JAKARTA– Di
tengah pandemi, Indonesia perlahan mulai naik kelas. Bank Dunia mencatat
Indonesia mengalami perbaikan yang menjadikan negara ini bukan lagi negara
berpendapatan menengah ke bawah. Meskipun demikian, perlu upaya lebih keras
untuk terus menaikkan level kemajuan Indonesia.
Hal itu
disampaikan Presiden Joko Widodo saat hadir secara virtual dalam peringatan
seabad berdirinya Institut Teknologi Bandung kemarin (3/7). Dia mengutip
laporan Bank Dunia pada 1 Juli lalu. ’’Status Indonesia telah naik dari lower
middle income country menjadi upper middle income country,’’ terangnya.
Salah satu
tolok ukurnya adalah naiknya pendapatan perkapita Indonesia. Kini, Indonesia
tidak lagi berada di jajaran negara dengan pendapatan bruto perkapita di bawah
USD 4.000. ’’Gross National Income per kapita Indonesia naik menajdi 4.050
dolar Amerika Serikat. Dari posisi sebelumnya, 3.840 dolar,’’ lanjut Jokowi.
Atau bila dirupiahkan, nilainya setara Rp 58,78 juta per kapita.
Di satu
sisi, tutur Jokowi, kenaikan status itu memang harus disyukuri. Namun,
Indoensia tidak boleh puas hanya dengan kenaikan tersebut. kenaikan status itu
harus diperlakukan sebagai sebuah peluang agar Indonesia bisa terus maju.
Karena target utamanya adalah menjadi negara berpenghasilan tinggi dan keluar
dari jebakan pendapatan menengah.
Menurut
Jokowi, kemajuan itu bisa dicapai bila Indoensia memiliki dukungan SDM yang
mumpuni. Karena itu, kontribusi kampus, termasuk di antaranya ITB, mutlak
diperlukan. ’’Tunjukkan prestasi akademisi dan peneliti kita,’’ tutur Jokowi.
Indonesia harus menunjukkan kepada dunia bahwa negara ini memiliki sumber daya
IPTEK dan inovasi yang mumpuni.
Kampus harus mampu menjadi pusat percetakan SDM yang
unggul dan inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat. Kampus akan menjadi pemicu
perkembangan masyarakat. Sehingga, Indoensia bisa tetap mampu bersaing di
tengah revolusi Industri jilid 4.
Terpisah,
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Rahayu
Puspasari menyebut, kenaikan status itu sebagai bukti ketahanan ekonomi yang
terjaga selama beberapa tahun terakhir.
Puspa
menyebut, kenaikan status itu membuat kepercayaan dan persepsi investor maupun
mitra dagang RI menjadi lebih kuat. ‘’Status ini diharapkan dapat meningkatkan
investasi, memperbaiki kinerja current account, mendorong daya saing ekonomi
dan memperkuat dukungan pembiayaan,’’ ujarnya di Jakarta, Kamis (2/7).
Terpisah,
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menyebut, dampak kenaikan status sebagai negara
pendapatan menengah atas lebih banyak aspek negatifnya bagi kepentingan
Indonesia. Pertama, dari sisi perdagangan internasional konsekuensinya produk
Indonesia semakin sedikit mendapatkan fasilitas untuk keringanan tarif. ‘’Jadi
tinggal menunggu waktu misalnya AS akan mencabut fasilitas GSP (Generalized
System of Preferences),’’ jelasnya kepada Jawa Pos, kemarin.
Padahal
banyak produk yang diuntungkan dari fasilitas GSP. Di antaranya yakni tekstil,
pakaian jadi, pertanian, perikanan, coklat, hingga produk kayu. Bhima menyebut,
RI bisa saja dikeluarkan dari list negara penerima fasilitas itu. ‘’Dan yang
perlu dicermati, biasanya langkah negara maju akan di ikuti oleh negara
lainnya. Kalau AS sampai cabut GSP, maka Kanada, Eropa juga menyusul. Padahal
situasi pandemi kita memerlukan kenaikan kinerja ekspor yang lebih tinggi.
Justru ini buruk bagi neraca dagang kedepannya,’’ katanya.
Kedua,
dampak signifikan dari pembiayaan utang. Naiknya status menjadi upper middle
income berarti RI makin dianggap mampu membayar bunga dengan rate yang lebih
mahal. Negara-negara kreditur juga akan memprioritaskan negara yang income nya
lebih rendah dari Indonesia khususnya negara kelompok low income countries.
Dengan
kondisi ini maka pilihan Indonesia untuk mencari sumber pembiayaan murah makin
terbatas. Pinjaman bilateral dengan bunga 0,5-1 persen tentunya makin berat.
Akibatnya pemerintah makin gencar menerbitkan SBN yang dijual dengan market
rate. ‘’Sekarang saja sudah diatas 7 persen bunga nya. Mahal sekali dan
pastinya kedepan porsi SBN makin dominan dibandingkan pinjaman bilateral dan
multilateral yang bunganya lebih murah,’’ imbuh dia.
Ketiga,
kenaikan status tanpa adanya perubahan struktur ekonomi justru mengancam
serapan tenaga kerja. Porsi industri manufaktur terhadap PDB per triwulan I
2020 terus alami penurunan di bawah 20 persen. ‘’Deindustrialisasi prematur
jalan terus. Idealnya untuk naik kelas yang didorong itu ya industri manufaktur
karena disitu ada nilai tambah dan serapan tenaga kerja yang besar,’’ tutur
Bhima.
Bhima
melihat, RI terlalu cepat masuk ke sektor jasa, oleh karena itu motor
ekonominya rapuh. Hal itu harus diperbaiki untuk bisa lepas dari jebakan kelas
menengah. ‘’Jangan berbangga dulu karena sebenarnya upper middle income ya
status Indonesia masih negara berpendapatan menengah,’’ tegasnya.