Menjelang perayaan Natal, aroma manis dan hangat puto bumbong kerap memenuhi area sekitar gereja di Filipina. Kudapan berwarna ungu ini menjadi sajian yang tak terpisahkan dari rangkaian misa subuh Natal, khususnya selama misa de gallo atau simbang gabi.
Melansir dari Kids Kiddle, puto bumbong merupakan kue beras kukus khas Filipina yang dimasak menggunakan tabung bambu, dan biasanya dinikmati sebagai camilan setelah mengikuti misa pagi hari selama musim Natal.
Nama “puto bumbong” sendiri berasal dari bahasa Tagalog, di mana puto berarti kue beras kukus, sementara bumbong atau bombong merujuk pada tabung bambu yang digunakan sebagai cetakan sekaligus alat memasaknya.
Tak heran jika hidangan ini kerap disebut sebagai “kue beras kukus dari bambu.” Dalam praktiknya, ejaan nama hidangan ini juga bervariasi, seperti puto bungbong. Usai misa, umat biasanya mengantre di stan-stan makanan di sekitar gereja atau pinggir jalan untuk menikmati kudapan Natal favorit ini.
Sejarah Singkat
Mengutip dari Foodtale Philippines, asal-usul puto bumbong dapat ditelusuri hingga awal masa kolonial Spanyol di Filipina. Kudapan berbahan dasar beras ini diyakini dibawa dari Meksiko oleh rombongan ekspedisi Miguel Lopez de Legazpi.
Pada masa tersebut, masyarakat Filipina didorong untuk bangun dini hari guna menghadiri misa, dan setelahnya menikmati sarapan sederhana untuk mengusir kantuk. Puto bumbong pun menjadi pilihan populer, biasanya disantap bersama salabat atau minuman jahe hangat yang memberikan efek menghangatkan tubuh.
Proses Pembuatan
Menurut Atlas Obscura, warna ungu khas puto bumbong secara tradisional berasal dari jenis beras ketan khusus bernama pirurutong, yang secara alami berwarna cokelat keunguan.
Proses pembuatan hidangan ini cukup memakan waktu dan membutuhkan ketelitian. Pirurutong biasanya dicampur dengan beras ketan putih terlebih dahulu, kemudian direndam dalam air garam semalaman. Setelah itu campuran beras ini digiling hingga halus dan dikeringkan sampai mencapai tekstur lembap yang diinginkan.
Adonan beras tersebut kemudian dimasukkan ke dalam bumbong ng kawayan, atau tabung bambu, sebelum dikukus hingga matang dan berwarna ungu pekat.
Setelah dikeluarkan dari tabung, puto bumbong disajikan di atas daun pisang, diolesi mentega atau margarin, lalu ditaburi parutan kelapa segar dan gula muscovado. Hidangan ini paling nikmat disantap selagi hangat.
Seiring waktu, ketersediaan pirurutong yang semakin terbatas membuat sebagian pedagang beralih menggunakan bubuk ubi ungu (ube) sebagai alternatif pewarna alami.
Ada pula yang menambahkan pewarna makanan ungu untuk memperkuat warna, meski dianggap kurang autentik. Terlepas dari itu, apa pun bahan yang digunakan, puto bumbong tetap menjadi simbol kehangatan dan keceriaan Natal di Filipina, menghadirkan rasa manis yang lekat dengan kebersamaan dan tradisi.(jpc)


