PALANGKA RAYA-Konflik anggaran antara Bawaslu
Kalteng dengan Pemprov Kalteng terkait honorarium panitia pengawas pemilu
kecamatan (panwascam), yang masing-masing teguh dengan pandangannya, akhirnya
melibatkan kementerian. Bawaslu, KPU, dan Pemprov Kalteng dipanggil Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mengevaluasi naskah perjanjian hibah daerah
(NPHD).
Hal ini disulut ngototnya Bawaslu terhadap
kesepakatan terakhir, bahwa anggaran untuk Bawaslu untuk Pilkada Kalteng yakni
Rp95,4 miliar. Sementara, Pemprov Kalteng keukeuh menawarkan anggaran dengan
angka Rp88 miliar.
Ketidakhadiran Bawaslu saat penandatanganan NPHD
pada 1 Oktober lalu, menjadi pemicu Kemendagri akan melakukan evaluasi terhadap
pelaksanaan NPHD seluruh provinsi yang melaksanakan pilkada pada 2020 nanti.
Senin (1/10), Kemendagri memanggil beberapa
provinsi untuk datang dan melakukan evaluasi, khususnya bagi daerah-daerah yang
belum melakukan teken NPHD bersama KPU dan Bawaslu. Di Kalteng, pemprov sudah
melaksanakan teken bersama KPU, tapi tidak dengan Bawaslu.
“Ini (undangan) dari Kemendagri, bahwa Pemprov
Kalteng dan penyelenggara pilkada diundang melaksanakan evaluasi soal teken
NPHD 1 Oktober lalu,†kata Ketua Bawaslu Kalteng Satriadi saat dikonfirmasi
Kalteng Pos, Jumat (4/10).
Dalam undangan tersebut tertera, bagi pemprov
yang akan melaksanakan pilkada 2020 tapi belum melakukan tanda tangan NPHD
dengan KPU dan atau Bawaslu, maka diharapkan pemprov berkaitan dapat hadir. Tak
hanya itu, kepala Badan Keuangan (BKAD), ketua KPU, dan ketua Bawaslu juga
diharapkan dapat hadir. “Iya, kami diundang untuk evaluasi ini,†kata Satradi.
Dikatakannya, pihaknya sudah menyampaikan
seluruh permasalahan yang terjadi kepada Bawaslu RI. Apapun keputusannya nanti,
maka Bawaslu RI yang akan mempertimbangkan selanjutnya. “Informasinya Bawaslu
RI juga akan berkonsultasi dengan Kemendagri,†bebernya.
Pada intinya, lanjut dia, permasalahan ini
bukan perkara mencari siapa yang kalah dan siapa yang menang atau adu kuat ego.
Hanya saja, ini demi mewujudkan terlaksananya pelaksanaan pilkada yang sukses
dengan penguatan yang ada.
Sementara itu, Sekda Kalteng Fahrizal Fitri
saat dikonfirmasi terkait undangan Kemendagri ini, pihaknya selaku Pemprov
Kalteng juga menyatakan siap hadir. “Kami (Pempov Kalteng, red) akan hadir
dalam evaluasi tersebut,†balasnya melalui pesan WhatsApp, kemarin.
Berbeda dengan Ketua KPU Kalteng Harmain
Ibrohim. Pihaknya mengaku tidak harus hadir dalam undangan tersebut, lantaran telah
melaksanakan penandatanganan NPHD.
“Untuk yang sudah penandatanganan NPHD tidak
harus hadir,†tulisnya melalui pesan WhatsApp.
Melihat kondisi ini, Ketua Sementara DPRD
Kalteng Duwel Rawing juga angkat bicara. Pihaknya berpendapat, honor panwascam
tidak mesti sama dengan ketentuan Bawaslu RI yang mengharuskan sama untuk seluruh
Indonesia. “Tidak bisa sama, karena lokasi pun tidak sama seluruh Indonesia. Di
Kalteng ini-kan jumlah penduduknya sedikit, dan jumlah TPS di kecamatan juga
tidak sebanyak yang ada di provinsi lain,†katanya saat dikonfirmasi Kalteng
Pos, kemarin.
Apalagi, lanjutnya, pilkada ini tidak sama
dengan pilpres lalu. Beban kerja saat pilpres beberapa waktu lalu dinilai sangat
berat, karena pelaksanaannya bersamaan dengan pileg. “Pilkada ini kan hanya
satu pemilihan saja yakni pilgub, sehingga beban kerja berkurang dan waktunya
juga akan lebih cepat,†jelasnya.
Akan tetapi, dengan keinginan Pemprov Kalteng
agar honorarium panwascam disamakan dengan PPK, pihaknya tidak dapat
membenarkan atau memberikan opsi lain. Lantaran dewan belum mengetahui secara
rinci permasalahan dan anggaran yang diajukan oleh setiap penyelenggara pilkada
ini.
“Dilihat saja nanti, karena anggaran yang
mereka (penyelenggara pilkada, red) ajukan belum dibahas dengan DPRD Kalteng,â€
tegasnya.
Pasalnya, apabila mengikuti tahapan, anggaran
yang diajukan oleh penyelenggara pilkada ini terlebih dahulu melalui pemprov. Ketika
teken NPHD telah dilaksanakan, barulah diajukan ke dewan. “Apa yang diajukan
masih akan dikaji ulang. Yang penting penghitungannya logis dan daerah mampu
membayar, tidak menjadi masalah. Nanti pasti akan bisa ditengahi perbedaan
pendapat tersebut,†beber Duwel.
KPU pun, lanjutnya, meski sudah teken NPHD
bersama Pemprov Kalteng, tetapi angka itu masih belum final, karena akan dikaji
ulang bersama tim ahli dari dewan. “Begitu pun dengan Bawaslu. Jika mau beraudiensi
dengan dewan, boleh saja. Jangan sampai Bawaslu tidak dapat bekerja,â€
pungkasnya.
Sebelumnya, satuan yang masih belum mendapat
kesepakatan yakni soal honorarium pengawas ad-hoc, lantaran ketentuan tersebut
berdasarkan surat Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Ketentuan dari Bawaslu RI,
angka yang ditetapkan memang menggunakan angka tertinggi. Ketua panwascam
berhak menerima honorarium sebesar Rp2,2 juta, dan seterusnya. Hanya saja,
Pemprov Kalteng berharap agar honorarium PPK di KPU yakni Rp1,85 juta, juga berlaku
untuk honorarium panwascam. Sebab, pemprov mengkhawatirkan terjadinya
kecemburan sosial antarpetugas lapangan Bawaslu dan KPU. Belum lagi
pertimbangan APBD Kalteng yang cukup terserap untuk pilkada ini. (abw/ce/ami)