29.1 C
Jakarta
Monday, April 21, 2025

Mendagri Sebut Kepala Daerah Boleh Mutasi Pejabat Jelang Pilkada 2020,

JAKARTA – Jelang perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
Serentak 2020 23 September mendatang, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
mengeluarkan surat larangan mutasi pejabat Pemerintahan Daerah (Pemda).

Menteri Dalam Negeri (Mendagri)
Tito Karnavian mengeluarkan larangan tersebut dalam bentuk surat edaran, yang
berlaku selama delapan bulan sejak Januari 2020 hingga hari pencoblosan tanggal
23 September 2020.

“Sesuai undang-undang, delapan
bulan sebelum hari H, kepala daerah tidak boleh untuk mutasi pejabatnya,” ujar
Tito dalam jumpa pers usai penyerahan DP4, di Kantor KPU Pusat, Jalan Imam
Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (23/1).

Tito menyatakan, langkah ini
dilakukan dalam upaya menjaga netralitas ASN. Sebab ia khawatir para kepala
daerah incumbent memanfaatkan rotasi pejabat untuk memenangkan dirinya sendiri.

Baca Juga :  Sosialisasi Pilkada Kepada Kaum Milenial Perlu Ide Kreatif

“Ini sudah kami keluarkan edaran.
Kalau nggak nanti pasti diputar semua untuk mendukung incumbent yang mau maju,”
tuturnya.

Lebih lanjut, mantan Kapolri ini
mengaku dapat mengeluarkan izin mutasi pejabat jika memang yang bersangkutan
memenuhi syarat yabg diatur undang-undang.

Misalnya, disebutkan Tito,
meninggal dunia, sakit, atau berhalangan tetap sehingga mengharuskan diganti
dengan pejabat lain.

Berkenaan dengan upaya ini, Tito
menggandeng Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil dan Negara dan Reformasi
Birokrasi (Men PAN RB) untuk terus menjaga netralitas PNS.

“Perjalanan panjang 1.000 mil
harus dimulai dengan 1 langkah. Ini kita masuk langkah kesekian dari proses
pilkada 2020,” ungkapnya.

Sebagai informasi, berdasarkan
Pasal 71 ayat (2) UU 10/2016 tentang Pilkada disebutkan, Gubernur atau Wakil
Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang
melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan
calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis
dari menteri dalam negeri.

Baca Juga :  PPP Lobi Fraksi P4H Solid Dukung Sugianto

Jika aturan ini dilanggar, maka
pihak berwenang atau kepala daerah bisa mendapat pembatalan atau diskualifikasi
sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Selain itu, ada pula ancaman
pidana penjara paling lama enam bulan dan denda paling banyak Rp 6 juta berdasarkan
Pasal 190 UU Pilkada.(sta/rmol/pojoksatu/kpc)

JAKARTA – Jelang perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
Serentak 2020 23 September mendatang, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
mengeluarkan surat larangan mutasi pejabat Pemerintahan Daerah (Pemda).

Menteri Dalam Negeri (Mendagri)
Tito Karnavian mengeluarkan larangan tersebut dalam bentuk surat edaran, yang
berlaku selama delapan bulan sejak Januari 2020 hingga hari pencoblosan tanggal
23 September 2020.

“Sesuai undang-undang, delapan
bulan sebelum hari H, kepala daerah tidak boleh untuk mutasi pejabatnya,” ujar
Tito dalam jumpa pers usai penyerahan DP4, di Kantor KPU Pusat, Jalan Imam
Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (23/1).

Tito menyatakan, langkah ini
dilakukan dalam upaya menjaga netralitas ASN. Sebab ia khawatir para kepala
daerah incumbent memanfaatkan rotasi pejabat untuk memenangkan dirinya sendiri.

Baca Juga :  Sosialisasi Pilkada Kepada Kaum Milenial Perlu Ide Kreatif

“Ini sudah kami keluarkan edaran.
Kalau nggak nanti pasti diputar semua untuk mendukung incumbent yang mau maju,”
tuturnya.

Lebih lanjut, mantan Kapolri ini
mengaku dapat mengeluarkan izin mutasi pejabat jika memang yang bersangkutan
memenuhi syarat yabg diatur undang-undang.

Misalnya, disebutkan Tito,
meninggal dunia, sakit, atau berhalangan tetap sehingga mengharuskan diganti
dengan pejabat lain.

Berkenaan dengan upaya ini, Tito
menggandeng Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil dan Negara dan Reformasi
Birokrasi (Men PAN RB) untuk terus menjaga netralitas PNS.

“Perjalanan panjang 1.000 mil
harus dimulai dengan 1 langkah. Ini kita masuk langkah kesekian dari proses
pilkada 2020,” ungkapnya.

Sebagai informasi, berdasarkan
Pasal 71 ayat (2) UU 10/2016 tentang Pilkada disebutkan, Gubernur atau Wakil
Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang
melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan
calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis
dari menteri dalam negeri.

Baca Juga :  PPP Lobi Fraksi P4H Solid Dukung Sugianto

Jika aturan ini dilanggar, maka
pihak berwenang atau kepala daerah bisa mendapat pembatalan atau diskualifikasi
sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Selain itu, ada pula ancaman
pidana penjara paling lama enam bulan dan denda paling banyak Rp 6 juta berdasarkan
Pasal 190 UU Pilkada.(sta/rmol/pojoksatu/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru