yang kerap diabaikan: cara mereka berbicara tentang uang.
Tanpa sadar, kalimat-kalimat yang diucapkan sehari-hari bisa mencerminkan pola pikir yang merusak stabilitas keuangan.
Kalimat seperti “nanti juga diganti” terdengar sepele, bahkan sering dibungkus dengan alasan self-care atau hidup spontan. Padahal, justru dari situlah kebiasaan boros mengakar dan membuat seseorang terjebak dalam siklus finansial yang stagnan.
Banyak orang mengira masalah keuangan hanya soal angka. Padahal, bahasa yang digunakan untuk membenarkan keputusan finansial bisa jadi cerminan dari ketidakmampuan mengelola emosi, keinginan instan, atau bahkan kecemasan yang tak tersadari.
Dilansir dari Your Tango, Minggu (3/8/2025), berikut ini sebelas kalimat yang sering diucapkan oleh mereka yang selalu kesulitan keuangan, apa pun jumlah penghasilannya.
- “Aku pantas mendapatkan self-reward ini”
Kalimat ini sering dijadikan pembenaran untuk belanja impulsif. Alih-alih mencari kenyamanan lewat cara yang sehat, orang-orang yang menggunakan alasan ini justru menggantinya dengan kepuasan instan.
Hadiah untuk diri sendiri memang penting, tapi jika selalu dijadikan alasan untuk boros, maka self-reward justru berubah menjadi self-sabotage.
- “Nanti juga aku pikirin soal itu”
Menghindari masalah bukanlah solusi, apalagi soal keuangan. Orang yang berkata seperti ini biasanya enggan menghadapi kenyataan bahwa keuangannya sedang tidak stabil. Akibatnya, mereka menunda membuat keputusan penting seperti menabung atau membayar utang—dan ujungnya menumpuk masalah.
- “Tenang, sebentar lagi gajian”
Kalimat ini jadi andalan saat dompet mulai menipis. Tapi sering kali, saat gaji datang, uang sudah habis untuk menutup hutang atau kartu kredit. Ini menciptakan siklus “gali lubang tutup lubang” yang sulit diputus jika terus dibenarkan dengan alasan “gajian sebentar lagi”.
- “Aku enggak mau mikirin itu sekarang”
Sikap menghindar dari realitas keuangan—entah itu tagihan, cicilan, atau dana darurat—sering kali membuat seseorang terlambat menyadari besarnya masalah. Kalimat ini adalah bentuk pertahanan diri untuk menghindari rasa tidak nyaman, tapi malah memperparah kondisi finansial di masa depan.
- “Hidup cuma sekali”
YOLO—You Only Live Once—memang terdengar menyenangkan, tapi ketika dijadikan alasan untuk menghamburkan uang, hidup bisa jadi jauh lebih rumit. Kebiasaan ini bisa jadi sinyal bahwa seseorang lebih memilih kesenangan sesaat ketimbang keamanan finansial jangka panjang.
- “Pakai kartu kredit aja dulu”
Mengandalkan kartu kredit untuk kebutuhan sehari-hari atau keinginan impulsif bisa jadi bumerang. Tanpa kontrol dan perencanaan yang matang, tagihan kartu kredit bisa berubah menjadi jerat hutang yang sulit lepas, apalagi jika hanya dibayar minimum setiap bulan.
- “Belanja itu terapi terbaik”
Istilah retail therapy memang populer, tapi kenyataannya ini hanyalah pelarian dari masalah emosional. Saat belanja dijadikan cara untuk merasa lebih baik, seseorang justru semakin jauh dari kestabilan finansial karena tidak punya cara yang sehat untuk mengatur emosi.
- “Yang penting sekarang bahagia dulu”
Fokus pada kebahagiaan jangka pendek sering membuat orang abai terhadap tanggung jawab jangka panjang. Padahal, kebahagiaan yang tidak dibarengi dengan perencanaan finansial yang baik hanya akan membawa stres baru ketika kebutuhan mendesak datang.
- “Nanti juga ada rezeki”
Keyakinan terhadap rezeki memang penting, tapi kalau dijadikan alasan untuk boros, itu namanya pasrah buta. Rezeki bisa datang dari mana saja, tapi tetap perlu didukung dengan keputusan finansial yang rasional dan bertanggung jawab.
- “Aku kerja keras, masa enggak boleh nikmatin?”
Semangat untuk menikmati hasil kerja tentu valid, tapi jika setiap lelah selalu dihadiahi belanja tanpa perhitungan, yang ada justru penghasilan habis tanpa bekas. Menikmati hidup bukan berarti mengabaikan masa depan.
- “Semua orang juga ngelakuin ini”
Membandingkan diri dengan orang lain dalam hal gaya hidup sering berujung pada keputusan impulsif. Hanya karena orang lain membeli sesuatu, bukan berarti kita juga harus ikut. Mengikuti tekanan sosial tanpa melihat kondisi keuangan sendiri hanya akan menambah masalah.
Memahami pola pikir di balik kebiasaan finansial bukan soal menghakimi, melainkan mengenali sisi diri yang perlu diubah demi masa depan yang lebih sehat.
Uang bukan hanya soal nominal, tapi juga cerminan dari cara kita memperlakukan diri sendiri. Jangan sampai kalimat-kalimat kecil yang terdengar biasa justru menjadi akar dari masalah finansial yang besar.(jpc)