28.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Harga Rokok di Pasaran Perlu Dievaluasi, Ternyata Ini Tujuannya

Target Pemerintah untuk menurunkan prevalensi
perokok anak pada RPJMN 2020-2024 dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen di 2024
perlu diikuti dengan keseriusan pengawasan harga rokok di pasaran. Tanpa
kebijakan pengawasan, harga rokok yang terjangkau menjadi salah satu potensi
kegagalan Pemerintah dalam penurunan prevalensi merokok. Khususnya pada generasi
muda yang akan menjadi generasi penerus bangsa.

Analis Kebijakan Madya Badan Kebijakan Fiskal
(BKF) Wawan Juswanto mengatakan, pemerintah secara serius berupaya mencapai
target penurunan prevalensi merokok anak yang tercantum di RPJMN 2020-2024. Menurutnya,
untuk kebijakan harga transaksi pasar (HTP) memang telah diubah sejak 2017
dengan pengaturan batasan penjualan rokok 85 persen dari harga jual eceran
(HJE).

“Tujuan dari pembatasan 85 persen ini adalah
untuk mengendalikan konsumsi agar harganya tidak terlalu murah di pasaran.
Selain itu ada persaingan sehat pada perusahaan, untuk menghindari predatory
pricing oleh perusahaan besar terhadap pabrik golongan menengah dan bawah,”
ujarnya dalam keterangannya, Selasa (30/3).

Sementara itu, Peneliti dari Center of Human
and Economic Development Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Adi Musharianto
mengatakan, ada kontradiksi pada kebijakan minimum 85 persen yang ditetapkan
Kementerian Keuangan tersebut.

Baca Juga :  Bangkitan Sektor Industri Asia Pasifik, Begini Kata Airlangga

Bedasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bea
Cukai (Perdirjen BC) Nomor 37 tahun 2017 yang direvisi menjadi Perdirjen BC
Nomor 25 tahun 2018 justru dalam lampiran metode pengawasannya memberikan ruang
bagi perusahaan rokok untuk menjual rokok lebih rendah dari aturan di PMK
198/2020 (kurang dari 85 persen) asalkan didistribusikan di kurang dari 50
persen atau sekitar 40 area kantor bea cukai (KPPBC) di seluruh Indonesia yang
melakukan pengawasan.

Menurutnya, diterapkannya kelonggaran batas
pelanggaran di 40 KPPBC ini seharusnya masih bisa diubah dengan pertimbangan
untuk mengendalikan konsumsi tembakau. “Dari awal kita sudah lihat ada
kontradiksi antara PMK dan Perdirjen terkait memperbolehkan HTP di bawah 85
persen. Saya sepakat bisalah ya penjualan di 40 kota dilakukan perubahan.
Intinya perlu ada peninjauan atau evaluasi,” ujar Adi.

 

Senada dengan Adi, Analis kebijakan madya
Kedeputian Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko
PMK Rama Prima Syahti Fauzi juga mendukung adanya tinjauan dan evaluasi atas
pengecualian 40 area KPPBC ini. Ia menjelaskan dampak dari tidak sesuainya HTP
dengan HJE menyebabkan harga rokok tetap terjangkau sehingga pengendalian
konsumsi tidak optimal untuk menurunkan prevalensi merokok.

Baca Juga :  Harga Tiket Pesawat Turun, Tapi Hanya di Setiap 3 Hari Ini

“Harusnya memang dibarengi dengan sanksi kalau
ada perusahaan menerapkan penjualan kurang dari 85 persen. Sanksinya harus
diperjelas dan dipertegas, memang harus diperketat untuk menghindari predatory
pricing juga,” ucapnya.

Dia juga merekomendasikan bahwa pengecualian
wilayah untuk penjualan rokok di bawah 85 persen HJE sebaiknya diperkecil saja.
“Selain itu, tidak akan efektif kalau tidak ada sanksinya bagi perusahaan yang
melanggar, maka pengawasan harus dipertegas,” imbuhnya.

Sedangkan Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial
Universitas Indonesia (PKJS-UI) Risky Kusuma Hartono mengatakan bahwa pihaknya
mengapresiasi pemerintah mengimplementasikan batasan 85 persen HJE sejak 2017.
“Ini harus diterapkan kepada seluruh produk rokok sehingga bisa menekan
konsumsi rokok dan menyukseskan RPJMN 2020-2024,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa Indonesia merupakan negara
padat penduduk seperti India dan China yang menjadi potensi pangsa pasar rokok
besar, yang terbukti dari prevalensi perokok aktif terus meningkat. “Maka upaya
yang perlu dilakukan adalah menurunkan prevalensi, caranya meningkatkan HJE
minimum, meningkatkan CHT, dan simplifikasi struktur CHT,” pungkasnya.

Target Pemerintah untuk menurunkan prevalensi
perokok anak pada RPJMN 2020-2024 dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen di 2024
perlu diikuti dengan keseriusan pengawasan harga rokok di pasaran. Tanpa
kebijakan pengawasan, harga rokok yang terjangkau menjadi salah satu potensi
kegagalan Pemerintah dalam penurunan prevalensi merokok. Khususnya pada generasi
muda yang akan menjadi generasi penerus bangsa.

Analis Kebijakan Madya Badan Kebijakan Fiskal
(BKF) Wawan Juswanto mengatakan, pemerintah secara serius berupaya mencapai
target penurunan prevalensi merokok anak yang tercantum di RPJMN 2020-2024. Menurutnya,
untuk kebijakan harga transaksi pasar (HTP) memang telah diubah sejak 2017
dengan pengaturan batasan penjualan rokok 85 persen dari harga jual eceran
(HJE).

“Tujuan dari pembatasan 85 persen ini adalah
untuk mengendalikan konsumsi agar harganya tidak terlalu murah di pasaran.
Selain itu ada persaingan sehat pada perusahaan, untuk menghindari predatory
pricing oleh perusahaan besar terhadap pabrik golongan menengah dan bawah,”
ujarnya dalam keterangannya, Selasa (30/3).

Sementara itu, Peneliti dari Center of Human
and Economic Development Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Adi Musharianto
mengatakan, ada kontradiksi pada kebijakan minimum 85 persen yang ditetapkan
Kementerian Keuangan tersebut.

Baca Juga :  Bangkitan Sektor Industri Asia Pasifik, Begini Kata Airlangga

Bedasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bea
Cukai (Perdirjen BC) Nomor 37 tahun 2017 yang direvisi menjadi Perdirjen BC
Nomor 25 tahun 2018 justru dalam lampiran metode pengawasannya memberikan ruang
bagi perusahaan rokok untuk menjual rokok lebih rendah dari aturan di PMK
198/2020 (kurang dari 85 persen) asalkan didistribusikan di kurang dari 50
persen atau sekitar 40 area kantor bea cukai (KPPBC) di seluruh Indonesia yang
melakukan pengawasan.

Menurutnya, diterapkannya kelonggaran batas
pelanggaran di 40 KPPBC ini seharusnya masih bisa diubah dengan pertimbangan
untuk mengendalikan konsumsi tembakau. “Dari awal kita sudah lihat ada
kontradiksi antara PMK dan Perdirjen terkait memperbolehkan HTP di bawah 85
persen. Saya sepakat bisalah ya penjualan di 40 kota dilakukan perubahan.
Intinya perlu ada peninjauan atau evaluasi,” ujar Adi.

 

Senada dengan Adi, Analis kebijakan madya
Kedeputian Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko
PMK Rama Prima Syahti Fauzi juga mendukung adanya tinjauan dan evaluasi atas
pengecualian 40 area KPPBC ini. Ia menjelaskan dampak dari tidak sesuainya HTP
dengan HJE menyebabkan harga rokok tetap terjangkau sehingga pengendalian
konsumsi tidak optimal untuk menurunkan prevalensi merokok.

Baca Juga :  Harga Tiket Pesawat Turun, Tapi Hanya di Setiap 3 Hari Ini

“Harusnya memang dibarengi dengan sanksi kalau
ada perusahaan menerapkan penjualan kurang dari 85 persen. Sanksinya harus
diperjelas dan dipertegas, memang harus diperketat untuk menghindari predatory
pricing juga,” ucapnya.

Dia juga merekomendasikan bahwa pengecualian
wilayah untuk penjualan rokok di bawah 85 persen HJE sebaiknya diperkecil saja.
“Selain itu, tidak akan efektif kalau tidak ada sanksinya bagi perusahaan yang
melanggar, maka pengawasan harus dipertegas,” imbuhnya.

Sedangkan Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial
Universitas Indonesia (PKJS-UI) Risky Kusuma Hartono mengatakan bahwa pihaknya
mengapresiasi pemerintah mengimplementasikan batasan 85 persen HJE sejak 2017.
“Ini harus diterapkan kepada seluruh produk rokok sehingga bisa menekan
konsumsi rokok dan menyukseskan RPJMN 2020-2024,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa Indonesia merupakan negara
padat penduduk seperti India dan China yang menjadi potensi pangsa pasar rokok
besar, yang terbukti dari prevalensi perokok aktif terus meningkat. “Maka upaya
yang perlu dilakukan adalah menurunkan prevalensi, caranya meningkatkan HJE
minimum, meningkatkan CHT, dan simplifikasi struktur CHT,” pungkasnya.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru