PROKALTENG.CO – Residu polemik pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden belum habis. Teranyar, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi peringatan kepada tujuh komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Khusus Ketua KPU Hasyim Asy’ari, DKPP menaikkan level sanksi menjadi peringatan keras terakhir. Sanksi tersebut merupakan imbas dari penerimaan berkas pendaftaran Gibran sebagai calon wakil presiden pada 25 Oktober 2023 yang dinilai melanggar prosedur.
Kala itu, KPU menerima pendaftaran Gibran hanya berlandasan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 Tahun 2023. Padahal, Peraturan KPU (PKPU) 19/2023 yang menjadi aturan teknis operasional masih mengatur syarat pencalonan berusia 40 tahun.
KPU hanya mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1145/PL.01-SD/05/2023 perihal Tindak Lanjut Putusan MK. KPU belakangan baru merevisi PKPU 19/2023 dengan PKPU 23/2023 setelah pendaftaran capres ditutup. Oleh DKPP, tindakan tersebut dinilai tidak sesuai dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu. Sesuai aturan, perubahan di level UU harus ditindaklanjuti di level teknis melalui revisi PKPU.
”Bahwa para teradu seharusnya segera menyusun rancangan perubahan,’’ ujar anggota Majelis DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi saat membacakan pertimbangan.
Soal alasan KPU tidak segera mengajukan permohonan konsultasi revisi PKPU karena DPR kala itu sedang masa reses, DKPP menolak argumen tersebut. Sebab, jika mengacu Pasal 254 ayat 4 dan 7 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, pembahasan dapat dilakukan di masa reses sepanjang ada kebutuhan mendesak.
Karena itu, KPU dinilai melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu tentang kewajiban menaati aturan dan profesionalisme. Ketua KPU Hasyim diberi hukuman lebih berat karena mempunyai tanggung jawab lebih besar untuk menjaga marwah lembaga. Hal itu sesuai dengan Pasal 11 ayat 1 huruf b UU Pemilu.
Menanggapi putusan tersebut, Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengaku legawa. Baginya, digugat, diadukan, dan diperkarakan merupakan konsekuensi jabatan.
”Konstruksi di UU Pemilu itu, posisi KPU selalu sebagai ter ya, terlapor, termohon, tergugat, dan teradu,’’ ujarnya saat ditemui di gedung DPR kemarin.
Yang jelas, lanjut Hasyim, dirinya sudah mengikuti proses-proses persidangan di DKPP. Termasuk memberikan jawaban, keterangan, dan alat bukti. Argumentasi hukum juga sudah disampaikan. Saat disinggung substansi putusan, dia menolak berkomentar.
”Jadi, apa pun putusannya, ya sebagai pihak teradu kami tidak akan komentar,’’ tuturnya.
Di tempat terpisah, Wakil Ketua Umum Tim Kampanye Nasional Prabowo Gibran, Habiburrokhman, menghormati putusan DKPP. Namun, dia menegaskan, putusan itu tidak ada kaitan secara hukum dengan legal standing Prabowo-Gibran sebagai paslon.
”Putusan DKPP tidak menyebut pendaftaran Prabowo-Gibran menjadi tidak sah,’’ ungkapnya.
Dari pencermatannya, putusan itu hanya terkait masalah teknis pendaftaran. Sebab, KPU lambat merespons putusan MK. Tapi, dari kacamata TKN, alasan KPU yang tidak segera merevisi dapat dimaklumi mengingat saat itu DPR sedang masa reses.
”Mau kirim surat ke mana, wong DPR-nya nggak ada,’’ tuturnya.
Dari aspek hukum, lanjut dia, saat ini PKPU juga telah tuntas direvisi. Karena itu, dari sisi hukum tidak ada ganjalan. Sebaliknya, jika putusan MK tidak ditaati, malah berpotensi terjadi pelanggaran konstitusi.
Ditemui seusai rapat dengan Komisi II DPR, Ketua DKPP Heddy Lugito mengamini jika putusan etik bersifat personal. Sehingga diakuinya tidak punya implikasi terhadap status pencalonan Gibran.
”Nggak ada kaitannya dengan pencalonan juga. Ini murni soal etik. Murni soal etik penyelenggara pemilu. Jadi, nggak ada kaitan,’’ tegasnya.
Pada bagian lain, Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) memandang bahwa putusan DKPP itu bukan sebatas maladministrasi. Menurut peneliti PSHK Fakultas Hukum UII Addi Fauzani, pelanggaran itu merupakan bukti bahwa ketua KPU telah menafikan amanat konstitusi. Yakni, Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
”Yang menyatakan bahwa penyelenggara pemilu harus memiliki sikap jujur dan adil,” ungkap dia kemarin.
Menurut dia, ketua KPU sudah berkali-kali melakukan pelanggaran etik. Addi menyatakan, pelanggaran etik dalam penetapan capres dan cawapres merupakan pengabaian terhadap amanat konstitusi dalam pelaksanaan pemilu.
”Yang seharusnya dilakukan secara berintegritas,” kata dia.
Pihaknya juga menilai sanksi peringatan keras terakhir itu sangat kompromistis. Bahkan, bisa dianggap mengabaikan prinsip keadilan pemilu. (pri/jawapos.com)