Site icon Prokalteng

Wartawan Wajib Paham dan Mengerti Pemberitaan Ramah Anak

wartawan-wajib-paham-dan-mengerti-pemberitaan-ramah-anak

PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Tengah (Kalteng) menggelar pelatihan penulisan berita ramah anak yang diikuti oleh sejumlah wartawan di Kalteng, baik secara daring maupun luring, di Aula Hotel Neo Palangka Raya, Selasa (21/9).

Kegiatan tersebut menghadirkan narasumber Anggota Komisi Kompetensi PWI Pusat Refa Riana dan Kabid Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (PPPAKKB) Kalteng Mulyo Suharto.

Ketua PWI Kalteng Haris Sadikin mengatakan pelatihan ini merupakan bagian program dari PWI untuk membentuk wartawan yang profesional dalam menjalankan tugasnya dalam menulis berita, sehingga tetap taat pada asas dan aturan.

“Pedoman Penulisan Ramah Anak (PPRA) Tahun 2019 itu merupakan produk yang dikeluarkan Dewan Pers sebagai rambu yang harus diingat oleh wartawan dalam membuat berita. Jadi, Wartawan tidak bisa sembarangan menulis berita,” katanya.

PPRA  merupakan revisi dari kode etik jurnalistik yang telah ada. Perbedaan yang cukup terlihat terdapat pada batas usia anak. Dimana dalam PPRA, batas usia anak disebutkan adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, baik masih hidup maupun meninggal dunia, menikah atau belum menikah.

"Kemudian setiap data dan atau informasi yang menyangkut anak yang memudahkan orang lain untuk melacak keberadaan dan identitas anak harus dilindungi atau dirahasiakan oleh wartawan dalam setiap pemberitaan," jelasnya

Pada kesempatan tersebut, Haris juga memaparkan terkait pelanggaran PPRA ini menjadi tanggung jawab dari masingmasing wartawan yang menulis berita. Dengan masa kedaluarsa 12 tahun.

"Jika di masa depan anak yang diberitakan itu ingin  menuntut, bisa saja dilakukan. Apalagi ancaman hukumannya  ada pidana lima tahun dan denda Rp500 juta," pungkasnya.

Di dalam PPRA yang disahkan pada 9 Februari 2019 disebutkan, dalam banyak pemberitaan yang terkait dengan anak di tanah air, seringkali anak justru menjadi korban, obyek eksploitasi dan diungkapkan identitasnya antara lain wajah, inisial, nama, alamat, dan sekolah secara segaja ataupun tidak sengaja sehingga anak tidak terlindungi secara baik. Bahasa pemberitaan terkait anak terkadang menggunakan bahasa yang kasar dan vulgar.

Media penyiaran juga kerap menampilkan sosok anak yang disamarkan menggunakan topeng atau diblur wajahnya namun masih bisa dikenali ciri-cirinya.

Indonesia telah meratifikasi konvensi hak anak dan membuat Undang-Undang yang melindungi hak anak dalam hal ini Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Namun terdapat perbedaan dalam pengaturan batasan usia terkait perlindungan anak. Antara lain dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (16 th), Kode Etik Jurnalistik (16 th), Undang-Undang Perlindungan Anak (18 th) dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (18 th) dengan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (21 th), dan UU Administrasi Kependudukan (17 th).

Oleh Karena itu komunitas pers Indonesia yang terdiri dari wartawan, perusahaan pers dan organisasi pers bersepakat, membuat suatu Pedoman Penulisan Ramah Anak yang akan menjadi panduan dalam melakukan kegiatan jurnalistik. Wartawan Indonesia menyadari pemberitaan tentang anak harus dikelola secara bijaksana dan tidak eksploitatif, tentang suatu peristiwa yang perlu diketahui publik.

Pemberitaan ramah anak ini dimaksudkan untuk mendorong komunitas pers menghasilkan berita yang bernuansa positif, berempati dan bertujuan melindungi hak, harkat dan martabat anak, anak yang yang terlibat persoalan hukum ataupun tidak; baik anak sebagai pelaku, saksi atau korban.

Pedoman Pemberitaan Ramah Anak yang disepakati menggunakan batasan seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, baik masih hidup maupun meninggal dunia, menikah atau belum menikah.

Identitas Anak yang harus dilindungi adalah semua data dan informasi yang menyangkut anak yang memudahkan orang lain untuk mengetahui anak seperti nama, foto, gambar, nama kakak/adik, orangtua, paman/bibi, kakek/nenek dan tidak keterangan pendukung seperti alamat rumah, alamat desa, sekolah, perkumpulan/klub yang diikuti, dan benda-benda khusus yang mencirikan sang anak.

Adapun rincian Pedoman Pemberitaan Ramah Anak adalah sebagai berikut:

  1. Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
  2. Wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
  3. Wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orangtuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
  4. Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
  5. Wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian, mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.
  6. Wartawan tidak menggali informasi dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan LPSK.
  7. Wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
  8. Wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dengan pelaku. Apabila sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkapkan.
  9. Dalam hal berita anak hilang atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak, tapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya, segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapuskan.
  10. Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait kegiatan politik dan yang mengandung SARA.
  11. Wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) dari media sosial.
  12. Dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
  13. Penilaian akhir atas sengketa pelaksanaan Pedoman ini diselesaikan oleh Dewan Pers, sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Peraturan-Peraturan Dewan Pers yang berlaku.
Exit mobile version